Meneladani Tokoh Zaman Dahulu, Mencontoh Kisah Generasi Milenial

”Agama-agama yang ada di Indonesia dan dunia memang berbeda satu sama lain. Wajar jika masing-masing pemeluk agama secara subjektif merasa agamanya yang paling baik. Namun demikian, di balik perbedaan antaragama dan subjektivitas para pemeluknya, semua agama sesungguhnya memiliki titik temu dalam seruan mencintai, yang dikenal dengan ’kaidah emas’ (golden rule). Dalam kalimat negatif, kaidah emas itu berseru: janganlah engkau berbuat sesuatu kepada orang lain yang engkau sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu. Dalam kalimat positif, seruannya: cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.”

Tulisan di atas saya nukil dari buku agung Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan karya Yudi Latif. Sebuah buku yang memuat kisah keteladanan dari pelbagai tokoh yang mewakili keragaman Indonesia, baik dari segi agama, etnis, jenis kelamin, wilayah, maupun kelas sosial.

Berbicara mengenai pesan atau narasi perdamaian yang kian nyaring didengungkan, buku itu rasanya cocok sebagai salah satu bacaan. Ada satu bab yang secara terperinci membahas tentang pengalaman ketuhanan. Teladan berketuhanan itu ada dalam diri, antara lain, Muhammad Yamin, Wiratanakoesoema, Agoes Salim, KH Bagoes Hadikoesoemo, HAMKA, dan tentu saja sosok dwitunggal Soekarno-Hatta.

Bahkan, di halaman 48 disebutkan contoh semangat welas asih tokoh lintas agama yang menjiwai pendirian Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajeman (PPM). Inisiasinya melibatkan tokoh-tokoh seperti A.M. Kadarman (Katolik), Kasimo dan P.K. Ojong (Katolik awam), Albert Manggaratua Tambunan dan T.B. Simatupang (Kristen), Bahder Djohan dan Sjafruddin Prawiranegara (Islam), Bhikku Jayamedho (Buddha), dan sebagainya.

HAMKA, singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, harus saya sebut lebih dahulu. Salah satu kisah teladannya adalah saat perseteruannya dengan Bung Karno yang membuatnya dipenjara. Ketika Bung Karno wafat, HAMKA diminta untuk menyalati jenazahnya. Muncul keberatan dari umat Islam waktu itu. Namun, HAMKA berani melawan arus dan mengiyakan permintaan Bung Karno sebelum ia wafat itu. Itulah salah satu sikap kerendahhatian dan tidak pendendam dalam diri Buya, panggilan lain HAMKA.

Mohammad Hatta, tokoh Islam dari Sumatera Barat lainnya, pernah memberikan tamsil bahwa cara beragamanya tidak ingin seperti memakai gincu. Begitu jelas terlihat, namun kehadirannya tidak bisa dirasakan orang lain. Cara beragamanya ingin meniru garam dalam larutan. Tidak terlihat, namun kehadirannya bisa dirasakan setiap orang. Perumpamaan Hatta ini seperti menampar cara beragama orang-orang zaman sekarang. Beragama dilakukan sebagai formalitas belaka dengan menonjolkan simbol-simbol. Akan tetapi, bergeming saja tatkala ada kaum papa yang terzalimi. Bahkan, mereka sendiri yang berbuat durjana.

Ingatan kita masih belum hilang betul dari tragedi di Surabaya beberapa bulan lalu. Setidaknya tiga gereja menjadi sasaran bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga. Setelah kejadian pagi yang menggegerkan itu, beberapa peristiwa serupa susul-menyusul terjadi. Surabaya dan sekitarnya yang dikenal aman langsung ”kaget” waktu itu. Pelaku beserta orang-orang yang menggerakkan misi tersebut adalah contoh beragama yang keliru. Mereka tidak hanya beragama seperti gincu, yang minim dirasakan, tetapi seperti racun yang menghancurkan.

Masih di dalam buku Mata Air Keteladanan, berbeda keyakinan tidak menyurutkan kekaguman Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang muslim kepada Y.B. Mangunwijaya (Kristen). Gus Dur menyebut sosok Romo Mangun sebagai ”pribadi yang mampu memancarkan sinar kasih keimanan dalam kehidupan kehidupan umat manusia”. P.K. Ojong yang Katolik juga menjalin hubungan erat dengan Muhammad Roem.

Kemudian, meski pandangan politiknya berbeda, M. Natsir yang puritan dan tokoh Islam dari Masyumi bisa minum teh dan makan sate bersama dengan D.N. Aidit, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), di kantin parlemen. Padahal, paham politik keduanya ibarat minyak dan air. Tradisi toleransi dan budaya rukun berasas kekerabatan dalam hubungan sosial masyarakat malah punya akar sejarah yang panjang di Maluku. Di sana terbentuk ikatan kekerabatan yang disebut pela gandong. Pela berarti saudara dan gandong bermakna kandungan. Pela gandong mampu mempersatukan masyarakat Maluku walaupun berbeda agama, etnis, dan pulau.

KH Ahmad Dahlan, di sisi lain, merupakan salah seorang pelopor Islam yang welas asih terhadap sesama. Apa yang Anda ingat ketika mengenang pendiri Muhammadiyah itu? Ya, pelajaran tentang surah Al Maun. KH Ahmad Dahlan terus-menerus mengulang pelajaran surah itu sampai-sampai muridnya merasa bosan. ”Kenapa Kiai mengulang-ulang materi yang sama?” tanya seorang murid. ”Apakah kalian sudah paham surah ini? Apakah kalian sudah mempraktikkannya?” jawab KH Ahmad Dahlan, retoris. Kiai Dahlan lantas menugasi murid-muridnya untuk mencari orang, lebih khususnya anak-anak, kemudian diminta memandikannya, memberinya pakaian, dan menyuapinya. Begitulah seni filantropi KH Ahmad Dahlan yang –seharusnya– terus dipegang hingga saat ini.

Beragama, dalam pandangan saya, memang harus seimbang antara habluminallah dan habluminannas, antara urusan vertikal dan horizontal. Urusan kepada Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, yang terkristalisasi dalam ibadah mampu terselesaikan dengan baik. Persoalan duniawi yang menyangkut muamalah dengan sesama insan pun dapat terselesaikan dengan baik. Tokoh-tokoh pendahulu sudah memberikan banyak teladan tentang hal itu. Salah satunya terdokumentasikan dengan baik dalam buku Mata Air Keteladanan. Tentunya, generasi era kiwari bisa mengimitasi dan memodifikasi sesuai dengan konteks.

Pemimpin Muda Generasi Milenial

Bagaimana peran pemimpin muda di era milenial saat ini? Seberapa berpengaruh-kah dalam pesan-pesan perdamaian? Pemimpin harus dimaknai secara luas. Bukan hanya pemimpin pemerintahan, melainkan juga pemimpin organisasi atau gerakan lain yang serupa.

Era digitalisasi dan kemajuan start-up ini ternyata juga diimbangi dengan gerakan literasi yang cukup masif. Di Trenggalek, tempat saya dilahirkan sebelum kemudian lama merantau, beberapa teman menginisiasi portal nggalek.co, sebuah media kreatif yang dibuat untuk memberikan wadah bagi para penulis Trenggalek, baik yang berada di dalam maupun luar kota. Konten-konten yang ditampilkan lebih berkaitan dengan hal sederhana dan berbau kearifan lokal. Di samping itu, tentu saja menyuarakan aspirasi rakyat dari golongan petani dan nelayan, dua mata pencaharian yang menjadi tulang punggung warga Trenggalek.

Hasilnya, gerakan literasi berkembang cukup baik di kabupaten ujung selatan Jawa ini. Bahkan, beberapa hari lalu diselenggarakan pembinaan komunitas baca di Trenggalek oleh portal nggalek.co bekerja sama dengan Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT). Di wilayah yang oleh sebagian teman secara bercanda disebut sebagai ”kota pensiun” itu, para pemimpin generasi mudanya secara jeli berhasil menyerap aspirasi.

Saya harus menyatakan salut kepada insan-insan semacam ini. Mereka sudah melakukan hal-hal berfaedah, sementara saya belum bisa melakukan apa-apa untuk tanah kelahiran. Muhammad Nur Arifin alias Cak Ipin, wakil bupati Trenggalek yang sebentar lagi naik jabatan menjadi bupati menggantikan Emil Elestianto Dardak, keduanya merupakan pemimpin muda, tak lupa memberikan sumbangsih. Bahkan pernah diundang untuk menjadi pembedah buku. Kolaborasi anak-anak muda di Bumi Menaksopal bersama pemimpin pemerintahan –yang juga muda– akan baik di mata masyarakat. Anak-anak muda itu ibarat jembatan penghubung.

Tapi, jika Anda ingin melihat lebih luas pemimpin-pemimpin muda menarasikan kebajikan dan kedamaian, bacalah buku Muslim Milenial: Catatan & Kisah Wow Muslim Zaman Now. Di buku itu ada 36 alumni Muslim Exchange Program (MEP), sebuah program pertukaran tokoh muda muslim Indonesia-Australia, yang menulis gagasan maupun gerakan untuk Indonesia. Buku tersebut cocok dijadikan bacaan generasi milenial dalam menghadapi era bonus demografi tahun 2020-2030. Di buku itu Anda akan menjumpai tokoh-tokoh muda potensial sebagai pemimpin masa depan. Sebut saja Fahd Pahdepie, Hilman Latief, Bernando J. Sujibto, Irfan Amalee, Lusia Efriani Kiroyan, Wahyudi Akmaliah, dan tentu saja sang penggagas buku Subhan Setowara.

Fahd Pahdepie, dalam berbagai kesempatan, kerap disebut sebagai representasi muslim milenial Indonesia. Dia juga menginisiasi Revolusi Kedai Kopi yang mengunjungi kedai kopi-kedai kopi di beberapa kota di Nusantara untuk berbagi gagasan kepada anak muda. Terakhir, Revolusi Kedai Kopi Fahd singgah di Malang, tepatnya di Oksigen Coffee. Dalam novel mutakhirnya, Hijrah Bang Tato, Fahd mendapat apresiasi banyak kalangan. Sebab, novel itu memiliki dampak luas, bukan hanya bukunya, melainkan juga efeknya ke hal lain. Kandungan novel ini sebenarnya merupakan kontranarasi terhadap konsep ”hijrah” yang selama ini kerap bermuara pada radikalisme. Pada titik inilah Fahd menarasikan perdamaian lewat tulisan.

Bagian keempat layak mendapat atensi lebih: Cara Kekinian Suarakan Perdamaian. Membaca tujuh tulisan di dalamnya, tidak ada alasan untuk tidak optimistis bahwa banyak anak muda yang sudah mampu membuka ruang-ruang dialog lintas agama. Contohnya, Dialog Lintas Agama Model Kekinian ala Muslim Makassar yang ditulis Syamsul Arif Galib seperti mengonfirmasi bahwa kehidupan di Bumi Celebes sudah kondusif.

Kita tentu saja masih ingat serangkaian kerusuhan besar di Poso, Sulawesi Tengah, dua dekade lalu yang melibatkan kelompok Islam dan Kristen. Para pemimpin muda milenial di Makassar, mulai Jalin Harmoni, Makassar International Peace Generation, Yayasan KITA Bhineka Tunggal Ika, hingga Gusdurian, berusaha mengikis itu dengan mengadakan dialog lintas agama.

Dari Makassar, kita diajak menyeberang ke provinsi paling barat Indonesia, Aceh. Aceh dahulu dikenal sebagai daerah yang tertutup dengan dunia luar. Hal itu tidak terlepas dari kuatnya pengaruh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Setelah tsunami memorak-porandakan Serambi Makkah pada 2004, ditandatanganilah kesepakatan damai antara GAM dan pemerintah Indonesia. Penandatanganan itu seolah membuka lembaran baru bagi Aceh.

Mereka menjadi lebih terbuka. Hingga kemudian, anak-anak muda di sana mulai berani mengadakan gerakan lintas agama. Salah satunya berwujud ”sekolah keberagaman” di Langsa pada 2016. Kendati begitu, seperti diulas dalam Kaum Muda Aceh dan Relasi Antarumat Beragama, persentuhan antarumat beragama di Aceh belum bisa dipublikasikan secara masif. Sebab, dikhawatirkan ada masyarakat yang belum siap menerima kegiatan lintas iman itu.

Di samping dua contoh tulisan di atas, masih ada lima tulisan lain yang tak kalah inspiratif. Mari Bermain, Mari Narasikan Perdamaian yang ditulis Irfan Amalee sangat menarik karena ia mengulas board game untuk menarasikan perdamaian. Bahkan, ia dan tim Peace Generation Indonesia menciptakan board game untuk mengajarkan perdamaian yang diberi nama Galaxy Obscurio. Kemudian, ada Relaksasi Beragama, Sebuah Pendekatan dari dan untuk Muslim Milenial (Feby Indirani), Anak-Anak Muda dan Kerentanan Ekstremisme-Kekerasan (Suratno), Islam Transnasional dan Generasi Muslim Milenial di Tanah Papua (Ridwan Al-Makassary), serta Literasi Budaya, Kikis Benih-Benih Disharmoni (Muslihati).

Dari buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan, kita dapat meneladani tokoh-tokoh zaman dahulu. Di buku Muslim Milenial: Catatan dan Kisah Wow Muslim Zaman Now, kita bisa mencontoh cerita-cerita yang telah diguratkan para pemimpin muda masa kini.

Artikel Baru

Artikel Terkait