Judul tulisan ini saya tujukan kepada setiap pemuda yang merasa tercerabut dari akar sejarah tempat kelahirannya, Trenggalek. Termasuk saya sendiri. Dan saya akan bercerita, atau lebih tepatnya mengakui, bahwa saya adalah salah satu pemuda Trenggalek yang tercerabut dari akar sejarahnya.
Sebelum ngomongin jauh-jauh soal pengakuan tercerabut dari akar sejarah, saya akan mengakui hal-hal kecil tentang saya dan lingkungan sekitar saya. Singkatnya gini, saya ini bisa dibilang agak introvert dan anti sosial.
Menurut saya, orang yang “tercerabut dari akarnya” itu bisa dibuktikan dari seberapa banyak yang tidak diketahui orang itu tentang lingkungan sekitarnya. Dalam kasus saya sendiri, saya tidak hafal nama-nama tetangga saya. Bahkan nama teman-teman di sekitar rumah. Ya, cukup parahlah.
Ketidakhafalan nama-nama tetangga dan teman itu diperparah saat saya pulang ke Trenggalek dari perantauan selama enam tahun. Awalnya, saya merantau karena ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Eh, ternyata perantauan itu gagal. Kalau mau tahu secuil curhatannya, bisa baca tulisan saya yang judulnya “Pulang sebagai Mahasiswa Gagal”.
Ke depannya, saya ingin lebih banyak berkomunikasi dengan tetangga dan teman teman saya di desa, khususnya Dusun Sooko, Kecamatan Tugu, rumah saya. Karena, aktivitas saya selama setahun lebih setelah pulang dari kuliah, kebanyakan di wilayah Kota Trenggalek. Dampaknya, masih banyak orang saat ketemu saya bertanya “sejak kapan pulangnya?” dan saya selalu menjawab, “sejak akhir 2020 saya sudah pulang”. Sampai hari ini pun masih banyak orang yang bertanya seperti itu.
Kembali ke persoalan tercerabut dari akar. Setelah satu tahun beralih dari kehidupan nomaden ke menetap di Trenggalek, saya semakin sadar kalau saya ini benar-benar tercerabut dari akarnya. Saya tidak tahu berapa jumlah kecamatan di Trenggalek, dan tentu tidak hafal nama-nama kecamatan di Trenggalek.
Saya juga tidak tahu dan tidak hafal nama-nama jalan di Trenggalek, apalagi arah jalannya. Ketidaktahuan saya ini setidaknya merepotkan diri sendiri dan teman-teman saya. Misal kalau diajak jalan-jalan ke sebuah daerah dan ketemuan di sebuah jalan, maka saya harus mengandalkan google maps.
Saya pernah diajak teman saya, Vina, ke Kecamatan Kampak dan ketemuan di pertigaan Sumberingin. Dengan santai saya jawab, “pertigaan Sumberingin itu mana?”
Pada Agustus 2021, ada teman dari Surabaya ngajak saya jalan-jalan ke Kecamatan Watulimo dan Kecamatan Munjungan. Saya juga mengantarkannya dengan bantuan google maps. Pas kembali ke daerah kota, malah dia yang lebih hafal jalan dan mengantar saya.
Dia bilang, “kamu ini orang Trenggalek yang tidak layak dijadikan referensi tentang Trenggalek”. Orang Trenggalek yang hampir tidak tahu apa-apa soal Trenggalek. Itulah saya.
Teman saya dari Surabaya itu namanya Rere, dia adalah aktivis di Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Dia mengajak saya keliling ke beberapa kecamatan di Trenggalek yang terdampak pertambangan emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).
Karena ikut ngawal isu tambang emas di Trenggalek inilah, saya jadi belajar kembali tentang sejarah Trenggalek. Saya jadi hafal nama-nama kecamatan yang ada di Trenggalek. Selain itu, saya juga belajar menghafal nama-nama jalan dan juga nama-nama tetangga serta teman-teman saya di sekitar rumah.
Selama setahun lebih, kegiatan belajar tentang sejarah Trenggalek ini saya lakukan dengan beberapa aktivitas saya di nggalek.co dan kabartrenggalek.com. Saat beraktivitas di nggalek.co dan kabartrenggalek.com, ada satu momen yang benar-benar menyadarkan bahwa saya ini benar-benar tercerabut dari akar sejarahnya.
Momen itu datang ketika Adib Tamami, pegiat sejarah dan budaya Laskar Mpu Sindok, memberi kabar bahwa Adat Sinongkelan dari Desa Prambon, Kecamatan Tugu, ditetapkan oleh Kemendikbud sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2021.
Sebagai warga Desa Prambon, saya tidak tahu banyak tentang Adat Sinongkelan. Setelah dikabari Adib, saya langsung bergegas untuk wawancara Sekretaris/Carik Desa Prambon, Pak Tohari. Hasil wawancara itu saya terbitkan di kabartrenggalek.com dengan judul “Mengenal Adat Sinongkelan, Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2021 dari Desa Prambon Trenggalek”.
Setelah menulis tentang Adat Sinongkelan, saya jadi lebih merasa bangga karena lahir di Trenggalek, khususnya Desa Prambon. Sebab, Adat Sinongkelan menginspirasi saya untuk meneladani semangat leluhur desa dalam menjaga kelestarian lingkungan, menghadapi berbagai bencana, serta bertahan hidup dengan pertanian.
Saya senang ketika keinginan untuk terus belajar tentang sejarah dan budaya Trenggalek mendapatkan dukungan dari Misbahus Surur, penulis asal Trenggalek serta editor nggalek.co. Pak Misbah, memberi bukunya yang terbaru “Kronik Pedalaman” kepada saya (padahal saya niatnya itu beli bukunya untuk apresiasi, tapi Pak Misbah tetap ngotot untuk memberikannya secara gratis).
Banyak cerita di buku “Kronik Pedalaman” yang menambah wawasan tentang sejarah Trenggalek serta sistem pertanian yang dibangun dengan kesadaran merawat lingkungan. Satu hal yang mengejutkan ketika membaca buku itu yaitu, saya jadi tahu kalau sistem pemerintahan kerajaan Jawa kuno itu terinspirasi dari pola pertanian oleh orang-orang desa.
Selain itu, ada sebuah kutipan yang memotivasi saya untuk terus belajar sejarah dan budaya Trenggalek. Yaitu kata pengantar dari Mochamad Nur Arifin, Bupati Trenggalek, di buku “Kronik Pedalaman”. Arifin menulis “Aja lali omahmu! Sapa kowe, aja keblinger!” Artinya “Jangan lupa rumahmu! Siapa kamu, jangan keliru!”
Menurut saya, Arifin mencoba mengingatkan kepada orang Trenggalek untuk tidak melupakan asal-usulnya dan tidak tercerabut dari akar sejarah tempat kelahirannya. Dalam kata pengantar di buku “Kronik Pedalaman”, ada satu paragraf menarik yang ditulis Arifin untuk orang Trenggalek:
Baca saja esai ‘Mengapa Kabupaten Trenggalek Tampak Mini dan Sempit? Hingga “Batu Panduan Pulang”- di sana akan kalian temukan, atau setidaknya mencoba menemukan kembali, siapa diri kita dan apa hubungan kita dengan Trenggalek. Jikalau kamu tidak menemukannya, saran saya, lembutkanlah hatimu untuk menerima kenyataan bahwa Trenggalek pernah seperti itu sebelum ada kamu, dan setelah ada kamu seperti apa?”
Oleh karena itu, Ke depannya, saya ingin terus belajar tentang budaya dan sejarah Trenggalek. Masih banyak kisah-kisah penting yang tidak saya ketahui tentang Trenggalek. Sebab, saya tak ingin merasa tidak memiliki sesuatu yang berharga, sebelum sesuatu yang berharga itu hilang. Contoh sesuatu yang berharga itu adalah kekayaan alam Trenggalek yang selama ini menghidupi masyarakat. Tapi saya baru sadar dengan kekayaan alam itu ketika suatu saat hilang karena dirusak oleh tambang emas.
Selain itu, saya juga ingin terus menambah teman dan belajar bersama untuk mengembangkan budaya literasi di Trenggalek. Saya bisa mewujudkan keinginan itu melalui nggalek.co. Pada akhir 2021, saya dan teman-teman di Trenggalek pernah membuat ‘Sinau Jurnalistik’ untuk belajar menulis bersama.
Kemudian di tahun 2022 ini, nggalek.co melanjutkannya dengan membuat pelatihan ‘Jurnalisme Lingkungan’, berkolaborasi bersama kabartrenggalek.com, Aliansi Rakyat Trenggalek, dan WALHI. Pelatihan ini cukup mengejutkan bagi saya, karena yang daftar ada dari Tulungagung, Ponorogo, Jombang, Kediri, Malang, hingga Pasuruan.
Para pemuda saat ini sepertinya semakin banyak yang resah dengan keadaan lingkungan yang semakin tidak baik-baik saja. Khususnya di Trenggalek ada ancaman kerusakan lingkungan dari pertambangan emas oleh PT SMN. Dari sini saya memaknai bahwa literasi tak hanya menjadi hobi nulis, baca atau diskusi saja. Tapi, makna literasi adalah sebuah upaya untuk merawat kesadaran kita untuk mempertahankan ruang hidup bersama.
Saya merasa senang karena ada wadah belajar di nggalek.co dan berkenalan dengan orang-orang seperti Misbahus Surur, Trigus Dodik Susilo, Dian Meiningtias, Bu Mundi Rahayu, Mbah Soeripto, dan Alvina Nur ‘Asmy. Kehadiran mereka menjadi penyemangat untuk saya terus belajar bersama.
Saya juga senang ketika Trigus mengajak membuat media online berbasis jurnalisme kabartrenggalek.com. Sehingga saya bisa ketemu dan belajar lebih jauh tentang jurnalisme di Trenggalek bersama Muhammad Zamzuri, Bejo Junior AKDP, Bayu Setiawan, Om Cahyo Handriadi, dan Om Sunu Dyantoro.
Masih ada orang-orang lain yang saya temui dan akhirnya juga bisa jadi teman belajar tentang Trenggalek. Saya tidak menyebutkan latar belakang mereka satu-persatu. Tapi, intinya mereka semua adalah orang Trenggalek yang hebat dan layak dijadikan referensi tentang Trenggalek. Tidak seperti saya saat ini.