Tambang, Perempuan, dan Ekofeminisme

Senin, 13 September 2021 berlangsung diskusi publik bertajuk “Rakyat Trenggalek Waspada Tambang” oleh Aliansi Rakyat Trenggalek (ART). Dalam diskusi tersebut, turut hadir JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jatim, Pemkab Trenggalek, serta masyarakat Trenggalek dari berbagai lapisan. Sebagaimana tajuk acara, kegiatan ini membahas isu tambang di Kabupaten Trenggalek, dipandang dari daya dukung dan daya tampung suatu wilayah. Acara ini dimaknai sebagai upaya mengalkulasi keuntungan dan kerugian kegiatan ekstraktif pertambangan, dengan pengarusutamaan kesejahteraan dan pemanfaatan sumber daya alam bagi kehidupan berkelanjutan.

Sebagai bentuk catatan berperspektif ekofeminis, tulisan ini hadir dari penulis dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September. Tentu dalam hal ini, kita sedang menarik perbincangan mengenai kesaling-eratan antara konsep pertanian, ketersediaan sumber daya alam sebagai media bercocok tanam di satu sisi, dengan perempuan sebagai subjek kehidupan di sisi lain. Pertanian sendiri adalah pekerjaan utama masyarakat Trenggalek yang sangat bergantung pada kualitas tanah dan suplai air, di samping kuantitas tenaga kerja dan ketersediaan suplai pupuk pertanian.

Membahas tambang, tentu mengajak kita menghitung untung rugi, baik kesejahteraan maupun dampak kerusakan alam, karena pengelolaannya yang bersifat eksploitatif. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Françoise d’ Eaubonne (1974) yang menyatakan bahwa kerusakan alam dan lingkungan disebabkan oleh manusia justru lebih besar dibanding kerusakan yang diakibatkan bencana alam. Dalam aktivitas pertanian, kerusakan alam membawa dampak pada kualitas tanah yang ditanami, karena senyawa berbahaya selama proses pertambangan, rusaknya sumber mata air bagi kehidupan, serta kualitas udara yang berpolusi tersebab kerusakan hutan sebagai penyeimbang karbon polutan.

Memahami daya dukung dan daya tampung adalah pijakan dalam pengambilan keputusan soal tambang di samping analisis AMDAL. Ini dimaksudkan sebagai upaya menghadirkan perspektif kebutuhan yang hadir dari masyarakat yang secara turun temurun mendiami wilayah terkait. Perspektif kebijakan humanistik dalam konteks ini adalah bagaimana cara pandang kita dalam melihat kehidupan dan penghidupan yang mengedepankan keberlangsungan dan kesejahteraan. Karena konsekuensi dari kebijakan pengelolaan wilayah akan berimbas pada masyarakat yang tinggal pada wilayah tersebut. Di sinilah pentingnya mempertimbangkan perspektif masyarakat untuk menganalisa kondisi wilayah dan kehidupan seluruh makhluk pasca kegiatan tambang diberlakukan.

Dalam kacamata ekofeminis, eksploitasi sumber daya alam secara sosial membawa dampak berlapis bagi perempuan karena statusnya sebagai subordinasi dalam struktur masyarakat patrialkal: yang berjibaku dalam pemenuhan kerja domestik. Selain itu, kebertubuhan perempuan memiliki kesamaan dan keeratan dengan konsep ibu bumi. Hal tersebut sejalan dengan pemahaman bahwa menempatkan perempuan dan alam sebagai objek eksploitasi bisa membawa dampak yang tidak baik bagi kehidupan sekaligus bagi kesinambungan hidup. Dapat kita contohkan, bahwa rusaknya sumber mata air menyebabkan kebutuhan dasar perempuan atas akses air bersih dan kebersihan menjadi tidak terjamin. Ketidakterjaminan air ini berpengaruh pada organ perempuan yang menyebabkan ketidaksehatan anak-anak yang dilahirkan.

Dalam kasus tambang, gerakan feminis dapat dilihat pada gigihnya para perempuan Kendeng dalam melakukan gerakan menyuarakan penolakan eksploitasi sumber daya alam di wilayahnya. Gerakan perempuan Kendeng ini adalah bentuk kegelisahan perempuan atas praktik perusakan ekologis yang merusak alam di mana masyarakat menggantungkan hidup lewat aktivitas pertanian serta dampak kerusakan yang berujung pada ketidakadilan gender.

Ekofeminis sebagai aliran feminis gelombang ketiga menjelaskan keterkaitan alam dan perempuan, dengan titik fokus pada kerusakan alam dan penindasan perempuan. Aliran ini memberi gambaran bahwa perusakan alam bisa membawa dampak pada struktur ketimpangan yang lebih jauh. Sehingga perjuangan perempuan dalam konflik sumber daya alam tidak lepas dari seberapa genting dan gelisahnya perempuan dalam memandang situasi. Gerakan perempuan seperti yang dilakukan oleh perempuan Kendeng perlu disadari sebagai buah pemikiran yang lahir dari subjek otonom masyarakat perempuan yang menempati wilayah terdampak.

Perempuan dalam hal ini tidak hanya bertindak sebagai subjek kehidupan yang memiliki hak otonom dalam menyuarakan kondisinya, melainkan juga manusia yang memperjuangkan kesejahteraan bagi kehidupan berkelanjutan dengan memperhatikan banyak aspek kehidupan dan keseimbangan alam. Penting untuk melakukan dekonstruksi guna menciptakan kesadaran ekologis bagi keberlangsungan kehidupan baik bagi perempuan, dan laki-laki sebagai mitra berkehidupan, maupun pemerintah lewat aturan dan kebijakan.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan d’Eaubonne (1974), yang mengatakan bahwa eksploitasi dan hegemonis ekspansif terhadap alam ini paralel dengan subordinasi terhadap perempuan dalam struktur kehidupan, baik dalam tataran sosial, ekonomi, politik dan budaya. Kesadaran seperti ini penting ditanamkan guna mempertimbangkan unsur terkecil dalam lingkungan, juga suara yang hadir dari subjek kehidupan yang potensial, tersebab mengalami imbas atas kerusakan.

Kondisi ini mampu memperlebar paradigma berpikir kita sebagai masyarakat, bahwa setiap keputusan selalu memiliki keterkaitan dengan perebutan kepentingan. Begitu pula, dengan kepentingan atas makna sejahtera versi masyarakat yang tinggal di wilayah tertentu. Arah kebijakan dalam pembangunan mestinya menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan, sehingga gerakan masyarakat, baik melalui diskusi maupun aksi, menjadi bentuk nyata dari suara masyarakat yang perlu didengar sebagai dasar pertimbangan kebijakan.

Tujuannya, agar arah kebijakan pemerintah memberikan dampak positif tidak hanya untuk pembangunan, tetapi juga memberikan kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat di wilayah terdampak, dengan tetap menghargai prinsip upaya untuk bertahan hidup, juga makna sejahtera dalam cara pandang mereka.

Artikel Baru

Artikel Terkait