Akhir-akhir ini pemerintah banyak membuat kebijakan penuh kontroversi. Berbagai lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa, merespons kebijakan kontrovesi itu dengan demonstrasi.
Demonstrasi di negara kita (Indonesia) dilindungi oleh undang-undang. Demonstrasi sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat di negara demokrasi.
Demonstrasi sebagai bentuk penyampaian aspirasi oleh rakyat kepada pemangku kebijakan, yang kinerjanya justru membuat rakyat resah. Contohnya, isu presiden tiga periode, dan meningkatnya harga minyak goreng.
Sebagai warga negara, sudah menjadi hak kita untuk menyampaikan keberatan terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Bentuk demonstrasi bisa berbagai macam. Seperti berorasi di atas mobil, menyanyikan lagu perjuangan, membacakan syair puisi maupun melakukan pentas seni di jalan yang bertemakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah.
Demonstrasi tersebut dilakukan secara ramai-ramai agar semua suara terkumpul, kemudian aspirasi rakyat lebih didengar oleh pemerintah.
Dalam demonstrasi, biasanya massa membawa poster yang bertuliskan isi tuntutan terhadap pemerintah. Poster bisa dikatakan menjadi media yang efektif dan mudah sebagai media penyampai pesan, serta mudah dan murah dalam pembuatannya.
Tak ayal, jika setiap kali kita melihat demonstrasi, selalu banyak massa yang membawa poster diangkat setinggi mungkin agar bisa dilihat oleh pejabat pemerintah.
Akan tetapi, dalam pandangan saya, akhir-akhir ini media poster yang dipakai para mahasiswa sebagai penyampai tuntutan justru “tercoreng”. Pasalnya, beberapa mahasiswa menggunakan bahasa yang menohok dan mengandung unsur seksisme.
Kita lihat ada poster bertuliskan “lebih baik bercinta 3 ronde daripada 3 periode [masa jabatan presiden]” yang dibawakan seorang mahasiswa. Seolah-olah perempuan menjadi objek seksual dengan membawa poster bernuansa seksisme.
Poster yang mengandung unsur seksisme ini akan terlihat sangat aneh jika dibawa seorang mahasiswa untuk aksi demonstrasi. Secara definisi, seksisme mempunyai makna sebuah prasangka terhadap suatu gender yang dianggap lebih rendah.
Sudah bertahun-tahun manusia memperjuangkan kesetaraan gender, namun perjuangan itu seolah-olah mendapatkan tamparan yang keras dengan adanya poster seksis itu.
Seksisme sebaiknya dihindari oleh mahasiswa yang turun ke jalan. Seksisme malah berpotensi menjadikan aksi mereka bisa sia-sia. Sebab, seksisme agak menyimpang dari tujuan awal mereka melakukan demonstrasi.
Oke, kita sebut ini sebagai kebebasan berekspresi. Namun perlu ditinjau ulang bagaimana penerapan dan fungsinya. Kalau poster ini sebagai media berekspresi yang berkaitan dengan mengejawantahkan ‘keegoisan’, tentu bukan menjadi masalah. Namun, akan menjadi masalah jika hal tersebut digunakan sebagai media penyampai aspirasi yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Akan menjadi rancu jika hal yang bersifat personal seperti ‘egoisme’ dipertemukan dengan hal yang menyangkut kepentingan banyak orang. Sseperti poster yang dibawa mahasiswa mengandung unsur seksisme.
Secara analogi, bahasa yang dipakai mahasiswa juga tidak sesuai dengan tujuan awal mereka beraksi. Sebagai contoh, ada poster yang bertuliskan “lebih baik diranjang 3 ronde dari pada 3 periode [masa jabatan presiden]”. Dari kalimat tersebut dapat dipahami jika 3 periode masa jabatan masa presiden, sama dengan orang yang melakukan aktivitas seksual di ranjang selama 3 ‘ronde’.
Seolah-olah, urgensinya sama antara masa jabatan presiden dengan hubungan ranjang. Jika masa jabatan presiden tentunya secara politik, ekonomi dan kebijakan lainnya yang menyangkut kepentingan rakyat akan terpengaruh.
Sementara, kalian (mahasiswa yang membawa poster mengandung unsur seksime di jalan) mau berhubungan ranjang 2 ronde, 3 ronde, atau 4 ronde tidak ada pengaruhnya terhadap orang banyak.
Ya, kecuali kalau kalian melakukan hubungan seksual dengan memaksa pasangan, serta tindakan lain yang melanggar hukum (sesuai UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Maka kalian kemungkinan dijatuhi sanksi serta melibatkan orang lain.
Tapi percayalah, mau kalian berhubungan ranjang 2 ronde, 3 ronde, atau 4 ronde, rakyat (yang dirugikan oleh kebijakan pemerintah) tidak peduli.
Jatuhnya kalian hanya akan ‘mencoreng’ semangat massa aksi lain yang bersungguh-sungguh ingin menyuarakan aspirasinya. Bayangkan, mahasiswa lain sudah bersusah payah dalam membuat kajian, berkonsolidasi ke sana-kemari dan melakukan aksi di bawah terik matahari. Belum lagi, bagi yang menjalankan ibadah puasa akan lebih berat karena harus mengekuarkan tenaga yang tidak sedikit.
Demonstrasi bukanlah main-main. Ini adalah hal yang serius. Akan sangat tidak etis jika aksi demonstrasi yang dikakukan mahasiswa harus tercoreng dengan beberapa mahasiswa yang membawa poster yang mengandung unsur seksisme saat aksi.
Semoga hal ini bisa menjadi pembelajaran dan menjadi bagian dari pendewasaan. Semangat bagi para mahasiswa yang menyampaikan aspirasi rakyat di jalanan. Semoga perjuangan kalian berujung manis.
Hidup mahasiswa!