Kisah Perempuan-Perempuan yang Kehilangan Laki-Laki di Desa Pakel, Banyuwangi

Ada sebuah desa bernama Pakel di Banyuwangi, Jawa Timur. Warga Pakel berjuang untuk merebut kembali tanahnya yang dirampas oleh PT Bumi Sari. Perjuangan warga sudah dimulai sejak tahun 1925, sebelum Indonesia merdeka. Hingga hari ini, warga melanjutkan perjuangan leluhur yang sudah mendapatkan izin membuka lahan dari Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo, tahun 1929.

Bagaimana ceritanya PT Bumi Sari merampas tanah warga Desa Pakel? Jadi, negara, melalui Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk PT Bumi Sari. Wilayah HGU itu ada di Desa Kluncing dan di Desa Bayu, Banyuwangi. Tapi, fakta di lapangan, PT Bumi Sari juga mengklaim dan mengelola lahan di Desa Pakel. Entah-lah setan apa yang merasuki PT Bumi Sari, sehingga menjadi kemaruk merampas tanah yang bukan wilayahnya.

Dari panjangnya perjuangan Warga Pakel, ada salah satu kisah yang membuat Warga Pakel trauma kalau mengingatnya. Sebuah kisah tentang perempuan-perempuan yang kehilangan laki-laki. Kejadiannya tahun 1999. Warga Pakel menduduki dan menanami lahan perkebunan yang diklaim PT Bumi Sari. Aksi pendudukan itu direspon dengan intimidasi, kekerasan fisik, penangkapan dan kriminalisasi oleh aparat kepolisian.

Menurut keterangan Suwarno, salah satu Warga Pakel, warga ditangkapi satu-satu di jalan oleh polisi menggunakan truk Brimob. Warga yang ditangkapi semuanya laki-laki. Beberapa laki-laki lainnya terpaksa melarikan diri dari Desa Pakel untuk menghindari kejaran polisi. Hingga pada tahun 1999 itu tidak ada laki-laki sama sekali di Desa Pakel. Tinggal perempuan saja.

Kisah perempuan-perempuan yang kehilangan laki-laki itu bisa didengarkan secara langsung di video dokumenter berjudul “PAKEL” (https://m.youtube.com/watch?v=q36tluhW4pI) di channel WALHI Jatim. Ada dua perempuan Desa Pakel yang menceritakan pengalamannya. Bu Harun dan Bu Tik.

Bu Harun bercerita tentang masa-masa sulit berpisah dengan suaminya. Selama berbulan-bulan, Bu Harun sering makan singkong di rumah ibunya untuk bertahan hidup. Bu Harun mengaku tidak bisa menafkahi anaknya. Posisi suaminya juga sedang melarikan diri entah ke mana, sehingga tidak bisa memberi nafkah kepada keluarga.

“Saya punya ayam segini (kecil), terus saya jual. Hanya uang 15 ribu itu yang bisa saya kasih sama anak saya,” kenang Bu Harun sambil menitihkan air mata.

Kisah lainnya diceritakan oleh Bu Tik. Waktu itu, Bu Tik kecil terpaksa harus berpisah dengan ayahnya yang melarikan diri. Ia juga mengatakan kalau keluarganya mengalami kesusahan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

“Pada waktu itu kalau saya ingat harga beras Rp 700 rupiah, sedangkan ibu saya tidak kuat beli beras seharga itu. Ibu saya hanya kuat membeli beras yang seharga 350 perak. Itu pun berasnya istilahnya menir, anaknya beras,” cerita Bu Tik.

Bu Tik merindukan ayahnya yang tidak pernah pulang dan pergi entah ke mana. Ia mengingat bahwa ibunya pernah berkata, “Jangan bilang kalau ayah kamu itu masih ada”. Lalu Bu Tik bertanya “Kenapa, Mak?” Ibunya balik bertanya, “Nanti kalau kamu bilang ayah masih ada, kalau ayahmu ketangkap bagaimana?”

Bu Tik masih ingat kata-kata Ibunya yang selalu bilang “Kalau ada nak, orang yang nanya sama kamu ayahnya ke mana? Kamu bilang aja ayahnya sudah meninggal”. Bu Tik menceritakan itu semua sambil menangis.

Kisah perempuan-perempuan yang kehilangan laki-laki itu mulai berakhir ketika suasana sudah kondusif. Laki-laki yang ditangkap dan dipenjara kembali pulang ke Desa Pakel. Sedangkan laki-laki yang melarikan diri juga mulai pulang ke Desa Pakel. Ada yang pulang setelah satu tahun; ada yang setelah dua tahun setelah kejadian penangkapan itu. Bu Harun bisa bertemu dengan suaminya; Bu Tik juga bisa bertemu dengan ayahnya. Begitu juga perempuan-perempuan lain di Desa Pakel.

Kini, perjuangan Warga Pakel memasuki babak baru. Warga mendirikan wadah perjuangan bernama Rukun Tani Sumberejo Pakel (https://instagram.com/rukunpakel?igshid=1k63s4cb108hc). Pada tanggal 24 September 2020, Warga Pakel kembali melakukan aksi pendudukan di lahan perkebunan yang diklaim PT Bumi Sari. Warga Pakel melanjutkan perjuangan untuk merebut kembali tanah yang dirampas dengan harapan dan semangat baru.

Semangat itu diwarisi oleh generasi muda Desa Pakel, salah satunya Sri Mariyati. Ia menjadi Sekretaris Rukun Tani Sumberejo Pakel. Bersama Warga Pakel, Sri Maryati membangun solidaritas dan memperkuat perjuangan. Warga Pakel mendirikan posko, menanam, memasak, dan menjaga keamanan dengan kompak di lahan perkebunan.

Waktu kejadian tahun 1999, Sri Mariyati masih kelas 1 SD. Ia menceritakan bahwa ibu-ibu di Desa Pakel beralih menjadi tulang punggung keluarga. Sri Mariyati tidak ingin kejadian itu dialami oleh Warga Pakel lagi. Sebagai seorang Ibu, ia berharap, “Semoga perjuangan sukses. Pada generasi selanjutnya, tidak ada lagi perampasan tanah di Desa Pakel dan kebutuhan ibu-ibu tercukupi”.

Posko perjuangan Warga Pakel juga diisi dengan kegiatan belajar, membaca, menari, bermain, mengaji dan berdoa bersama. Semua ikut berjuang mulai dari orangtua, pemuda dan anak-anak. “Dari situlah anak-anak belajar berjuang. Itulah salah satu cara bagi ibu-ibu untuk mewariskan perjuangan kepada anak-anaknya,” cerita Sri Mariyati.

Artikel Baru

Artikel Terkait