Turonggoyakso tanpa Pamrih

Sebelum berkenalan dengan Pak Pamrih—panggilan untuk Pamrihanto—dan bertanya banyak hal kepadanya mengenai Turonggoyakso, saya tidak begitu dekat dengan seni jaranan. Ketertarikan saya dengan tontonan jaranan, barangkali sama dengan kebanyakan penonton jaranan lain, sebatas menanti-nanti kapan jaranane ndadi (trance). Hal menarik lainnya, sebagai tambahan, adalah warna-warni kostum yang dikenakan para pemain. Termasuk di situ kreasi medianya berupa kuda lumping yang ditunggangi para tukang jaranan, berbentuk perpaduan badan kuda-berkepala buto, yang diukir-lukis sedemikian rupa, juga pada karakter barongan.

Setelah pengalaman mengobrol langsung dengan Pak Pamrih, karena kepentingan menggali data untuk penulisan buku-foto sekitar pertengahan tahun 2013, juga menyaksikan langsung bagaimana Pak Pamrih memperagakan patron-patron tari, sembari memberi penjelasan ihwal makna-makna tiap gerakan tariannya, saya menjadi menyukai Turonggoyakso.

Dari wawancara dengan Pak Pamrih itulah, saya banyak memperoleh pengetahuan baru, bahwa, di antaranya, tari Turonggoyakso memiliki gerakan-gerakan yang teratur dan berkaidah. Lebih menarik lagi, kaidah gerakan-gerakan tariannya diadaptasi-elaborasi dari pola gerak petani di lahan pertanian. Maka, keliru sudah dugaan saya selama ini bahwa semua jenis jaranan, gerakannya tidak berkaidah dan berpola mana-suka atau suka-suka.

Pak Pamrih menunjukkan bahwa, misalnya, dalam Turonggoyakso gerak yang bernama ukel-sembahan diadaptasi-elaborasi dari gerak mencabuti rumput yang mengganggu padi, di samping juga bermakna memanjatkan doa permohonan. Gerak ukel-negar sengkrak adalah penerjemahan dari gerak petani saat berjalan di pematang usai mencabut rumput. Sementara itu, saat mencangkul tanah di petak sawah diadaptasi menggunakan gerak ukel-sengkrak gejuk. Gerakan lain, misalnya ukel-sirik gejuk, adalah adaptasi dari pola gerak tandur/menanam, dan seterusnya dan seterusnya. Karena kandungan itulah saya mulai menyukai Turonggoyakso dan ingin mengetahuinya lebih jauh. Bahkan dulu sempat terlintas untuk belajar njaran meski tidak kesampaian.

Saya masih ingat, saat itu, di tengah-tengah memperagakan tari, Pak Pamrih kadang menjelaskan bahwa gerakan-gerakan tertentu yang dilakukan beberapa penari masih salah, dan yang benar adalah gerakan-gerakan seperti ini, seperti yang dia peragakan waktu itu. Sambil menunjukkan proses adaptasi-elaborasinya dari gerakan-gerakan atau aktivitas petani di lahan persawahan (agraris). Dan juga menjelaskan simbol-simbol beberapa karakter dalam jaranan yang punya tafsiran sebagai hama atau penyakit pada tanaman, baik penyakit yang tampak maupun yang tidak tampak, seperti celengan, juga barongan.

Karena itu, keunikan yang dimiliki jaranan Turonggoyakso Trenggalek, menurut saya pribadi, ya pada patron tariannya yang sedikit saya singgung di atas. Di sana ada paduan antara gerak ukel dan gerak lawung. Ukel, kata Pak Pamrih adalah gerak dasar atau pokok, sementara lawung adalah gerak kembangan. Ukel dan lawung pada Turonggoyakso itulah yang bisa jadi membedakan jaranan khas Trenggalek ini dengan genre jaranan lain, bukan pada media jaranannya. Bahkan dari jenis jaranan yang disinyalir menjadi indukannya seperti jaranan buto, misalnya, yang hidup di Banyuwangi maupun di tempat lain, seperti di Tulungagung.

Turonggoyakso dengan ukel dan lawung yang khas Trenggalek itu adalah Turonggoyakso yang mula-mula kelahirannya diilhami oleh upacara syukuran panen di lahan pertanian di Desa Dongko bernama BaritanBaritan adalah nama upacara syukuran panen/pertanian, yang dulu pernah hidup di Dongko. Dari sejarah Baritan itulah tari-tarian Turonggoyakso itu dilahir-kreasikan oleh kreatornya Pamrihanto, sebagai kreator tari, dan Muan, kakak Pamrih, sebagai kreator musik pengiring (koreografi).

Beberapa waktu lalu saya menjumpai beberapa diskusi di medsos, ihwal beberapa dugaan: apakah jaranan buto menjadi leluhur Turonggoyakso? Apakah Turonggoyakso berasal dari jaranan buto Banyuwangi atau jaranan buto dari Tulungagung? Menurut saya, keberadaan patron tari yang lahir dari upacara syukuran panen desa itulah yang menjadikan Turonggoyakso unik dan khas Trenggalek. Meski toh kenyataannya, harus disadari, semua bentuk kesenian, apa pun itu, pastinya punya induk kesenian lain sebagai leluhur.

Tapi meski Turonggoyakso memang khas Trenggalek, disebabkan elemen tariannya. Bisa saja bentuk medianya (kuda lumping), berasal dari jenis jaranan lain. Karenanya wajar, dilihat dari kesamaan pola bentuk kuda lumping yang paduan kepala buto dan badan kuda, antara Turonggoyakso dan jaranan buto Banyuwangi, ada yang mensinyalir semacam dipengaruhi Banyuwangi. Apalagi, saya pernah mendengar tuturan langsung, baik dari Pak Pamrih maupun Pak Muan, ketika menulis buku foto tahun 2013 itu, bahwa mereka memang bukan asli Dongko, melainkan dari Tulungagung. Di Dongko mereka berdua pendatang yang bertetirah ke Trenggalek pada mulanya karena urusan pernikahan, lalu menetap di Dongko.

Meski begitu, pemilihan menggunakan media kuda lumping berkepala buto dan berbadan kuda tersebut dalam konteks kelahiran Turonggoyakso sendiri, ada sejarahnya. Mengenai nama-nama ukel dan lawung serta asbabun nuzul jaranan berkepala buto-berbadan kuda pada Turonggoyakso ini saya singgung di buku Turonggoyakso: Berjuang untuk Sebuah Eksistensi (2013).

Akan tetapi bila dugaan Turonggoyakso diadopsi dari jaranan buto Banyuwangi, informasi yang saya dapat dari sebuah penelitian malah menyodori data sebaliknya. Menurut penelitian Van Groenendael & Victoria M. Clara dalam buku Jaranan: The Horse Dance and Trance in East Java (KITLV, 2008: hlm 73), jaranan buto dibawa ke Banyuwangi justru oleh pendatang dari Trenggalek. Di Banyuwangi sendiri, kata Groenendael  & Victoria, tahun 1930-an, jaranan tidak pernah menjadi tradisi.

Dengan karakteristik tarian-tarian yang benar-benar diilhami dari jagat pertanian, menunjukkan bahwa Turonggoyakso adalah jenis jaranan yang paling kuat menunjukkan jati dirinya sebagai seni (berkarakter) agraris. Apalagi dari dulu hingga sekarang, jaranan adalah kesenian yang paling banyak dihidupi oleh masyarakat akar rumput (masyarakat petani) dengan kecintaan mendalam. Sekurangnya bila dibanding dengan misalnya kesenian wayang atau ketoprak yang tampak lebih elite. Dua kesenian yang disebut terakhir itu pun kini terus bersiasat dengan beradaptasi menggunakan kreasi-kreasi baru, sesuai tuntutan zaman dan kondisi masyarakat penikmatnya.

Tahun 1970-an Pak Pamrih, mengreasi tari dalam Turonggoyakso, diilhami dari Baritan (bar ngarit tanduran, kata Pak Pamrih). Akhir tahun 1980-an patron tari tersebut mulai semacam didesiminasikan oleh Pak Pamrih dkk, dalam acara lomba pentas kesenian yang diadakan Pemkab Trenggalek dan sempat mendapatkan juara satu. Dari situlah, lalu mulai dikenal banyak orang di seluruh Trenggalek, sebelum akhirnya ditahbiskan menjadi kesenian khas daerah.

Pak Pamrih telah tutup usia pada hari Minggu 29 Agustus 2021, meninggalkan warisan kesenian berharga yang demikian filosofis dengan gerakan penuh makna. Seorang kreator kesenian yang mumpuni dan tulus (tanpa “pamrih”) tentu tidak akan banyak dilahirkan. Demikian juga dengan sosok Pak Pamrih. Semoga kreasi Pak Pamrih di bidang kesenian—yang kini tidak cuma digandrungi oleh warga Trenggalek di wilayahnya sendiri, tetapi juga oleh warga Trenggalek perantauan yang berdiaspora di berbagai tempat di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri—terus lestari.

Turonggoyakso adalah seni simbol topografi wilayah Trenggalek sendiri yang sawahnya membentang berpagar gunung dan bukit. Turonggoyakso adalah seni yang bisa memberi penyadaran bahwa manusia dan alam sungguh begitu dekat tak berjarak dan bersaudara. Dengan begitu, haram saling menjarah, apalagi mengeksploitasi.

Turonggoyakso adalah lawan dari korporasi tambang yang datang dengan niat merusak alam pertanian dan tanah yang produktif, seperti tambang emas dan lainnya, yang punya daya rusak tinggi. Semoga Turonggoyakso menjadi amal jariyah keseniannya Pak Pamrih karena di dalamnya mengandung banyak pengetahuan yang bisa menyadarkan kita semua. Sugeng tindak, Pak Pamrih. Mugi pinaringan kaswargan Jati. Lahul fatihah.

Artikel Baru

Artikel Terkait