Waspadalah Jika ke Kecamatan Munjungan

Dari sisi barat Watulimo, kami menuntaskan hasrat untuk berkunjung ke Munjungan. Rute yang kami lalui bukan jalur Kecamatan Kampak. Kali ini jalur lintas selatan jadi pilihan.

Menjajal Munjungan dengan meringkas waktu sekitar tiga puluh menit. Memunggungi kawasan perbukitan Gunung Kemukus lewat Desa Karanggandu, Tumpak Ampu, tembus perbatasan Paldaplang menuju Desa Bangun, Kecamatan Munjungan.

Ini perjalanan yang menantang. Ditambah saya ke Munjungan berduaan dengan istri, yang sama-sama tidak tahu Munjungan dan tidak hapal setiap kelokan jalan dan arah-arah tujuan. Kami berdua tidak mengandalkan Google Maps. Kami sepakat “menabuh kentongan” alias bertanya, kepada warga apabila ragu-ragu.

Terus terang mobilisasi saya ke Munjungan bisa dihitung jari. Kalau tidak salah total empat kali, dengan kunjungan kemarin. Berbeda mobilisasi di kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Trenggalek, meski tak sering tetapi sudah biasa masuk-keluar.

Melakukan perjalanan ke kecamatan sisi barat Kecamatan Watulimo ini ibarat “membawa kecemasan” dalam perjalanan. Apalagi saat pamitan dengan orangtua, raut wajah seorang ibu sangat berat melepas izin anaknya melintasi jalanan Munjungan.

Hal tersebut sama berkelindan saat saya memasuki kawasan Perhutani Karanggandu-Paldaplang, Munjungan. Hal pertama yang bergelayut adalah jalurnya yang ekstrim. Hal lain, bagi saya ada rasa puas ketika berhasil melewati jalur Munjungan dengan banyak cerita yang menyertai. Panorama alam yang indah jadi daya tarik dan penawar kecemasan saat di puncak perbukitan.

Sebelum ke sana, saya membuat janji dengan si empunya rumah, Misbahus Surur. Kami berangkat ke Munjungan hari Selasa setelah 1 hari tertunda. Perjalanan kami terbilang lancar. Hanya jantung kami berdebar setiap motor matik Scoopy yang kami tumpangi merangkak naik dengan tenaga kurang stabil ditambah medan berkelak-kelok.

Perpaduan gradasi alam dari atas bukit di sisi selatan, seolah menyejukkan dan memanjakan mata. Hijaunya tumbuh-tumbuhan dan birunya laut berkejaran dengan putihnya riak ombak laut Damas dan Teluk Sumbreng (nama Teluk Munjungan) mengalihkan ketegangan jantung dari curamnya medan. Dari sisi utara rumah-rumah penduduk berjajar kecil-kecil seolah terhadang benteng perbukitan.

Meski demikian, bagi siapa pun jalur Munjungan mengharuskan kehati-hatian dan kewaspadaan. Lalai sedikit nyawa bisa melayang. Apalagi rambu-rambu lalu lintas di jalur selatan ini belum ada sama sekali. Harus berbagi klakson di setiap tikungan, baik dari arah atas maupun dari bawah. Di jalur selatan ini jalannya sudah baik. Aspalnya sudah merata. Hanya kurang beberapa puluh meter di Desa Bangun-Bendoroto, Kecamatan Munjungan.

Di jalur selatan ini saya baru 2 kali melewatinya. Pertama bersama teman asli orang Munjungan. Yang kedua nekat berdua bersama istri. Di kawasan perbukitan Karanggandu; Tumpak Ampu hingga Paldaplang (Watulimo-Munjungan), kami merajut cerita tentang kekayaan alam yang tumbuh subur. Di kawasan ini banyak sekali ditumbuhi berbagai macam vegetasi tanaman dan tumbuhan-tumbuhan. Cengkih, kelapa, petai, jengkol atau jreng dan masih banyak lagi.

Acapkali buah kelapa di-umbrukne di tepi jalan. Dari situ kami menghitung berapa juta, yang petani dapatkan saat sekali-dua panen? Selain kelapa tua, kelapa muda; degan—masih dalam janjangan—siap dijajakan di tempat wisata. Di jalur ini saban sore, mobil pick up banyak naik turun untuk mengambil kelapa. Selain kelapa, pohon cengkih, tumbuhan jreng atau jengkol banyak sekali yang melambai-lambai siap dipanen dan tumbuh-tumbuhan lainnya juga.

Keluar dari pertigaan Desa Bangun, kami belok ke kanan arah utara. Sebenarnya saya tak yakin dengan jalur ini. Tetapi saya berpedoman: salah putar balik dan bertanya kepada warga. Itu pedoman saya saat bepergian jauh. Kami pun melajukan motor dengan kecepatan standar.

Ke utara sekitar 1 kilometer ada seorang ibu yang nginteri gabah, di depan SDN Bangun, saya tanya arah menuju (Mijen) Karangtuwo. Saya tak tahu kalau, rumah Misbahus Surur itu, desanya Munjungan. Yang saya tanyakan adalah arah menuju Karangtuwo. Kami pun diberi arah-arah pertigaan tiang listrik belok kiri atau ke arah barat.

Kami melaju dengan kecepatan standar. Menikmati suasana sore dengan persawahan pascapanen dengan sungai mengalir jernih dan jalan aspal mengelupas. Ke barat, masuk Desa Bendoroto, seorang bapak yang menutup pagar jadi sasaran berikutnya. Ia memberi arah-arah untuk tetap di jalur ini dengan petunjuk yang kurang saya pahami. Kami menggeber motor dengan hati-hati. Aspal mengelupas dan kerikil-kerikil tajam dan pasir berserakan.

Masuk Desa Tawing, saya bertanya kepada orang yang ngentasi gabah di depan rumah. Karena kami memutarbalik arah motor, maka kami dikira salah arah dan kebablasan. Jalur Karangtuwo tetap ke barat. Setelah undak-undakan ada tiga jalur. Belok kiri, ke tengah dan ke kanan. Kami diminta untuk memilih jalur tengah dengan jalan bagus calon JLS (Jalur Lintas Selatan). Setelah itu lurus sampai di Madrasah Aliyah. Sebenarnya Mas Surur, sudah mengirimi saya alamat. Karena handphone tak tersambung sinyal internet, maka arah-arah itu tak ada gunanya.

Kami tetap pada pendirian awal. Bertanya kepada warga kalau ragu-ragu. Sampai di Desa Munjungan, Madrasah Aliyah, saya lamat-lamat teringat dengan gang masuk saat menghadiri pernikahan Mas Surur hampir empat tahun lalu. Karena ragu-ragu, saya bertanya kepada seorang penjual es tebu, barat Puskesmas kalau tidak salah.

Ia memberi arah kalau Karangtuwo itu masuk gang dari arah barat Puskesmas Munjungan sebelum Madrasah Aliyah Munjungan. Lalu ke utara terus ke timur. Di angkringan, saya bertanya lagi kepada seorang pemuda. Dan akhirnya kami sampai juga di rumah Mas Surur dan bersilaturahmi dengan ibu, bapak dan istrinya serta anaknya.

Kami bincang-bincang sebentar. Bertanya kabar masing-masing. Ia kemudian memberikan bingkisan buku Kronik Pedalaman (2021). Setelah itu, kami diajak berkunjung di Pantai Blado. Di jalan kami diberi tahu kantor-kantor di Munjungan, mulai kantor Kecamatan Munjungan, Polsek, pasar Munjungan serta Desa Munjungan sendiri.

Perjalanan ke Pantai Blado, ia memberi tahu bahwa di sebelah barat merupakan tambak udang di sebelah timurnya konservasi Mangrove.

Kami menyusuri bibir pantai dari barat ujung aspal dengan pinggir pantai banyak bangunan warung kopi dan tempat ngopi anak muda menikmati temaram senja. Habis aspal barat, kami memutar kendaraan menuju timur.

Jika saya amati bibir Pantai Blado sebelah barat itu mirip dengan Pantai Damas. Sedangkan sebelah timur itu mirip Pantai Tambak Blitar dengan pancer beserta bangunan TPI yang sudah kusam. Saya sempat mengambil gambar sebentar.

Ombak di Pantai Blado tergolong tinggi. Sehingga perahu bersandar di tengah dan nelayan yang ingin berlayar harus menunggu ombak tertarik ke selatan. Kami tak lama di Pantai Blado. Setelah dirasa cukup, kami balik ke rumah Mas Surur.

Kunjungan ke Kecamatan Munjungan ini bukan dalam rangka melanggar imbauan pemerintah. Lebaran tahun ini berbeda dengan lebaran tahun kemarin. Lebaran tahun ini ada sedikit kelonggaran aktivitas bagi penduduk desa.

Di area alogaritma, terutama di Karesidenan Kediri kelonggaran melakukan aktivitas lebaran terjadi, termasuk di Kabupaten Trenggalek. Karena itu, banyak masyarakat yang memanfaatkan untuk bersilaturrahmi di rumah-rumah orangtua atau sesepuh dan teman-teman.

Munjungan merupakan salah satu kecamatan di sisi selatan Kabupaten Trenggalek. Yang teritorialnya memang dikelilingi oleh pegunungan-perbukitan, sehingga aksesnya tidak mudah dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya.

Dari Munjungan tidak sedikit kisah yang dianyam di jalur daratnya. Kisah-kisah tentang ekstrimnya medan sosio-politik, ekonomi hingga sosio-budaya masyarakat Munjungan menarik untuk dianyam.

***

Di Munjungan, medio 2016 jelang tahun baru, saya memiliki memori tentang Munjungan, terutama Rengkek-Rengkek. Saat itu bersama teman-teman datang dalam persiapan acara festival di lapangan Kecamatan Munjungan. Tahun itu pertama kalinya saya menginjakkan kaki di tanah Munjungan.

Saat perjalanan pulang di letter S Rengkek-Rengkek mobil yang kami tumpangi hampir saja mundur. Semua penumpang termasuk saya teriak dan mengagungkan nama Allah.

Siapa coba yang tidak berdebar jantungnya saat sopir bertakbir dan mobil mati di tanjakan. Hal tersebut karena jalan yang kami lalui tak muat untuk berpapasan dengan truck bermuatan barang curah dari atas.

Mobil yang kami tumpangi harus mengalah dan mundur dengan sopir masih gemetar. Semua penumpang keluar dan mencari batu untuk mengganjal roda supaya aman.

Sebelumnya, saya membaca buku Rengkek-Rengkek: buku yang ditulis oleh orang Trenggalek dan orang luar yang memiliki ikatan dengan Trenggalek. Di dalamnya ada yang mengulas tentang Munjungan.

Dari cerita-cerita ini, saya seolah tersugesti dengan salah satu kejadian yang berada di jalur Rengkek-Rengkek. Dari situlah imajinasi langsung terpelanting dan karena kejadian itu seolah darah ini berhenti sejenak.

***

Saat perjalanan pulang, entah ini perasaan saya sendiri atau sudah menjadi watak orang-orang Munjungan saat berada di jalan.

Saat perjalanan berangkat dan pulang, orang-orang Munjungan selalu memberi klakson kepada orang yang berlawanan arah. Hal tersebut sebagai upaya menyapa kepada pengendara lain dari balik kendali stir.

Budaya sapa di daerah perdesaan memang masih kental dan terbangun dengan baik. Tetapi—sekali lagi—saya pendatang merasa dihargai saat berada di atas motor yang masih belum hapal medan menuju Desa Munjungan tersebut. Akhirnya perjalanan yang kami lakoni terbayar tuntas, dengan silaturahmi di rumah Misbahus Surur di Munjungan sana.

Artikel Baru

Artikel Terkait