Kinipan: Raut Muram Indonesia Saat Ini

Ungkapan yang tepat untuk dibawa serta menonton film dokumenter Kinipan, yang disutradarai Indra Jati dan Dandhy Laksono, adalah: Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Film garapan Watchdoc Documentary memang sengaja membuka tabir kelam Indonesia. Film berdurasi 2,5 jam, memiliki 7 bab berkesinambungan ini sangat menarik disimak.

Dimulai bab 1: Pohon, Harimau, dan Babi. Tokoh utama diperankan Basuki Santoso, seorang aktivis dari Friend of National Park Foundation (FNPF). Ia berupaya menghijaukan kembali hutan dan habitatnya bersama warga lokal sekitar Taman Nasional Tanjung Putting (TNTP), Kalimantan Tengah. Mereka bergotong-royong selama belasan tahun memulihkan hutan yang terdegradasi. Tak mudah, karena beberapa spesies pohon sangat lambat untuk tumbuh. Bahkan ada yang hanya bertambah satu mili meter per tahunnya. Merisaukan saat mengetahui fakta bahwa pohon butuh ratusan tahun hingga tumbuh besar, namun hanya memerlukan hitungan jam untuk ditebang habis hingga pangkalnya.

Alur film mengalir menuju Sumatera Tengah. Kerusakan hutan berimbas pula pada menurunnya populasi harimau. Menyusutnya predator utama pemangsa babi ini, menimbulkan hama babi yang tidak terkendali. Namun, justru menjadi berkah bagi sebagian warga yang memburu babi, kemudian menjualnya ke kebun binatang Ragunan Jakarta sebagai pakan koleksi hewan mereka. Tetap saja menjadi paradoks.

Memasuki bab 2: Kinipan. Basuki mendatangi Kinipan, ia melihat banyak sekali keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan adat tersebut. Nahas, Basuki juga melihat hamparan hutan yang terkonversi menjadi perkebunan sawit. Bersama Efendi Buhing, Ketua Adat Laman Kinipan, terekam dengan jelas masyarakat bersitegang dengan beberapa orang dari perusahaan sawit. Masyarakat Kinipan membangun pos dan lebih sering berjaga di hutan, untuk mencegah berlanjutnya aktivitas pembabatan hutan oleh perusahaan sawit.

Pertikaian berlanjut hingga Buhing dan beberapa pemuda ditangkap pihak kepolisian, dengan tuduhan pencurian gergaji mesin milik perusahaan. “Effendi bukan penjahat,” tangis histeris istrinya sembari mengejar polisi yang menyeret Effendi Buhing. Video penyeretan Buhing yang direkam istrinya menyebar dengan cepat, solidaritas sesama masyarakat Dayak bahkan hingga ke tingkat nasional pun berdatangan. Tak berselang lama, Buhing dilepaskan tanpa syarat. Penangkapan Buhing tak lain adalah upaya kriminalisasi dan pembungkaman oleh pihak perusahaan.

Pembukaan hutan yang makin meluas berdampak instan terhadap masyarakat Kinipan. Terbukti pada September 2020, banjir menggenang hingga setinggi punggung orang dewasa. Padahal sebelumnya, di Kinipan tak pernah terjadi banjir.

Menelaah bab 3: Pandemi. Agaknya Indra Jati dan Dandhy Laksono melihat korelasi antara masifnya deforestasi dengan zoonosis (perpindahan penyakit pada satwa liar ke manusia). Fragmen ini menampilakan Feri Irawan, aktivis lingkungan asal Jambi, yang menjelaskan hubungan antara manusia dan satwa liar. Bagaimana mudahnya proses mutasi mikroba dan virus yang terdapat di satwa ke manusia. Digambarkan dengan terjangkitnya manusia oleh malaria monyet, dari parasite plasmodium knowlesi yang dibawa oleh nyamuk anopheles. Watchdoc memberi ilustrasi puluhan monyet berkeliaran di sekitaran jalan raya untuk meminta makan kepada pengguna jalan. Hal ini menandakan tipisnya sekat antara manusia dengan satwa liar.

Berkeliarannya satwa liar tentu menjadi perhatian khusus karena monyet-monyet tersebut kehilangan ‘rumah’ dan kekurangan pasokan makanan dari alam. Tak hanya itu, film ini juga mengupas sisi lain pandemi, banyaknya krisis yang melanda hingga undang-undang kaget omnibus law.

Menyimak Bab 4: Omnibus law. Undang-undang sapu jagat ini memang sangat terlihat kehebatannya. Pemerintah bisa dengan mudah mengubah aturan yang dirasa terlalu ribet dengan sekali jentikan jari. Misalnya dihapusnya minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Semudah itu pula pembahasan omnibus law, hanya memakan waktu selama 6 bulan sampai diketuk palu menandakan rancangan undang-undang (RUU) itu sudah sah menjadi undang-undang. Bertolak belakang dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang menunggu hingga belasan tahun sebelum masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2020 kemarin. Film ini juga menyoroti mengenai segelintir pengusaha yang menjelma menjadi penguasa. Tidak perlu disebutkan namanya kalian pasti sudah tahu, bukan?

Membuka bab 5: Food Estate. Setelah membahas omnibus law, fragmen menuju narasi tentang lumbung pangan (Food Estate). Lokasi food estate ini berada di beberapa titik, salah satunya berlokasi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Beberapa bulan setelah dibuka langsung oleh Joko Widodo, proyek yang dikomandoi Prabowo Subianto ini mengerahkan militer untuk mencetak sawah dengan target 500 hektar perhari.

Pelatihan pertanian selama satu pekan tak membuat mereka mahir mengoperasikan berbagai jenis traktor. Terlihat jelas bagaimana para serdadu kelabakan dan justru membuat roda traktor berkubang, hingga petani lokal yang membantu mengembalikan kondisi traktor. Food estate ini membawa kembali ingatan tentang gagalnya satu juta hektar lahan, yang digagas Soeharto di Kalimantan Tengah pada masa Orde Baru.

Dalam Film ini juga dibandingkan bagaimana konsep food estate dengan pertanian rakyat yang terpusat pada masing-masing wilayah. Basuki menjelaskan pula komoditas monokultur dengan skala sangat besar lebih rentan terhadap serangan hama. Bisa dibayangkan jika satu wilayah food estate dengan komoditas padi terserang hama wereng, maka akan ada krisis beras besar-besaran.

Sama sekali zonk ini, nggak ada harapan lagi,” gerutu salah satu petani, ketika melihat buah padi banyak yang kosong sembari mengangkat sampel padi yang gagal di tempat food estate.

Belanjut ke bab 6: Perusahaan Restorasi.  Beralih dari food estate ditarik kembali menuju Sumatera Tengah. Tergambar dengan jelas bahwa masyarakat berkonflik dengan perusahaan restorasi hutan. Padahal perusahaan tersebut bertugas untuk memulihkan kerusakan hutan. Mereka saling tuding dalam kasus kebakaran hutan 2019 silam, bahkan salah seorang warga mengalami tindak kekerasan.

Terdapat fakta yang kontradiktif di sini, perusahaan restorasi ekosistem memiliki kewajiban menjaga wilayah dari kebakaran. Sementara, warga berkilah dari tuduhan membakar karena tak mungkin mereka membakar tanaman yang susah payah mereka rawat. Kasus serupa tapi tak sama, terjadi pada PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (PT. REKI) yang memiliki konsesi di Pangkalan Ranjau, Sumatera Tengah. PT. REKI berkonflik dengan masyarakat adat yang sudah lama mendiami sebagian wilayah konsesi mereka, juga dengan masyarakat adat Suku Anak Dalam.

Keganjilan mengenai perusahaan restorasi meningkat, selidik demi selidik menunjukkan bahwa penghasilan perusahaan tak sebanding dengan apa yang dikeluarkan terutama perkara pajak. Bagaimana bisa perusahaan yang membantu negara memulihkan kerusakan hutan justru harus membayar pajak? Bukankah mereka seharusnya dibayar oleh negara? Bisnis karbon adalah jawaban paling reliabel dalam kasus ini. Perdagangan karbon adalah kegiatan jual beli sertifikat, kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.

Hal menggelitik lain juga makin terlihat saat perusahaan mendapat pendanaan dari berbagai negara maju dengan jumlah yang tak sedikit, namun tetap saja usaha restorasi hutan tersebut tidak berjalan dengan baik. Film ini menyentil pemerintah untuk menilik ulang bahwa tidak seharusnya terlalu serakah menerima pajak dan melupakan kearifan lokal. Masyarakat adat lebih mengerti bahkan mempunyai caranya sendiri untuk menjaga sekaligus memanfaatkan hutan.

Ditutup bab 7: Epilog. Fragmen terakhir merangkum semua hal yang sudah dibahas. Dapat ditarik garis lurus bahwa Film Kinipan merupakan wajah Indonesia saat ini. Film Kinipan memvisualkan dengan jelas hak asasi masyarakat adat yang dirampas, pandemi yang menghantam masyarakat, kontroversi omnibus law, hingga bagian food estate atau lumbung pangan.

Film Kinipan sedikit banyak mengingatkan saya terhadap lukisan karya Hieronymus Bosch yang berjudul “The Garden of Earthly Delights” dilukis antara tahun 1490-1415. Mengisahkan efek kerusakan alam terutama hutan dengan sudut pandang yang berbeda. Bosch melukiskan bahwa manusia merupakan makhluk perusak bagian dari alam itu sendiri. Manusia tamak membabat habis sumber daya alam yang ada, tanpa mengingat bahwa mereka-lah yang membutuhkan alam bukan alam yang membutuhkan manusia.

Rusaknya alam, menghilangnya sumber-sumber air bersih, sumber pangan, hutan pelindung serta terkurasnya emas dan mineral membuat bumi melepaskan banyak hal penyeimbang untuk memulihkan diri. Penyeimbang sendiri memiliki berbagai wujud: bencana, bakteri, virus, hama perkebunan, atau bahkan kombinasi dari kemungkinan-kemungkinan itu.

Setelah menonton film ini, pertanyaan bagaimana jika alam memutuskan mengeluarkan manusia dari ekosistemnya makin sering berkeliaran di kepala. Film Kinipan sukses menyambar kita untuk kembali pada realitas bahwa sebaiknya manusia memberi sebanyak yang mereka meminta, atau sekurang-kurangnya mengambil secukupnya saja.

Artikel Baru

Artikel Terkait