Mukti Satiti: “Kawasan karst itu rentan. Apalagi jika dilakukan kegiatan ekstraktif, bisa hancur ekosistemnya”

Nama Lengkap: Mukti Satiti
Pendidikan: Teknik Elektronika ITN, Malang
Aktivitas: Mengurus keluarga dan berkegiatan dalam organisasi Masyarakat Speleologi Indonesia.

Mukti Satiti—atau di media sosial teman-teman akrab menyapanya dengan Jhe Mukti—adalah pegiat lingkungan yang berkegiatan di dunia speleologi, khususnya di wilayah Trenggalek. Ini nama lain dari aktivitas berkaitan dengan perlindungan kawasan karst. Mas Jhe di foto status gawai dan medsos sekilas penampakannya berambut gondrong. Sepertinya cocok dengan statusnya sebagai penunggu Gunung Trolelo dan penghobi blusukan dalam gua.

Kami dari tim nggalek.co mewawancarai Mas Jhe terkait isu yang akhir-akhir ini sedang menyembul ke permukaan dan kian panas, yakni soal izin eksplorasi pertambangan emas di Trenggalek yang menuai kontroversi dan banyak protes dari masyarakat. Bahkan ada yang membuat petisi mendukung sikap bupati yang tidak setuju tambang, yang sejauh ini sudah mencapai 7000 lebih tanda tangan.

Salah satu alasan utama bupati Trenggalek dan masyarakat tidak setuju dengan tambang tersebut, karena salah satu kegiatan ekstraktif ini, dipastikan akan merusak anugerah alam terbesar yang manfaatnya bisa mencapai tujuh turunan dan tidak akan habis, khususnya bagi masyarakat petani di perdesaan Trenggalek, yang bertempat tinggal di wilayah pegunungan dan lembahnya: yakni karst.

Karena masih dalam situasi pandemi, lagi pula Mas Jhe sedang tidak berada di Trenggalek, kami mewawancarainya via Whatsapp, setelah pada hari sebelumnya kami menyampaikan keinginan untuk berbincang dengannya perihal Karst di Trenggalek.

 

Mas Jhe, apa sih karst itu? Wilayah karst ini kalau dalam bahasa lokal orang Trenggalek dikenal sebagai wilayah apa? Apa sih kegunaannya bagi ekosistem secara umum?

Kalau untuk arti dan asal katanya, kita bisa googling, sudah banyak penjelasan tentang apa itu karst. Namun yang perlu diketahui bahwa keberadaan kawasan karst ini menunjukkan bahwa dulunya pernah menjadi dasar laut, kemudian terangkat dan mengalami pengerasan. Ini bisa ditunjukkan dengan, sebagaimana yang pernah kami dapati di daerah Timahan, Kampak, temuan fosil kerang. Di sana kami menemukan tidak sedikit fosil-fosil kerang yang menempel pada batuan. Fosil-fosil tersebut bentuknya ya seperti kerang yang sering kita temui di pantai atau laut.

Bagi masyarakat pada umumnya, ciri utama untuk mengenali wilayah karst adalah adanya batuan gamping. Sederhananya, proses pelarutan batuan gamping itulah yang disebut proses karstifikasi. Orang lokal biasanya mengenali wilayah ini sebagai daerah kapur.

Selain untuk menyimpan air, kawasan karst juga dapat menjadi hunian bagi berbagai macam biota. Setiap kawasan karst selalu memiliki gua yang jumlahnya mencapai belasan hingga ratusan dalam satu kawasan. Gua-gua inilah yang akan menjadi hunian/habitat bagi sejumlah biota, salah satunya adalah kelelawar, yang berfungsi sebagai pemencar biji, sehingga hutan bisa tetap lestari. Kemudian sebagai polinator yang membantu penyerbukan berbagai macam tanaman buah dan juga pengendali hama tanaman. Bahkan pernah ada penelitian yang menyebutkan bahwa kelelawar juga alat pengontrol biologis penyakit malaria dan arthropods penyebar penyakit ternak.

Selain itu, sebagaimana yang pernah diteliti Ahmad Cahyadi tahun 2012 di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, bahwa penyerapan CO2 di kawasan karst ini kapasitas penyerapannya sebesar 95,13 m3/tahun/km2. Nah, sebagai penyerap CO2, maka kawasan karst juga bisa turut mengurangi efek gas rumah kaca dan mencegah pemanasan global.

 

Karst itu kan ibarat spon, dalam hal menampung dan menyimpan air? Gambaran utuhnya seperti apa, Mas?

Ambil contoh sederhana begini, kita kan pernah lihat spon yang atasnya kaku/keras? Jika kita kucuri dengan air, maka permukaan spon yang kaku tersebut tidak bisa mengalirkan air ke dalam spon “lunak” di bawahnya, yang memiliki rongga-rongga kecil. Agar air bisa masuk, tentu kita harus membuat lubang-lubang pada permukaan yang kaku/keras tersebut.

Begitu juga dengan permukaan karst. Di permukaannya kadang terlihat tandus dan kering. Tanah di atasnya pun kadang tipis, sementara di bawahnya terdapat rongga-rongga kecil maupun besar yang disebut gua. Bisa dibayangkan, jika permukaannya seperti itu dan hutan atau pepohonan tidak ada, maka seperti permukaan spon kaku/keras itu pula, air tidak ada yang masuk dan akan meluncur deras ke area di bawahnya sehingga terjadilah bencana banjir.

Oleh karena itu, daerah resapan harus dijaga. Selain itu, ada juga lubang-lubang yang disebut ponor yang berfungsi mengalirkan air dari permukaan (eksokarst) ke dalam rekahan-rekahan batuan dan lorong-lorong bawah tanah (endokarst) yang mengalirkan air dari permukaan ini untuk kemudian keluar kembali sebagai mata air yang bermanfaat.

 

Kawasan karst di Trenggalek di kecamatan mana saja, sih? Dan bagaimana cara mudah masyarakat untuk mengidentifikasi bahwa itu adalah kawasan karst? Apa hubungannya antara gua dengan wilayah karst?

Secara geologi, sebaran batu gamping di daerah Trenggalek terdiri atas batu gamping Formasi Campurdarat (Tmcl) dan batu gamping dari Formasi Wonosari (Tmwl). Berdasarkan data dari Badan Geologi Kementrian ESDM, Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Trenggalek dibagi menjadi enam zona, yaitu zona Watulimo, zona Panggul, zona Dongko, zona Kampak, zona Gandusari dan zona Bendungan.

Namun berdasarkan penilitian oleh Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial (BPEE) KLHK, kawasan ekosistem karst Trenggalek meliputi hampir seluruh kecamatan yang ada, kecuali Kecamatan Durenan. Adapun Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) karst itu berada di Kecamatan Dongko, Bendungan, Gandusari, Kampak, Karangan, Munjungan, Panggul, Pogalan, Pule, Suruh, Trenggalek, Tugu dan Kecamatan Watulimo.

Bagi masyarakat yang ingin mengetahui wilayah karst, secara sederhananya bisa mengetahuinya melalui luweng: sumber mata air permanen yang daerah atasnya merupakan daerah gamping. Sungai permukaan yang tiba-tiba hilang dan keluar lagi melalui gua sebagaimana bisa dilihat di kawasan Gua Ngerit, dan ditemukan banyak kelelawar (atau lowo) yang keluar dari gua tersebut.

 

Kami melihat di Trenggalek ini kan banyak sumber mata air, terutama di wilayah-wilayah kecamatan pegunungan. Dan data sumber air ini dari masa ke masa makin merosot dari segi kuantitas maupun kualitas sepertinya. Apa hubungannya dengan karst?

Ini juga sudah terjelaskan sebelumnya. Akan tetapi, dalam kawasan karst itu, air banyak mengalir di bawah permukaan, kadang yang di atas akan kesulitan untuk mengakses. Karenanya perlu upaya untuk mengangkat air yang ada di bawah itu sebagaimana yang dilakukan di daerah Gunung Kidul dan Wonogiri.

Kalau sumber-sumber air banyak yang hilang, berarti kawasan di atasnya perlu perhatian serius. Kita juga tahu bahwa wilayah Trenggalek 60%-nya adalah wilayah hutan dan 50% dari itu penguasaannya ada pada Perhutani. Dalam melindungi sumber air, kita bisa mencontoh Desa Wonocoyo di Kecamatan Panggul, yang melakukan intervensi kepada Perhutani untuk turut menjaga tutupan sumber. Sebab jika diabaikan, kejadian sebagaimana yang terjadi di air terjun Pantai Pelang itu akan terjadi di banyak daerah lain.

Perlu diketahui bahwa air terjun pelang itu keluar dari dua gua yang ada di atasnya. Kejadian beberapa tahun belakangan yang juga turut membuat tirai air terjun itu roboh menjadi penanda bahwa daerah di atasnya tidak terjaga dengan baik. Padahal dulu, kalau toh banjir, tidak sampai separah itu.

 

Bagaimana akibatnya bila kawasan karst ini rusak, misalnya tersebab efek penambangan emas dan mineral lainnya? Apa dampaknya terhadap lingkungan dan, terutama manusia?

Kawasan karst merupakan salah satu tipe ekosistem yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Rentan terhadap kerusakan jika tidak dikelola dengan baik. Padahal fungsi dan jasa yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan pangan dan air bagi masyarakat yang hidup di wilayah tersebut. Jika sudah rusak, sangat sulit untuk memperbaikinya.

Satu hal penting lagi yang perlu diingat adalah status karst sebagai sumber daya alam yang tak dapat diperbarui. Jika telah ditambang, maka kawasan karst akan hilang selamanya. Dan tentu saja ini akan menyebabkan bencana ekologis yang lebih luas lagi.

Sebagai seorang yang beriman, saya kira, tentunya kita tidak mau termasuk golongan yang membuat kerusakan di muka bumi. Dalam ajaran agama yang saya anut, bahkan jika kita memiliki satu biji/bibit tanaman dan kita tahu bahwa besok akan kiamat, kita masih diperintahkan untuk menanamnya.

Maaf nih, saya agak sentimentil.

Tuhan sudah begitu banyaknya memberikan kita anugrah untuk dirawat. Bahkan soal karst ini pun saya kira juga merupakan anugrah bagi kita, manusia. Walaupun mungkin beda konteks, saya ingin menyampaikan, jika karst ini pun sepertinya sudah disebutkan dalam Al-Quran, dalam surat Al Baqarah ayat 74 menyebutkan:

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”

 

Menurut Mas Jhe, apa peran yang seharusnya dilakukan pemerintah daerah untuk melindungi kawasan karst, misalnya dari kegiatan ekstraktif seperti penambangan korporasi? Sejauh ini pemerintah daerah Trenggalek telah berbuat apa saja demi keberlanjutan karst di Trenggalek?

Pada Perda RTRW Kabupaten Trenggalek 2012-2032 sudah ditetapkan Kawasan Lindung Geologi Karst seluas 10.684 hektar, yang meliputi Kecamatan Bendungan, Panggul, Watulimo, Dongko, Gandusari, Kampak, Karangan, Munjungan, Pogalan, Suruh, Trenggalek dan Kecamatan Tugu.

Pada 2017 lalu Direktorat BPEE KLHK berkenan pula melakukan inventarisasi Kawasan Ekosistem Karst di Trenggalek yang selesai dengan disusunnya dokumen penataan dan pengelolaan ekosistem esensial karst Kabupaten Trenggalek pada tahun 2018. Dalam kegiatan tersebut banyak pihak yang terlibat, baik dari pemerintah daerah, Perhutani, BKSDA, Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Jawa, LSM lokal Trenggalek serta beberapa organisasi speleologi.

Dalam sosialisasi (Konsultasi Publik) Penataan Pengelolaan Ekosistem Karst Kabupaten Trenggalek yang dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 2018 pun, telah ditandatangani nota kesepahaman (MoU) Penataan Ekosistem Karst Kabupaten Trenggalek secara lestari dan berkelanjutan oleh Bupati Trenggalek dan Direktur BPEE KLHK.

Pada saat itu juga kami dikejutkan oleh rencana perubahan RTRW Trenggalek, Kawasan Lindung Karst (KLK) seluas 10.684 hektar itu ternyata menyusut menjadi hanya seluas 4.492 hektar. Anehnya lagi, data yang dijadikan dasar penyusutan itu adalah data yang sama yang digunakan saat menetapkan KLK dalam Perda RTRW tahun 2012-2032.

Penyusutan kawasan lindung karst itu menyulut keramaian. Kawan-kawan di Trenggalek mencurigai ada kepentingan lain yang membonceng di balik rencana perubahan RTRW. Pertemuan-pertemuan dilakukan, hearing dengan DPRD juga dilakukan dan Dinas Bapedalitbang pun beberapa kali membuat FGD. Yang terakhir pada Januari 2021, membuat FGD lagi dengan mengundang BPEE dan Badan Geologi. Bahkan dalam pertemuan terakhir tersebut, kami semua baru tahu, jika Badan Geologi ESDM ternyata telah melakukan evaluasi KBAK pada 2020 menjadi seluas 6.525,5 hektar.

Hingga saat ini, kita belum tahu nih bagaimana penetapan kawasan lindung karst itu pada perubahan RTRW yang baru. Tapi, saya kira, kita perlu mengapresiasi apa yang sedang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Trenggalek saat ini. Bupati sedang merencanakan melalui peraturan bupati, soal penataan dan pengelolaan ekosistem karst Trenggalek.

Artikel Baru

Artikel Terkait