Peradaban Jawa yang berlangsung ribuan tahun melahirkan banyak kebijaksanaan. Salah satunya adalah ungkapan ngunduh wohing pakarti. Setiap perilaku akan ada akibat yang kita terima di kemudian hari. Baik dan buruk, semua ada akibatnya. Di mata pelajaran Bahasa Indonesia, kita pernah diajari tentang peribahasa: siapa menanam pasti menuai.
Islam mengajarkan bahwa perbuatan baik sekecil apa pun pasti akan mendapat balasan kebaikan. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Tuhan sesuai persangkaan hamba-Nya. Mengutip Dharma kesepuluh dari Dasa Dharma Pramuka: Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Maka Tuhan pun akan membalas kita dengan Maha Kesucian-Nya. Begitu juga sebaliknya. Pikiran yang kotor, perkataan yang penuh dusta, dan perbuatan yang merusak, pasti juga akan berlaku kembali ke si pemiliknya.
Kita kini sering menyebutnya karma. Kita berbuat baik, kita mendapat karma baik. Berperilaku jahat, kita mendapat karma jahat. Orang-orang modern—saya yakin sebagian mereka belajar kebijaksanaan—mengartikan ngunduh wohing pakarti: sebagai law of attraction, yaitu konsep yang menyatakan pemikiran positif akan berdampak positif pula bagi kehidupan seseorang. Di sisi lain, pemikiran negatif pun akan membuahkan hal serupa. Kita menjadi apa yang kita pikirkan.
Dalam perkembangannya kini di dunia digital, konsep ini digunakan dalam algoritma media sosial yang kita gunakan. Misal, sekali waktu kita menonton video-video ceramah di YouTube. Tapi kalau yang sering kita search adalah video-video game online, joget-joget, prank maka akan muncul iklan-iklan atau rekomendasi video yang sejenis.
Apabila kita sering mengetik kategori “18+” di kolom search, yang muncul tentu yang sejenis juga. Jangan salahkan konten kreatornya, “kok video ceramah iklannya begituan?” Tapi otak dan kebiasaan kita yang menuntun algoritmanya untuk menunjukkan yang sesuai dengan pikiran dan ketikan jari kita.
Nah, begitu juga dengan saya yang beberapa hari bertanya-tanya bagaimana kabar Watulimo kini. Eh, di medsos muncullah kabar yang ternyata PT SMN. Saya masih ngarep itu belum juga beranjak pergi dari Trenggalek yang -katanya- Southern Paradise. Dari medsos itu pula saya tahu, jika memang benar-benar terjadi, semoga saja tidak, Trenggalek tidak akan lagi menjadi Southern Paradise, tapi “Southern Disaster” karena menjadi kawasan tambang terluas di pulau Jawa.
Mereka ujug-ujug datang dan seolah-olah tahu apa yang terbaik demi kemakmuran masyarakat Trenggalek. Tanpa kulanuwun, tanpa babibu main “elus-elus” saja dan mau langsung sedot. Sebelum menyedot, kan dibersihkan dulu tuh permukaannya? Di Trenggalek, warna hijau akan menjadi warna tanah. Bersih tak ada apa-apa. Kalau sudah begitu, jangankan genderuwo, rayap dan cacing pun tak bakal ada!
Tidak mencoba untuk mendrama-dramakan ya, tapi suara kicau-kicau burung, jangkrik, cenggeret dan hewan-hewan khas yang biasa kalian dengar tiap hari berganti menjadi suara bising mesin-mesin berat.
Itu baru “elus-elus” saja. Kalau sudah nyedot, wiiih…
Males ah nulisnya. Cari saja sendiri di internet akibat “disedot”. Banyak kok. Jangan salah ketik keyword-nya ya…
Mereka lupa, atau mungkin tak tahu, bahwa untuk menciptakan peradaban baru, Mpu Sindok memulainya dari Trenggalek hingga muncul Kahuripan, Kediri, Singasari, dan Majapahit. Ketika mereka, jangankan mengeksploitasi, mengobok-obok saja mata air, kotor dan tercemarlah alirannya hingga ke hilir. Ketika mereka mengobok-obok mata air peradaban, maka mereka telah mencemari aliran peradaban hingga generasi nanti.
Wahai si PT SMN. Saya masih ngarep, tak perlu kau iming-imingi warga Trenggalek kalau emas adalah barang paling bernilai di jagat raya. Warga Trenggalek sudah terbiasa dengan emas. Bukan emas yang kau iming-imingkan, tapi emas hijau yang sudah lama dimiliki rakyat Trenggalek. Baru tahu ada emas hijau, ya? Ah, cupu kau! Padahal lho ya, emas hijau Trenggalek ini sudah diresmikan ke seantero negeri dan seluruh dunia. International Durio Forestry. Di sinilah kandangnya emas hijau.
Presiden negeri ini pun sudah mengakui bahwa emas hijau Trenggalek adalah yang paling enak yang pernah beliau nikmati. Masih tak tahu pula, kau? Bukan berniat promo, tapi baca saja tentang Emas Hijau dari Trenggalek. Di portal ini juga kok tulisannya. Ada banyak.
Ketika ada suatu usaha yang terus-menerus dilakukan untuk melegalkan kegiatan serakah oleh orang-orang rakus, maka, tidak salah kan kalau ada rakyat Trenggalek yang memiliki curiga pertanyaan ketika dulu akan dibangun JLS, apa yang akan didistribusikan ketika nanti JLS sudah jadi?
Emas hijau? Bagus!
Tapi kalau sesuatu yang lain dari wilayah mata air peradaban? Yang mengambilnya harus merusak mata air peradaban?
Atau mungkin ada yang lain? Batubara mungkin?
Atau dua-duanya?
Ah, tak mungkinlah pemerintah membangun infrastruktur untuk memberi jalan orang-orang rakus berperilaku serakah di negaranya. Apalagi di mata air peradaban negerinya. Tidak mungkin sekali itu!
Kami yang oleh Tuhan ditakdirkan menjadi manusia Jawa, tentu wajib dan harus bertanggung jawab dengan ke-Jawa-an yang ada pada kami. Berpegang teguh pada kebijaksanan empunya peradaban. Menjaga Jawa dari kerusakan. Mencegah Trenggalek dirusak. Mengusir keserakahan dari Watulimo.
Salam Lestari!