Tanggung Jawab Menjaga Lingkungan Ibarat Menjaga Kapal dari Tenggelam

Suatu hari ketika hendak ke kamar mandi, kran di rumah tiba-tiba mogok. Padahal tombol air dalam kondisi menyala, dan listrik sedang baik-baik saja. Hal seperti itu sering terjadi, bukan cuma dua tiga kali. Di Munjungan, rumah-rumah yang sengaja menyalurkan air dari PDAM, seperti di rumah kami, tidak selalu lancar digelontori air.

Hal serupa, bahkan, sering saya alami di rumah kontrakan di Malang. Karena jatah air di tempat saya ngontrak dibagi merata ke seluruh kampung—bahkan beberapa kampung—dalam sehari air cuma mengalir beberapa jam saja.

Menurut tetangga kontrakan, air di kampung disalurkan dari salah satu sumber mata air di kaki gunung sebelah barat sana, yakni dari arah lereng Gunung Kawi. Mata air tersebut ditandon masyarakat setempat dengan cara dibuatkan semacam embung. Lokasinya agak jauh dari permukiman. Sebelum ada embung bersama, kampung tersebut dulunya termasuk tempat yang sulit air.

Di rumah-rumah wilayah RT saya, jatah air untuk mengalir adalah pagi hari. Dengan begitu, sebisa mungkin tiap pagi, saya harus menyalakan kran dan memenuhi semua bak air yang kosong. Namun adakalanya pada pagi hari, air tidak disiplin mengalir tiap hari. Kadang ia baru mau mengalir pada siang hari, atau pada jam yang tak menentu. Padahal, waktu pagi hingga sore harinya, saya harus pergi bekerja. Dan mustahil menunggui air menyala baru turun ke bawah—dari kontrakan menuju lokasi kerja di arah kota, jalanan yang harus saya tempuh banyak turunnya.

Di sela-sela itu, hampir setiap bulan, selalu ada satu hingga empat hari, air tidak mengalir sama sekali, sehingga harus menghemat. Dan, dengan terpaksa, harus merapel mandi untuk beberapa hari. Namun kalau sudah tidak betah, terpaksa juga harus mengungsi.

***

Demikianlah. Arti penting air memang semakin dapat dirasakan ketika kita mengalami kesulitan akses seperti itu. Bayangkan bila air dalam lubang sumur di belakang rumah kita tiba-tiba mengering, atau kran air di kamar mandi, yang sehari-hari biasanya lancar, tiba-tiba macet dan tidak lagi mau mengalirkan air seperti biasanya, bahkan hingga beberapa hari.

Bagaimana cara kita cebok ketika buang hajat atau saat kebelet pipis? Betapa repot jika mau mandi atau berwudhu saja, air tidak ada. Padahal jika dihitung, dalam sehari saja, belasan kali kita harus bolak-balik ke kamar mandi untuk kebutuhan pokok maupun mendesak macam kebutuhan-kebutuhan di atas.

Barangkali pada suatu ketika nanti, baik secara mendadak atau secara perlahan-lahan, akan terjadi pada kita hal-hal yang tidak diinginkan seperti itu. Kesulitan akses pada kebutuhan-kebutuhan elementer, macam kebutuhan kita pada air. Hal-hal yang semestinya mudah didapatkan, tiba-tiba, karena suatu hal, menjadi sulit dan amat merepotkan.

Ironis kalau fenomena kelangkaan air seperti itu terjadi di desa-desa di wilayah pegunungan dan perbukitan yang dirimbuni pohonan seperti di Trenggalek, yang lereng-lerengnya dikenal punya mata air melimpah, dan secara geografis dikitari oleh banyak aliran sungai dengan debit air yang turah-turah.

***

Goa Ngerit di Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek
Goa Ngerit di Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek/Foto: Dokumen Misbahus Surur

Jauh sebelum manusia mempunyai teknologi air yang canggih, sebetulnya alam telah menyediakannya melalui hutan. Hutan adalah tandon air alami yang bisa menyimpan dan mengelola air. Hutan memiliki daya serap tinggi dalam menjaga air, dan melepaskannya lewat mata air dan sungai-sungai. Hutan memiliki kanopi yang melindungi tanah agar bisa meningkatkan kemampuannya untuk menyerap air. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh bendungan buatan manusia.

Tapi pertanian monokultur yang membabat pohon-pohon di hutan, kemudian secara perlahan ikut merusak kemampuan tanah untuk mengkonservasi air ini.

Itu belum seberapa, faktor utama yang paling merusak eksistensi hutan; yang membuat tanah kehilangan kemampuannya, secara umum dalam menjaga ekosistem bumi dan lingkungan, dan secara khusus dapat merusak tempat tandon air alami, justru disebabkan kehadiran aktivitas pertambangan. Tentu saja, semua jenis tambang yang mengeduk isi perut bumi, termasuk tambang emas.

Dalam konteks Trenggalek, rencana industri tambang emas oleh PT SMN (Sumber Mineral Nusantara), kalau jadi, sudah bisa dipastikan akan mengubah wajah permukaan hutan dan menggeser tatanan tanah di dalamnya, yakni sesar-sesar aktif di kedalaman bumi. Selain itu, bahan-bahan yang digunakannya adalah zat-zat yang menyumbangkan banyak racun mematikan dan masalah tak terselesaikan ke dalam lingkungan. Daya rusak tambang menyasar hal-hal elementer yang menjadi kebutuhan pokok keberlangsungan hidup manusia: air, tanah, dan udara.

Ketika kita melihat degradasi lingkungan yang makin parah di masa modern ini, harusnya cara berpikir kita terkait laku mengambil apa pun yang ada di alam adalah dengan pertimbangan yang adil. Tidak cukup sekadar karena pertimbangan ia berguna dan bermanfaat bagi manusia. Harus dikalkulasi juga apakah sesuatu yang diambil itu bisa merugikan alam sendiri; apakah bisa merugikan rantai makanan; apakah bisa mengubah siklus alamiah di alam dan seterusnya.

Sebagai contoh, di laut ada ikan kakatua (parrot fish) yang laku dan mahal di pasaran karena dagingnya yang tebal dan rasanya yang enak dan bergizi. Dengan semakin banyaknya dicari dan dikonsumsi, sudah pasti akan menurunkan habitat ikan tersebut. Padahal, ikan kakatua berguna bagi keberlangsungan ekosistem di laut, yakni bahwa ia adalah pemakan “alga penghambat” pertumbuhan terumbu karang.

Jadi, manfaat untuk tidak memakan ikan kakatua ini sebanding dengan ikhtiar kita untuk tidak membunuhi ular di sawah, karena bisa menjadi pengendali alami pertumbuhan hama tikus, dan seterusnya.

Sementara itu, tambang emas yang melubangi tanah bisa memutus urat air bawah tanah Trenggalek, dan limbah tailingnya yang mengandung racun merkuri dan sianida, akan meresap ke dalam tanah dan menyebar ke seluruh wilayah Kabupaten Trenggalek, melalui jalinan jalur sungainya, yang satu sama lain saling terhubung di beberapa kecamatan.

Karena itu penting, sebelum terjadi hal-hal yang tak diinginkan, kita kudu baik-baik menjaga lingkungan: apa pun usaha yang kita lakukan untuk menjaganya. Mencegah perusakan termasuk salah satunya. Menjaga lingkungan dari aktivitas yang dirasa kelak akan menghambat akses manusia dan anak cucunya, pada hal-hal elementer dalam kehidupan seperti air, adalah tugas wajib kita semua. Karena itu, semua elemen penting di alam yang menunjung bagi keberlangsungan hidup manusia dan alam, fardhu ain dijaga.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ada kisah menarik perihal arti “menjaga”. Hadits tersebut bercerita ihwal suatu kaum yang menaiki kapal. Saat masing-masing orang telah berada di tempatnya, tiba-tiba, seorang penumpang yang baru saja datang melubangi tempat duduknya. Ketika ditanya, kenapa melakukan tindakan tersebut, ia menjawab: ini adalah tempat duduk saya, terserah saya mau melakukan apa saja.

Ketika perbuatan orang tersebut masih dapat dicegah, yakinlah bisa menyelamatkan seluruh isi kapal dari musibah paling nyata yang bakal tiba, yakni tenggelam. Namun jika perbuatan tersebut dibiarkan, tentu yang celaka bukan satu orang itu saja, melainkan seluruh penumpang dan isi kapal. Seluruh penumpang kapal itu, ibaratnya adalah semua warga masyarakat Trenggalek saat ini, baik mereka yang mendukung korporasi tambang emas maupun yang gigih menolaknya.

Artikel Baru

Artikel Terkait