Akhir dasawarsa 1950 menjadi masa-masa kelam bagi penduduk Lebak, Banten Selatan. Sekalipun Belanda telah lama hengkang dari bumi Indonesia, mereka belum sepenuhnya lepas dari ketakutan dan penderitaan.
Gerombolan DI (Darul Islam) anak buah Kartosuwiryo masih terus berkeliaran, tak segan merisak harta dan jiwa penduduk. Belum lagi tuan tanah yang memperlakukan mereka bak romusha: mempekerjakan dengan upah sangat rendah; bahkan tidak jarang memaksa mereka untuk mencurikan bibit karet, tanpa diberi upah selain pukulan dan siksaan.
Mereka, penduduk Lebak, hidup dalam ketakutan, tak berdaya, dan nyaris lupa akan martabatnya sebagai manusia. Tak terkecuali Ranta, yang tanah beserta hasil panennya telah dirampas Juragan Musa. Anak pertamanya mati akibat sakit tanpa beroleh pengobatan yang layak. Sementara anak keduanya tengah dirawat di rumah sakit—namun akhirnya tak tertolong juga.
Ranta sebenarnya sudah muak dengan ketertindasan yang ia alami. Ia sangat benci dan marah kepada Juragan Musa, yang hampir tiap malam memaksanya menjadi maling bibit karet. Hanya saja ia selalu tak punya keberanian untuk melawan.
Hingga pada suatu malam, ketika Juragan Musa kembali mendatangi gubuk reyot Ranta untuk memaksanya mencuri bibit karet lagi. Ranta yang tubuhnya babak belur karena baru saja digebuki anak buah Musa, mendadak muncul keberanian untuk melawan. Mendapat respons demikian, Juragan Musa sama sekali tak menyangka. Ia pun seketika lari tunggang langgang, tanpa memedulikan tongkat dan aktentasnya yang jatuh.
Kejadian tersebut mengawali titik balik kehidupan Ranta dan penduduk Lebak. Aktentas yang jatuh di depan rumah Ranta rupanya berisi dokumen-dokumen penting yang mengindikasikan keterlibatan Musa di DI. Ditemani dua warga sependeritaan lainnya, Ranta menyerahkan dokumen tersebut kepada komandan OKD (Organisasi Keamanan Desa). Tak butuh waktu lama, Juragan Musa pun ditangkap.
Penangkapan Juragan Musa bersamaan dengan dimulainya operasi penyergapan komplotan DI. Meski sempat terjadi konfrontasi di sejumlah titik, tetapi prajurit OKD berhasil melumpuhkan kekuatan DI di Lebak. Anggota dan tokoh-tokoh DI ditangkapi. Termasuk Juragan Musa yang ternyata seorang residen DI. Di saat itu juga, Ranta oleh komandan OKD diangkat menjadi Lurah sementara. Ia ditunjuk untuk menggantikan Lurah sebelumnya yang juga ditangkap karena ikut terlibat, sebagai bawahan residen Musa.
Banten Selatan berangsur kondusif. Warga mulai bekerja dengan tenang ke sawah dengan tenang. Lurah Ranta kemudian menggerakkan warganya untuk membangun waduk guna mengairi sawah. Berkat kerja sama dan gotong royong warga bersama OKD dan para prajurit, waduk yang dicita-citakan sejak lama pun berhasil diwujudkan.
Di pihak lain, istri Juragan Musa mengurungkan niatnya untuk kembali ke kota paska suaminya ditangkap. Nyonya Musa yang jebolan SKP (Sekolah Kepandaian Putri) memilih tetap tinggal untuk mengajari baca-tulis kepada perempuan dan anak-anak. Akhirnya, dengan semangat persatuan dan gotong-royong, mereka, penduduk Lebak, menatap hari depan dengan penuh kepercayaan dan rasa optimis.
***
Kisah yang dituangkan Pram dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan tersebut merupakan hasil kunjungannya ke Banten Selatan pada akhir 1957. Pram hendak melukiskan bagaimana tidak berdayanya orang-orang kecil nan miskin, tidak hanya di hadapan bangsa kolonial, tapi juga kaum pemberontak Darul Islam. Tanah yang subur serta bumi yang kaya tidak bisa mereka nikmati. Penghidupan yang layak dan bermartabat hanya berupa angan-angan. Sebaliknya, mereka dipaksa hidup dalam tindihan rasa takut yang melumpuhkan daya kerja nan memiskinkan.
Ranta menjadi tokoh protagonis utama dalam novel yang juga dimaksudkan untuk drama panggung tersebut. Dibandingkan dengan penduduk Lebak lain, kehidupan Ranta tidak beda sengsaranya.
Namun demikian, sebagai bekas Heiho yang pernah bertugas ke beberapa wilayah, dan juga nyaris satu-satunya orang yang bisa baca-tulis, ia masih kuat hati untuk menghibur istrinya, Ireng, bahwa suatu saat kehidupan akan berubah. Ranta juga sering mengingatkan dan memotivasi warga lainnya bahwa ketertindasan yang mereka alami tiada lain akibat hilangnya rasa persatuan dan gotong royong di antara sesama.
Di pihak lain, Juragan Musa merupakan tokoh antagonis utamanya. Awalnya, Musa hanyalah rakyat jelata seperti halnya Ranta. Namun, karena kelicikan dan ketamakannya pada saat menjadi wèrek romusha, ia bisa menguasai tanah-tanah milik warga, termasuk tanah Ranta beserta seluruh hasil buminya. Ia tak segan menjarah dan membakar rumah warga begitu ia menjadi tuan tanah dan juragan. Bahkan ia juga memaksa warga jelata untuk mencuri bibit karet untuknya, tanpa ia beri upah kecuali pukulan, cambukan, dan siksaan.
Tidak ada seorang pun yang berani melawan Juragan Musa. Apalagi si binatang buas tersebut—demikian Ranta mneyebut—berkomplot dengan DI, bahkan menjabat Residen. Menariknya, begitu menyadari akan terkena masalah besar setelah aktentasnya diserahkan ke komandan OKD, ia tak sungkan untuk menyebut-nyebut bahwa Allah pasti akan menyelamatkannya. Ia juga meyakini bahwa dirinya ada di pihak yang benar, dan karena itu Allah akan selalu bersamanya. Bahkan ia mengancam akan merajam istrinya yang ia tuduh tidak memercayai perkataannya tersebut.
Sebagai tokoh tambahan dalam novel, istri Juragan Musa digambarkan sebagai sosok perempuan hebat dan ideal. Meski ia adalah perempuan terdidik yang pandai baca-tulis—sesuatu yang langka di masa itu—ia sangat berbakti dan taat kepada suaminya. Namun demikian, tatkala mendapat perlakuan buruk dari suaminya, ia tidak tinggal diam dan berani melawan.
Meski akhirnya tahu bahwa suaminya petinggi DI, sementara orang tuanya dulu dibantai oleh komplotan DI, kesetiannya tak pudar sedikitpun. Malang, dalam perjalanan merantau ke kota paska suaminya ditangkap, ia diperkosa sekelompok DI. Beruntung, ia masih bisa diselamatkan seorang warga untuk mendapat perawatan di rumah Lurah Ranta.
Setelah melewati masa traumatik, ia mengurungkan niatnya pergi ke kota dan memilih tetap tinggal di desa guna mengajari baca-tulis kepada anak-anak dan perempuan.
Dengan semangat persatuan dan gotong royong yang bermula dari aksi patriotik Ranta, warga bersama prajurit dan OKD berhasil mengusir komplotan DI yang sudah sekian lama meneror desa tersebut.
Mereka juga berhasil mengupayakan penghidupan yang layak sebagai kaum agraris dengan membangun waduk, memperbaiki saluran pengairan yang sempat disabotase, dan membuka lahan pertanian baru. Sayangnya, kedaulatan dan kebahagiaan tersebut hanya dinikmati selama dua bulan. Darul Islam kembali mengobrak-abrik desa tersebut, hingga Lurah Ranta terpaksa mengungsi hingga ke Sukabumi.
Bagaimanapun, melalui novel tersebut, Pram hendak mengajarkan bahwa kunci dari kedaulatan, kemakmuran, dan kebahagiaan adalah persatuan dan gotong royong. Tanpanya, bisa lahir “binatang buas” bahkan dari kalangan mereka sendiri, yang tak segan menikam saudara lainnya yang lebih lemah. Namun apabila semangat persatuan dan gotong-royong terus terawat, keamanan bisa diwujudkan dan kesejahteraan serta kebahagiaan bersama mudah diupayakan.
_____
Judul Buku : Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Pengarang : Pramoedya Ananta Tour
Genre : Novel
Penerbit : Lentera Dipantara, Cet. II, 2006. (diterbitkan pertama kali pada 1958, Cet. II)