Ini adalah cerita perjalanan saya dan teman saya ke Gunung Semungklung yang ada di Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Vina, teman saya, suatu hari mengajak saya liputan untuk mengetahui situasi Gunung Semungklung dan masyarakat di sekitarnya. Soalnya, Kecamatan Pule ini salah satu dari sembilan kecamatan yang masuk dalam konsesi rencana pertambangan emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).
Pada hari Sabtu pagi (10/07), saya dan Vina berangkat menuju Gunung Semungklung. Rencananya kami akan diantar oleh salah satu warga di Desa Pule yang bernama Joko. Ia memiliki lahan kebun kopi di Gunung Semungklung. Selain itu, Joko memiliki warung yang dikelola bersama istrinya. Joko juga merupakan anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI).
Hari itu, Joko juga akan memetik kopi di kebunnya. Pukul 09:00 WIB, kami bersiap menuju Gunung Semungklung dari rumah Joko.
“Wani motoran iki? (Berani motoran ini?)” tanya Joko kepada kami.
Saya diam sebentar berpikir kenapa Joko menanyakan hal itu, lalu saya jawab “Wani, Pak (Berani, Pak)”.
Setelah itu, kami berangkat. Perjalanan menuju Gunung Semungklung melewati pemukiman warga Desa Pule. Lama-kelamaan, semakin menanjak jalan yang kami lalui. Hingga tiba pada jalan yang sangat menanjak, sempit, licin dan terjal di lereng gunung. Akhirnya saya sadar maksud pertanyaan Joko sebelum kami berangkat. Joko menanyakan keberanian kami untuk menempuh jalan yang cukup susah untuk dilalui.
Saya juga baru sadar kenapa motor yang dikendarai Joko lebih cepat lajunya daripada motor yang saya kendarai dengan Vina. Ternyata, ban motornya adalah ban jenis offroad. Vina menyebutnya ‘ban tahu’ karena ada tonjolan kotak-kotak seperti tahu pada bannya. Imajinasinya masuk akal juga.
Beberapa kali saya minta Vina turun dari motor, supaya saya bisa lebih fokus melewati jalan yang menanjak, sempit, licin dan terjal di lereng gunung. Setelah melewati jalan yang susah, Vina pun harus jalan kaki untuk menyusul saya dan Joko.
Kami sampai di lokasi kebun kopi milik Joko setelah beberapa menit kemudian. Saya segera parkir motor di seberang jalan depan kebun kopi milik Joko. Akhirnya kami bisa mengembuskan napas lega dan beristirahat sebentar. Kalau dihitung, jarak Gunung Semungklung dari rumahnya Joko kami tempuh kira-kira 10-15 menit.
Saya nyumet (menyalakan) rokok, menghisapnya, lalu mengamati suasana sekitar kebun kopi. Ada kebun dengan tanaman yang bermacam-macam. Seperti buncis, lombok, kentang, jahe merah, dan lain-lain.
Joko bertanya, “yang pengen kalian lihat itu lokasi yang terdampak rencana tambang emas kan?”
“Iya, Pak. Pengen tahu lokasinya,” jawab Vina.
Kemudian, Joko mengantar kami mengelilingi sekitar kebun kopi. Ada juga lahan perkebunan cukup luas yang sudah disiapkan untuk ditanami.
“Ya, kalau terdampak pertambangan, pastinya akan terdampak pada semua perkebunan yang menjadi sumber ekonomi warga di sini” ujar Joko.
Joko menjelaskan, “Kalau secara pasti lokasinya saya tidak tahu. Tapi dulu sempat ada orang yang datang untuk melakukan pemetaan. Belum tahu perusahaannya apa. Kabarnya data pemetaan itu akan dijual ke perusahaan atau gitu lho”.
Menurut penuturan Joko, Gunung Semungklung memiliki banyak sumber air yang menjadi penopang kehidupan masyarakat. “Kalau ditambang, siapa yang tanggung jawab ketika sumber airnya hilang?” ucap Joko.
Kata-kata yang diucapkan Joko ini mengingatkan saya pada perjuangan masyarakat di daerah lain untuk menjaga alam dari ancaman kerusakan oleh tambang. Seperti perjuangan warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, atau perjuangan warga Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Pertambangan selalu membawa wacana janji kesejahteraan, padahal ada kerusakan alam dan konflik dalam masyarakat yang menjadi tumbal janji kesejahteraan itu.
“Belum ada orang (perusahaan tambang) yang masuk ke sini akhir-akhir ini. Ya kalau ada, tunggu dulu lah. Jelasin dulu apa manfaatnya bagi masyarakat?” ujar Joko.
Seusai keliling sekitar kebun kopi, kami kembali ke tempat motor kami diparkir. Joko mengambil tas dan bersiap memetik kopinya yang sudah berwarna merah. Joko memperhatikan kualitas kopi yang ia petik, kalau tidak benar-benar bagus, maka Joko belum memetiknya. Vina ikut memetik kopi dan memfoto aktivitas Joko. Saya tidak membantu karena tidak terlalu paham perkopian. Takut salah petik.
Kopi yang dipetik Joko cukup banyak. Saya dan Vina pun minta ijin ke Joko untuk melihat suasana dan pemandangan Gunung Semungklung dari atas. Ketika berjalan mencari tempat yang tinggi, kami berpapasan dengan warga lain yang sedang berkebun. Ada Ibu-Ibu yang sedang memetik tanaman, ada juga pemuda yang sedang me-roundap tanamannya.
Ketika sampai di tempat yang tinggi, perasaan saya jadi lega. Melihat pemandangan dari atas lereng Gunung Semungklung memberi ketenangan tersendiri. Kami memfoto dan merekam suasana alam yang masih asri. Dari atas, kami bisa melihat Kecamatan Dongko dan Kecamatan Suruh. Tak bisa dibayangkan, bagaimana jadinya kalau Gunung Semungklung ditambang dan dirusak. Saya tak ingin membayangkan Gunung Tumpang Pitu di Banyuwangi yang sudah dikeruk habis-habisan itu terjadi di sini.
Kami turun ke bawah untuk menemui Joko setelah puas melihat pemandangan dari atas. Ketika sampai di tempat parkir motor, Joko masih memetik kopi. Lalu, Joko menghampiri kami dan bercerita banyak hal. Salah satunya tentang kilas sejarah aktivitas perkebunan masyarakat di lereng Gunung Semungklung.
Joko menuturkan, lahan kebun di lereng Gunung Semungklung dimiliki oleh Perhutani. Namun, setelah reformasi, banyak masyarakat yang melakukan penjarahan di perkebunan. Ada warga yang mendapatkan lahan perkebunan, ada juga yang tidak. Akhirnya Perhutani dan masyarakat membuat nota kesepahaman (MoU) untuk kerja sama pengelolaan kebun dan terus berjalan hingga saat ini.
Cerita lain, Joko mengatakan kalau masyarakat menyebut Gunung Semungklung itu berbeda-beda. Ada yang menamai Semungklung, Sengungklung, ataupun Sengungung. Ketika saya tanya kenapa bisa berbeda, Joko menjawab bedo lambe (beda mulut) saja.
Joko sendiri menyebutnya Gunung Sengungklung. Menurutnya, Sengungklung memiliki arti “Sang Ulung”. Saya jadi semakin penasaran asal-usul beda penyebutan itu. Sepertinya saya harus tanya warga Dongko dan Suruh untuk mengetahuinya.
Jam menunjukkan pukul 11:00 WIB. Kabut putih tiba-tiba datang menutupi sinar matahari. Suasana menjadi agak gelap. Joko berkata kalau masih banyak kopi yang ingin ia petik, dan kami diijinkan pulang duluan.
Setelah meminta ijin, kami bersiap-siap untuk kembali pulang. Rencananya, kami akan membuat video pendek dan cuplikan narasi tentang Gunung Semungklung untuk diunggah di instagram nggalek.co (yang belum nonton, silakan nonton di instagram @nggalek.co).
Tentu masih banyak sebenarnya yang ingin saya ketahui tentang Gunung Semungklung dan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Semoga ke depannya bisa berkunjung lagi. Apalagi saya belum menikmati seduhan Kopi Sengungklung.
Perjalanan pulang tentunya kami kembali menghadapi jalan yang sempit, licin dan terjal di lereng Gunung Semungklung. Bedanya, jalan pulang banyak menurunnya. Saya harus lebih fokus supaya tidak terpeleset atau jatuh ke jurang. Pastinya Vina harus turun motor dan jalan kaki lagi. Setelah berhasil melewati jalan itu, kedua tangan saya jadi pegal. Ke depannya, kalau mau ke lereng Gunung Semungklung, fiks harus bawa motor dengan ‘ban tahu’.