Kisah-Kisah Perempuan Pertapa yang Mendiami Gua-Gua di Perbukitan Trenggalek

Daerah selatan Jawa, yang merentang dari Gunung Kidul hingga Trenggalek dan terus ke timur sampai Puger (Jember), ungkap Pigeaud, adalah lanskap Jawa Kuno yang menarik di sepanjang pantai selatan. Kenapa begitu? Pigeaud menyebut wilayah-wilayah ini sebagai panggung bagi penampilan gadis-gadis bijak. Yakni kehidupan yang dilalui para gadis muda—sebagian berasal dari jantung-jantung kerajaan—dengan turut berpartisipasi dalam kehidupan transenden (Lucien Adam, 2021: hlm 137). Frasa terakhir adalah istilah yang merujuk pada jalan hidup bertapa.

Kalau kita tengok hari ini, dari Gunung Kidul merentang hingga Jawa Timur, daerah selatan Jawa ini memang terdiri dari gugus pegunungan kapur selatan, yang komposisinya karst: spon air alami. Beberapa pegunungan dan perbukitannya terbentuk dari batuan yang berkelelot dengan motif cekungan dan tonjolan-tonjolannya yang memikat pandangan. Barisan pepohonan dan tumbuhannya mengundang semilir angin sepoi, mengalirkan rasa nyaman dan ketenangan.

Di wilayah selatan Trenggalek, misalnya, dengan kontur pegunungan-perbukitannya yang cukup rapat, dan kawasan hutannya yang kemungkinan dulu lebih lebat dari kondisi hari ini, banyak lahir dan berserak “cerita rakyat” atau folklore yang hidup di tengah masyarakat. Di antaranya adalah folklore mengenai sosok-sosok wanita pertapa yang datang dari wilayah-wilayah jauh. Di antara mereka, menurut cerita tutur setempat, ada yang datang dari Majapahit, bahkan dari wilayah-wilayah seperti Pajajaran, di Jawa Barat.

Di Kecamatan Panggul, ada kisah pertapa perempuan bernama Dewi Trangwulan. Sementara di Kampak beredar kisah seorang pertapa perempuan bernama Dewi Ngerit. Barangkali kisah-kisah serupa, yakni mengenai riwayat kehidupan pertapa-pertapa perempuan ini, dapat Anda temui di beberapa kecamatan lain seperti di Munjungan, Watulimo, Dongko, Suruh, Pule, dan seterusnya.

Perihal pertapa perempuan di Panggul, bernama Dewi Trangwulan atau Terangwulan, menurut catatan Lucien Adam, diawali dari kisah kemarahan sang pertapa, karena setiap mandi ia selalu diejek oleh seekor ikan besar. Tidak tahan dengan hinaan, sang petapa memasang sayembara: bagi siapa saja yang mampu membunuh ikan tersebut dijanjikan akan menjadi suaminya. Sayembara dimenangkan oleh seorang putra pandit (pendeta atau brahmin) bernama Jaka Gemblung. Lalu sang pertapa memenuhi janjinya dan menjadikan pemuda tersebut sebagai suaminya.

Usai pernikahan, ketika tengah melangsungkan bulan madu, pasangan ini diganggu oleh buto (raksasa) dari Gua Dongko, yang hendak mengikuti sayembara tapi datang terlambat. Sang Raksasa bermaksud tetap ingin meminta hadiah sekalipun ia tidak bisa menyelesaikan sayembara. Singkat cerita, pasangan muda ini akhirnya menyingkir ke sebuah gua yang kemudian ditutup batu dari luar. Sekalipun tidak memiliki periode yang terang, kisah ini, catat Lucien Adam, dianggap hasil ingatan kolektif masyarakat mengenai masa-masa awal persebaran Islam di Trenggalek (Lucien Adam, 2021: hlm 138-9).

Sementara di Kampak, menurut folklore yang beredar di tengah masyarakat, pernah terdapat beberapa teritori lama dengan masing-masing penguasanya: sebut saja Kademangan Pesu dengan penguasa Ki Ronggo Pesu, terletak di sekitar Desa Karangrejo. Kademangan Tangar yang teritorinya berada di kawasan Desa Senden hingga Pakel. Kawasan Soreng Nggono yang meliputi Desa Senden; Soreng Pati, penguasa Watulimo; dan Minak Cuncang Gulumanis, yang teritorialnya berlokasi di kawasan Kademangan Watu Kuncung—kini berlokasi di sekitar Desa Dongko. Terakhir, adalah kawasan yang menjadi pusat cerita tutur ini, yakni kisah hidup seorang gadis pertapa yang berdiam di area Gua Ngerit, kini masuk wilayah Desa Senden.

Ronggo Pesu dikenal sebagai penguasa yang kekayaannya melimpah: punya banyak perhiasan hingga uang emas. Selain sakti mandraguna, ia punya sawah-ladang luas, juga dikenal sebagai lelaki dengan banyak istri. Konflik utama folklore lokal ini bermula tatkala Ki Ronggo Pesu mendengar kabar kecantikan Putri Ngerit. Karena merasa sebagai orang paling berkuasa, maka terbit-lah niat untuk memperistrinya. Sayang, niat Ki Ronggo Pesu kedahuluan sosok lain. Pelamar pertama digambarkan sebagai lelaki berbudi luhur nan gagah perkasa: dialah Ki Demang Tangar. Demang Tangar menjadi penantang utama Ki Ronggo Pesu dalam memperebutkan cinta Putri Ngerit, sekaligus dominasi kekuasaan di wilayah Kampak.

Di awal cerita, Ki Demang Tangar yang masih muda dan tampan, digambarkan melamar Putri Ngerit dan diterima. Sementara Ki Ronggo Pesu yang sudah tua bangka meski kaya raya, terlambat melamarnya. Namun, meski sudah dilamar orang lain, karena status sosial dan sifat serakahnya, Ki Ronggo Pesu tetap pada misinya untuk memperpanjang daftar istri. Maka terjadilah pergolakan sengit di antara dua sosok sakti mandraguna ini.

Diceritakan pula bahwa Putri Ngerit ini selain elok rupa, dikenal pula sakti mandraguna. Dan ia sebetulnya tinggal di rumah penduduk setempat, yakni seorang janda di kawasan Kademangan Tangar. Desas-desusnya, ia pendatang dari Keraton Majapahit. Penduduk Desa Pakel, dan Kampak umumnya, lebih mengenalnya sebagai Putri Ngerit. Karena ia dulu tinggal di kawasan Ngerit. Tepatnya, ia “bersemadi-bertapa” di sebuah gua di Ngerit.

Sebagai pusat cerita dari folklore ini, tergambar bahwa sosok Putri Ngerit adalah pertapa perempuan di wilayah hutan Kampak masa itu. Keberadaannya semacam menjadi pelindung alam Kampak dari keberingasan orang-orang serakah macam Ki Ronggo Pesu. Ketika membaca cerita-cerita tersebut, kita juga membayangkan zaman dulu daerah-daerah di selatan Trenggalek ini masih ditutupi hutan lebat, dengan batu-batuan sungai yang besar, dan ceruk-ceruk gua yang berlorong-lorong. Lingkungan alamnya memang cocok menjadi lokasi tetirah dan bertapa. Topografi dan kontur alamnya secara otomatis membentuk benteng perlindungan. Sementara mata air dan sungai, alirannya terjaga karena kelestarian kondisi alamnya.

Dalam folklore-folklore di atas, baik dalam kisah Dewi Trangwulan maupun kisah Putri Ngerit, terlukis bagaimana lingkungan pegunungan-perbukitan yang masih asri. Hutan-hutan dilingkupi rimbun pohonan. Tak heran bila lokasi-lokasi di selatan Jawa ini, dan Trenggalek secara khusus, menjadi salah satu lokasi favorit para pencari suaka ketenangan batin. Dalam catatan sejarah, selain menjadi tempat bersembunyi sekian tokoh-tokoh besar dari kejaran musuh atau sengaja menghindar dari ketidakpastian situasi perang, wilayah selatan Trenggalek ini memang lingkungan yang cocok sebagai semacam kawasan “aktivitas ruhaniyah”.

Bahkan jika kita menengok di google maps hari ini, wilayah Trenggalek bagian selatan masih menjadi daerah paling hijau dan paling rapat pegunungan-perbukitannya bila dibanding dengan wilayah-wilayah lain di sepanjang Pantai Selatan yang merentang dari Yogyakarta hingga Jawa Timur, seperti Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Tulungagung maupun Blitar.

Di zaman kiwari, lokasi-lokasi yang melahirkan kisah-kisah unik berbentuk cerita rakyat tersebut, tengah menghadapi ancaman invasi korporasi (rezim) tambang emas. Keserakahan global bermaksud mengambil kandungan emas di beberapa titik lokasi yang menjadi asal-usul kelahiran cerita-cerita rakyat tersebut. Kita tahu, situs-situs alam seperti kekayaan topografi dan karakter lingkungan pegunungan dengan hamparan persawahannya, sejak dulu memang menjadi lahan subur bagi lahirnya tradisi masyarakat, kreasi kesenian, folklore, hingga peninggalan purbakala. Ekosistem kebudayaan dan sejarah manusia ini terus hidup karena faktor jalinan yang harmonis antara manusia dan alam lingkungannya secara berkelanjutan. Kedatangan perusahaan ekstraktif yang amat merusak adalah salah satu faktor pemutus rantai ekosistem ini.

Sungguh  perusahaan ekstraktif tambang emas, kalau boleh mengatakaan, adalah jenis lain dari mesin genosida kebudayaan manusia di mana pun. Karena aktivitas ekstraktif mengacak sebuah wilayah dengan radius daya rusak (material dan spritual) di hilir yang amat luas. Mula-mula ia memang merusak alam lingkungan tempat tinggal manusia, lama-lama ia juga melenyapkan jejak-jejak peninggalan manusianya: cerita, tradisi, kebudayaan, sosial-ekonomi, situs purbakala dan masih banyak lagi.

Artikel Baru

Artikel Terkait