Nama Band : Tanasaghara
Musisi : Roby
Aliran Musik : Indie, Pop Alternatif, Folk
Kegiatan : Bersolidaritas, menyanyi, membuat baju, dan aktivitas kondisional lainnya
Instagram : @tanasaghara
Youtube : Tanasaghara
Merchandise : @anti__takdir (instagram)
Tanasaghara adalah sebuah project musik yang menyuarakan perjuangan warga untuk mempertahankan tanahnya dari perampasan ruang hidup. Bagi yang sering mendengarkan lagu-lagu Tanasaghara, pasti tidak asing dengan lagu “Nyanyian Gagak”. Potongan liriknya sebagai berikut:
“…Percik api menyala-nyala
Suara mantra-mantra
Bergumam di kepala
Beranilah jiwanya
Mengudaralah genggaman
Di ruang kehidupan
Atas nama cinta yang hilang
Panjang umur perjuangan…”
Di sela-sela kesibukan Tanasaghara berkegiatan untuk solidaritas di Pakel, Kami nggalek.co berkesempatan mewawancarai Tanasaghara yang telah melakukan Mini Tour “Rebut Kembali Pakel” di delapan kota. Berbagai kota yang menjadi lokasi Mini Tour itu adalah Jombang, Sidoarjo, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember dan Banyuwangi. Di setiap Mini Tour ada acara diskusi perjuangan warga Pakel, musik dan galang donasi untuk warga Pakel.
Kami mewawancarai Tanasaghara untuk mengetahui cerita setelah melakukan Mini Tour “Rebut Kembali Pakel” di delapan kota. Selain itu, juga untuk mengetahui lebih dalam tentang Tanasaghara dan pesan-pesan yang disampaikan dalam lagu-lagunya.
Pertama-tama bisa kamu jelaskan apa itu Tanasaghara?
Tanasaghara itu sebuah nama dari project musik yang dibawa oleh saya sendiri. Nama itu membawa kabar dan cerita dari yang ada di tanah hingga laut. Semua hal berkaitan dengan hidup. Nama itu juga dibawa dari sebuah tempat yang mengalami perampasan ruang hidup yaitu di Temon, Kulon Progo. Dalam kondisi darurat di tempat tersebut, Tanasaghara lahir pada tahun 2018.
Sampai sekarang, fokus awal dari wadah ini membawa isu-isu perampasan ruang hidup, dari lirik hingga ke musik, dari kesadaran hingga ke tindakan. Yah, karena Tanasaghara ini dilahirkan di titik konflik, maka akan terus berkaitan dengan hal tersebut.
Arti Tanasaghara itu sendiri apa? Bagaimana ceritanya kok bisa tercipta nama tersebut?
Arti nama Tanasaghara itu adalah “tana“: tanah, “saghara“: laut. Yang berarti tanah dan laut. Ceritanya, pada waktu itu, tepatnya tahun 2018, pasca penggusuran 37 rumah terakhir di Temon, Kulon Progo, kami yang ada di sana sedang membutuhkan solidaritas dalam bentuk dukungan maupun finansial. Jadi, harus jalan ke berbagai tempat untuk mengampanyekan hal tersebut.
Aku biasanya menemani warga dan juga diajak kawan-kawan untuk mengisi acara, karena kebetulan bisa main gitar. Biasanya, aku di Kulon Progo bawa gitar sekadar untuk nyanyi-nyanyian bersama warga dan anak-anak. Nah, di waktu itu juga kawan-kawan sering ngajak main dari satu tempat ke tempat lainnya.
Namun, di waktu itu belum membawa nama apa pun. Hanya membantu mengisi acara dan kampanye. Karena dirasa mampu untuk bermusik, jadi kawan-kawan sering memintaku mengisi acara setelah nanti pulang kembali bersama warga. Aku di Jogja tinggal bersama warga. Di saat kami sedang mengumpulkan puing-puing rumah dan beristirahat, seorang warga yang kutempati rumahnya di sana membicarakan perihal nama dari musikku.
Pada awalnya kuanggap sepele. Tapi pembicaraan itu dimulai kembali ketika kami berkumpul dengan warga lainnya. Bapakku di Kulon Progo langsung menyarankan nama Tanasaghara, dengan maksud aku nantinya akan terus menyuarakan perampasan ruang hidup di mana pun kakiku berpijak. Semua warga yang ada di situ menyepakati itu. Jadi, kubawa nama itu sampai sekarang.
Selang satu bulan sejak nama itu dilahirkan, ibu juga bapak-bapak yang ada di Kulon Progo memintaku untuk menangkap ayam. Kalau di sana ayam gak dikandangkan. Jadi aku nurut saja. Awalnya, aku nggak tahu akan dibuat apa. Ternyata, esoknnya ada selametan dan itu selametan nama tanasaghara. Semua warga dan anak-anak berkumpul berbarengan dengan berdirinya sanggar anak-anak yang kedua. Itu membuatku terharu sih, heheh… (sambil tertawa).
Sampai pada akhirnya, kubawa nama itu dan aku sendiri berjanji pada mereka akan kubawa lambang pesawat silang di punggungku sampai kapan pun. Hingga berlanjut hari ke hari ini, Tanasghara akan sama seperti awal dan fokusnya.
Bisa kamu sebutkan, lagu-lagu yang kamu ciptakan selama di Kulon Progo?
Banyak sih. Ada dua bagian. Yang diciptakan untuk Kulon Progo dan yang diciptakan di Kulon Progo. Karena posisinya waktu itu aku selalu di sana sebelum akhirnya balik ke Jawa Timur.
Kalau yang diciptakan untuk Kulon Progo sendiri, ada “Barat Sungai”, “Pesan”, “Darah”, “Hikayat Budi”, “Kosakata Lebam”, “Anarki Kasih Ibu”, “Gadis Penjaga Desa”, dan lain-lain. Kalau yang diciptakan di Kulon Progo, hampir keseluruhan.
Kamu bisa ceritakan ide Mini Tour Tanasaghara “Rebut Kembali Pakel” itu dari mana?
Untuk ide tour ini terpikirkan sepintas. Tak ada persiapan lebih dan matang. Awalnya, aku hanya mau kembali ke Pakel karena ada kerjaan yang harus dilakukan. Nah, ketika itu kupikir di setiap perjalan mampir ke tiap titik rute. Dengan berkampanye isu Pakel sekaligus membawakan bantuan berbentuk donasi dari kawan-kawan di setiap titik lokasi.
Konsep utama dari tour itu hanya kampanye, donasi dan musik. Namun, seiring perjalanan, ada penambahan konsep seperti menyambungkan titik konflik dan membangun koneksi di tiap lokasi. Jaringan yang dibangun dari tour itu juga membentuk koneksi, meski hanya di beberapa rute.
Sebenanya fokus itu akan dilakukan di tour festival guyub murub. Membangun koneksi dan penggambaran isu perampasan di Jawa Timur. Nah, di tour kali ini terjaga ada persamaannya secara langsung maupun tidak langsung. Dan pada perjalanan, setiap koneksi, perkawanan, dan jaringan yang dibentuk memeberiku gambaran perlunya membangun itu untuk melawan perampasan lahan hingga kusambungkan pada tujuan dari tour itu, yaitu Pakel.
Hanya kisaran seminggu dari hari pertama jalan, aku minta bantuan beberapa kawan di tempat lokasi tour. Awal keberangkatan dari tour itu fokus untuk mengampanyekan perampasan ruang hidup, yang kubawa pada waktu itu isu Pakel. Cuman, mengambil beberapa titik saja karena kekurangan biaya jalan dan persiapan. Hanya jalur keberangkatan dari Surabaya ke Banyuwangi, delapan kota.
Biaya perjalanan kukeluarkan sendiri. Dari uang pribadi dan penjualan kaos. Yang jalan kan cuma dua orang, aku sama Tiwi (solidaritas Pakel). Jadi kebutuhan jalan kita tanggung bersama dan dari hasil penjualan kaos itu. Tapi, ada juga beberapa bantuan dari kawan-kawan di lokasi. Itu yang mengurangi beban perihal perjalan. Jadi kami banyak terbantu.
Kamu kan menciptakan dua lagu tentang Pakel, “Maruna” dan “Teras”. Nah, bisa diceritakan pesan yang ingin kamu sampaikan dari dua lagu tersebut?
Kedua lagu itu kutulis untuk pakel. Yang Maruna itu sendiri, ada rekam jejak sebelum hari pendudukan lahan PT Bumi Sari. Beberapa aktivitas harian menjadi gambaran secara umum dari perjuangan warga pakel: Menjaga, bertahan, melawan kerakusan perampas, dan merebut apa yang sudah dirampas. Banyak juga pesan terkait akan hal itu, seperti keberanian, kekompakan dan tekad warga akan tanah. Semuanya menjadikan lagu itu sebagai maruna.
Kalau Teras, itu gambaran ketika tahun 1999, tragedi yang menimpa warga atas tindakan represif negara. Gambaran akan dampak dan trauma warga. Pesannya tetap sama dalam kedua lagu itu. Tentang yang berjuang, tentang keterikatan penuh pada tanah, tentang ketertidasan, tentang semua hal yang berkaitan dengan perjuangan.
Lagu Maruna dan Teras hanya aku nyanyikan di pembukaan mini tour di Jombang. Untuk daftar lagu yang kubawa di tiap lokasi ya mengalir aja. Yang kuyakini dalam lagu-lagu itu, bahwa apapun alasannya, perampasan ruang hidup tak bisa di benarkan. Dan perlawan atas perampasan harus dikibarkan juga dikabarakan.
Untuk nama “Maruna” dan “Teras”, apakah ada arti tersendiri? Dan, kenapa memilih nama itu?
Maruna aku tak tahu artinya. Cuman hanya sejenak di tempat aku menulis lirik lagu itu, aku memikirkan nama itu. Yang kubayangkan pada waktu itu ketika melihat seorang anak kecil berlarian di persawahan dengan orang tuanya. Mungkin, nama Maruna itu mengartikan mata dalam mengamati suatu kondisi. Kalau Teras, mengenai seorang ibu yang selalu merenung di Teras rumah akan kondisi seperti di lirik.
Selama Tour, capek gak sih? Kalau capek istirahatnya bagaimana?
Tentunya capek ada. Karena aku jalan di tiap lokasi setiap harinya. Tour itu meliputi delapan kota dengan jangka waktu acara perharinya. Istirahatnya cuman di Probolinggo satu hari. Tapi, di setiap sela-sela waktu pastinya aku istirahat. Yang lebih besarnya adalah semangatnya. Mungkin rasa capek hilang akibat semangat dari tour yang kubawa.
Apa yang paling berkesan selama tour?
Yang berkesan ya, menurutku ketika pertemuan dengan kawan kawan di tiap lokasi. Bertemu kawan baru dan membangun koneksi. Tentunya, di setiap perjalanan banyak yang berkesan. Bertemu dengan orang orang baik.
Kalau tujuan dan harapan dari Mini Tour ini apa?
Selain membangun koneksi jaringan, penggambaran dan penyadaran akan ruang-ruang yang perlu di pertahankan, tujuan tour kali ini memang difokuskan pada kampanye isu Pakel sebagai gambaran isu-isu lain.
Pakel adalah perjuangan yang panjang. Dari generasi ke generasi dengan pola pengorganisiran yang berbeda. Hingga masuk ke tahap ini, penindasan yang sudah bertahun-tahun menjadi gambaran awal ikatan tanah yang kuat dari warga Pakel. Dan di kali ini juga, ruang Pakel bisa menjadi tempat belajar dari sesama kawan untuk pengorganisiran, agar nanti bisa digunakan dan bisa berbagi di tempat lainnya.
Hal ini juga berkaitan dengan kekuatan solidaritas dari Pakel ke suatu tempat lainnya atau sebaliknnya. Menurutku, Pakel adalah gambaran Jawa Timur saat ini. Yang berarti perampasan-perampasan tanah, khususnya Jawa Timur, masih ada dan sangat banyak.
Harapannya untuk tour itu kemarin, supaya setiap kawan dapat bertindak atau bersolìdaritas atas perjuangan warga Pakel. Dalam apa pun bentuknya, dalam apa pun kesadarannya. Hal ini berarti, terlibat secara kesadaran kepada setiap ruang-ruang yang saat ini dirampas dan akan dirampas.