Pertanian di Lahan Kawasan Karst ala Jhe Mukti

Karst adalah gugusan batu kapur yang memiliki sifat mudah dalam menyerap air dan disimpan di dalam rongga-rongga bebatuan. Dalam jumlah yang banyak, air dalam karst keluar menjadi sumber mata air yang mengaliri sungai, persawahan atau perkebunan dan juga dimanfaatkan penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Meskipun karst mengeluarkan sumber mata air, namun lahan pertanian atau perkebunan di atas kawasan karst akan kekurangan air, karena lahan ini di atas perbukitan dan air selalu turun ke bawah.

Hal ini dibenarkan oleh Mukti Satiti, atau biasa lebih dikenal dengan Jhe Mukti. Dia adalah seorang petani yang sedang menggarap lahan pertanian karst di Desa Wonocoyo Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek.

“Yang pasti air, karena air itu adanya di bawah. Sementara kalau di sini [pertanian di lahan kawasan karst], lahan-lahan pertanian/perkebunan masyarakat mayoritas itu ada di atas, di lereng-lereng bukit. Kalau ngomong wilayah lereng dan dataran nggalek [Trenggalek] itu lebih banyak wilayah lerengnya, wilayah perbukitan. Lebih banyak penduduknya yang berada di lereng dari pada di dataran”, ujar Jhe Mukti saat di temui di salah satu warung kopi di Kecamatan Panggul.

Melansir Kabar Trenggalek, Jhe Mukti pernah mendapatkan penghargaan best academic paper at Aceh Water Conference 2021. Kegiatan ini diinisiasi oleh Lembaga Karst Aceh dan Ikatan Alumni Jerman Aceh dan Bijeh. Selain itu, kegiatan ini didukung oleh perusahaan internasional milik pemerintah federal Jerman, Deutsche Gesellscaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH.

Jhe Mukti menuangkan gagasannya dalam karya ilmiah dengan judul “Kolaborasi Penataan Ekosistem Karst dan Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Masyarakat di Kabupaten Trenggalek”. Karyanya menjadi rekomendasi kebijakan strategis untuk pembangunan pada bidang sanitasi dan air di Aceh.

Memulihkan Ekosistem

Pertanian di atas kawasan karst Kecamatan Panggul, Trenggalek
Pertanian di atas kawasan karst Kecamatan Panggul, Trenggalek/Foto: Beni Kusuma Wardani

Karena ada persoalan kurangnya air di lahan pertanian di lahan kawasan karst, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), mengeluarkan dokumen Pengelolaan Penataan Ekosistem Karst Trenggalek, melalui Bina Pengelolaan Esensial (BPEE) Karst.

Jhe Mukti mengatakan, upaya untuk memulihkan ekosistem kawasan karst sangat penting. Lantaran, pada tahun 1997-an telah terjadi pembabatan hutan besar-besaran di Trenggalek.

“Makanya, munculah dokumen penataan pengelolaan ekosistem karst Trenggalek 2018. Makanya, pemerintah ada MoU [Memorandum of Understanding/Nota Kesepakatan] sebenarnya sama KLHK untuk melakukan pemulihan, karena, kasusnya di mulai tahun 1997. Tahun 1997-kan mulai pembabatan hutan ndak karu-karuan [tidak beraturan]. Sementara orang nggak tau ini, wilayah karst ini kayak gimana [seharusnya]. Kalau atasnya di habisi, ya lama-kelamaan tanah terkikis. Terus, [bisa menimbulkan] banjirlah, segala macam”, ujar Jhe Mukti.

Dalam upaya mengembalikan kawasan ekosistem karst, bisa dilakukan dengan melakukan penanaman pohon-pohon, baik pohon yang berbuah maupun tidak berbuah. Saat kembali melakukan penanaman pohon-pohon buah, pada awal-awalnya akan menarik binatang seperti monyet.

“Lha, tapi mau gak mau kalau kita bicara pemulihan harus dilakukan penanaman tanaman-tanaman kayak gitu. Untuk awal-awal ya berbagilah, makanya kami memberikan kesadaran itu pada masyarakat, ya berbagi ndak papa, dimakan mereka ndak papa, dirubung kethek iku gak popo [dikerumuni kera itu gapapa]. Sing penting ditandur [yang penting ditanami]. Karena kita dapat potensi pertanian juga yang ketika mereka sudah dialihkan ke makanannya itu mereka ndak makan yang lainnya kalau makan untuk hewan-hewan sudah disiapkan. Kayak landak, kayak lutung, macem-macem hewan itu tinggalnya kan di hutan”, ucap Jhe Mukti.

Kembali ke Alam

Petani di Kecamatan Panggul berangkat ke lahan pertanian.
Petani di Kecamatan Panggul berangkat ke lahan pertanian/Foto: Beni Kusuma Wardani

Selain itu, kata Jhe Mukti, pada area karst sebaiknya tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia. Sebab, zat-zat kimianya akan mudah ikut terlarut dalam batuan kapur yang berpotensi meracuni air. Jhe Mukti mengajak masyarakat untuk membuat pupuk sendiri yang lebih aman dan juga ekonomis.

”Ya kita juga sama teman-teman buat pupuk sendiri, memanfaatkan apa yang ada di sekitar. Bagaimana cara bikinnya? Ya kita ajarin cara bikinnya. Katakanlah teman-teman yang ada di Wonocoyo, wilayah karstnya ada yang di besuki kita tanyain mereka masih sering menggunakan rondap [pestisida kimia] untuk menghilangkan rumput segala macem yang dianggap gulma. Padahal mereka ndak tahu bahayanya itu menggunakan rondap. Dan itu yang selalu saya sampaikan. ‘iki ngene lho bahayane lek kowe nggae rondap [ini gini lho bahayanya kalau kamu pakai rondap], ya saya jelaskan”, jelas alumni Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang tersebut.

Jhe Mukti menjelaskan bahwa rumput di lahan kawasan karst juga bermanfaat untuk mengurangi panas. Saat matahari terik, maka panasnya akan disimpan oleh bebatuan karst. Sehingga panasnya akan disebarkan lagi dan bisa membuat tanaman yang ditanam petani akan mudah kering dan mati.

Sak iki logikane ngene, suket iki lho ora mbok tandur iku yo tukhul [sekarang logikanya gini, rumput ini lho tidak kamu tanam ya bisa tumbuh]. Berarti tanaman kan butuh sesuatu yang vegetatif. Untuk menumbuhkan tanaman itu berarti ada unsur yang vegetasi bisa untuk supporting [mendukung] tanaman yang kita mau dibudidayakan dari rumput. Ini bisa jadi pupuk, rumput itu bisa jadi pupuk juga buat input tanah.

Jhe Mukti memaparkan, jika rumput yang dianggap gulma itu dibabat habis saat matahari terik, maka panas matahari akan disimpan oleh batu karst di dalam tanah. Sehingga, panas matahari tadi akan dikeluarkan kembali dan membuat tanaman di atasnya bisa kering.

Lahan Pertanian di atas kawasan karst, Kecamatan Panggul, Trenggalek
Lahan Pertanian di atas kawasan karst, Kecamatan Panggul, Trenggalek/Foto: Beni Kusuma Wardani

Selain itu, rumput juga berperan untuk menjaga tanah agar tidak mudah erosi. Sehingga, kandungan tanah bagian atas karst tidak berkurang serta meminimalisir pendangkalan sungai oleh tanah-tanah erosi yang terbawa air ke sungai.

“Akhirnya, kita berfikir pola agrobisnis adalah pola yang bisa kita terapkan, karena kita sudah tahu item-itemnya apa, visibility studies [studi kelayakan] untuk budidaya segala macam kita hitung semua. Sampai ekonomi masyarakat setempat, bagaimana pola masyarakat setempatnya, kita tata juga untuk mendukung. Ya, kita itu berproduksi dengan hasil bumi yang ada-ada itu. Itu lebih menguntungkan, itu kalau dijual dengan baik, ya [bisa] membuat orang [jadi] kaya. Bahkan kita dulu dijajah ya karena hasil buminya yang berupa tanaman”, terang Jhe Mukti.

Jhe Mukti mencontohkan, di Kecamatan Munjungan, kebanyakan petani menanam cengkih dan durian. Kedua tanaman itu bisa meningkatkan kesejahteraan petani, hingga bisa disebut kaya. Rata-rata, satu hektar lahan pertanian di Munjungan, awalnya bisa untuk sekitar Rp 150 juta dalam satu musim.

“Gak ngapa-ngapain lho itu, durian itu nggak ngapa-ngapain. Itu dengan asumsi harga yang masih murah. Sekarang informasinya dari pedagang segala macam, petani itu sudah tahu harga makanya harganya lebih mahal. Perbandingan selisih harga dulu dan sekarang itu bisa dikatakan 100% lebih. Berarti jika disamakan dengan yang dulu, bisa meningkat dua kali lipat. Bisa sekitar 300 juta rupiah”, ungkap Jhe Mukti.

Jhe Mukti berpesan, jika pertanian di lahan kawasan karst ini dimaksimalkan dan dilakukan dengan baik (dengan tetap menjaga ekosistem lingkungan) juga bisa mendatang pundi-pundi rupiah. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat Trenggalek, yang mayoritas petani, untuk menjaga tanah mereka dari ancaman industri ekstraktif.

Seperti, tambang emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang mencaplok 9 kecamatan dari 14 kecamatan di Trenggalek. Jhe Mukti menegaskan jika pertambangan emas di Kabupaten Trenggalek berjalan, maka dapat merusak lingkungan. Potensi kerusakannya sangat besar dan berkepanjangan. Termasuk berpotensi merusak sumber penghasilan masyarakat dari lahan pertanian.

Artikel Baru

Artikel Terkait