Pengalaman nonton film dan menikmati segala produk hiburan audio-visual paling menyenangkan adalah di kamar dengan cahaya redup, ditambah suasana sunyi. Itu pikiran saya sebelum ikut Simak Belukar, sebuah kegiatan nonton bareng (nobar) film yang diinisiasi secara kolektif Serikat Suket, pada 14 Juni 2024 malam. Di kegiatan itu, Serikat Suket berkolaborasi dengan media warga Nggalek(dot)co.
Kegiatan nobar film dan dilanjutkan diskusi memberi saya pengalaman nonton film yang lebih menyenangkan dibandingkan nonton sendirian. Saya ketika nonton film sendiri terkadang melewatkan beberapa informasi penting yang berkaitan dengan pembangunan cerita. Sehingga, apa maksud tujuan film itu terlewatkan begitu saja.
Namun, dengan nobar dan diskusi saya bisa lebih memahami maksud alur ceritanya dan pesan-pesan yang hendak disampaikan sang sutradara. Selain itu, saya bisa belajar dari perspektif orang lain tentang isi film. Tiap orang memiliki interpretasi sendiri, bahkan jika isu yang diangkat di film relevan, perspektif yang dibicarakan bisa mendalam.
Simak Belukar tempo hari menyajikan dua film pendek produksi sineas Indonesia, yakni Basri & Salma in a Never-Ending Comedy dan Laut Memanggilku. Dua film tersebut memiliki genre berbeda, film pertama drama tipis-tipis yang penuh intrik komedi. Sementara film yang kedua bergenre drama menyayat hati.
Jadi, oleh Serikat Suket dan Nggalek(dot)co waktu itu perasaan saya dibuat bahagia kemudian sedih. Meski pada akhirnya film Basri & Salma in a Never-Ending Comedy diputar ulang karena ada peserta nobar yang baru datang saat film itu selesai diputar.
Ada satu tema besar yang diangkat dalam kedua film tersebut, yakni keluarga. Film pertama bercerita tentang sepasang suami istri yang belum memiliki anak. Sementara film kedua bercerita tentang seorang anak yang merindukan kehadiran ibu.
Film Basri & Salma in a Never-Ending Comedy dan Laut Memanggilku memiliki universe atau dunia yang berbeda, namun memiliki keterkaitan pesan dan isu yang diangkat. Untuk menjelaskannya, saya akan membagi dua bagian dalam tulisan ini. Pertama mengulas kedua film tersebut, kemudian membahas keterkaitannya.
Ulasan Basri & Salma in a Never-Ending Comedy
Sudah diinformasikan lewat judulnya, film yang disutradarai dan ditulis Khozy Rizal tayang 2023 ini bercerita tentang sepasang suami istri, Basri dan Salma. Mereka telah lima tahun menikah, namun belum memiliki keturunan. Alhasil, mereka sering mendapatkan tuntutan dari keluarga besarnya dan sering mendapat olok-olokan.
Puncaknya saat Basri dan Salma sedang makan bersama dengan anggota keluarga besarnya. Basri diolok-olok jika ia memiliki masalah seksual oleh saudaranya. Semua orang yang mendengar tertawa terbahak-bahak, kecuali Basri dan Salma. Bahkan, ibu Basri turut menertawakan anaknya sendiri sampai-sampai tersedak.
Adegan ini ditutup dengan pertengkaran saudara Basri dengan istrinya. Ternyata, orang yang mengolok-olok Basri tidak punya anak punya segudang masalah rumah tangga. Sampai-sampai terdapat adegan kekerasan fisik. Alhasil suasana makan bersama yang ‘penuh tawa’ itu jadi suram.
Ternyata, saudara Basri itu terkuak hutangnya menumpuk dan tidak berperan dalam urusan ekonomi keluarga. Sehingga istrinya kesal dan melampiaskan saat makan malam bersama itu.
Saat saudara Basri bertengkar dengan istrinya ada anak-anak di sana. Namun, tidak ada yang mengamankan mereka kecuai Salma. Di sini tampak jiwa keibu-ibuan Salma begitu menonjol meski belum mempunyai momongan.
Rizal dalam filmnya yang satu ini tetap ingin berada di jalur komedi. Adegan langsung menampilkan Basri dan Salma bekerja di pasar malam sebagai penjaga odong-odong.
Di adegan itu Basri tampak begitu kesal dengan anak-anak. Itu disebabkan ia sering mendapatkan tuntutan dari lingkungannya untuk segera memiliki anak. Bahkan ia langsung marah kepada anak-anak yang memukul odong-odongnya. Alhasil, orangtua si anak protes ke Basri dan sempat bertengkar, yang kemudian dilerai oleh Salma.
Hingga akhirnya suasana berganti malam, Basri merenung bersama Salma. Beban yang mereka pikul dari tidak memiliki momongan ini tampak begitu besar. Di akhir adegan, Basri memeluk istrinya untuk meredakan gejolak batin dan menutup adegan film dengan bercinta. Perlu dicatat, adegan ini ditampilkan dengan semiotik yang masih mengedepankan komedi.
Namun ada yang menarik dalam adegan ini, saat bercinta Salma kekeh belum ingin memiliki momongan.
Interpretasi saya terhadap film ini adalah Basri dan Salma sebena sepakat mereka belum memiliki momongan. Tapi, Basri sebagai kepala rumah tangga tampak mendapat tekanan berlebih dari keluarga besarnya.
Meski begitu, Basri tipikal suami yang tidak egois. Ia tak memaksa Salma untuk segera memiliki momongan.
Pihak yang paling belum ingin memiliki momongan adalah Salma. Ia melihat memiliki anak adalah suatu beban tersendiri. Tanggung jawab sebagai orangtua terhadap anaknya begitu besar. Terutama Salma melihat kegaduhan dalam rumah tangga saudaranya, Basri.
Apa yang Basri dan Salma alami di sini adalah rekaman realita sosial saat ini. Seorang yang baru saja menikah sering kali mendapatkan tuntutan sosial untuk segera memiliki anak. Padahal, memiliki anak atau tidak adalah hak mereka yang menikah.
Tak sedikit orang-orang yang tertekan karena telah lama menikah namun belum memiliki momongan. Puncaknya biasanya saat hari raya lebaran, ketika berkumpul dengan keluarga besar dan kerabat. Alih-alih lebaran jadi momen menggembirakan, realitanya adalah mimpi buruk bagi mereka yang belum memiliki momongan.
Di sini saya mengapresiasi keputusan Basri dan Salma belum segera memiliki anak karena mereka tetap mempertimbangkan tanggung jawab. Meski ini tidak ditonjolkan secara gamblang dalam film, sebatas semiotika visual.
Memiliki anak bukan perkara gampang. Sebab selain harus memenuhi kebutuhan dasar si anak, orang tua juga harus memberikan lingkungan keluarga yang ramah. Orang tua bukan otoritas tertinggi bagi anak, melainkan sosok yang menuntun ke masa depan cerah. Bukan seperti saudaranya Basri yang mempertontonkan pertengkaran di depan anak-anak.
Ulasan Laut Memanggilku
Laut Memanggilku ini adalah film pendek indie yang rilis tahun 2021, berdurasi 18 menit dan disutradarai oleh Tumpal Tampubolon. Sementara, penulisan naskahnya, Tumpal dibantu Nara Nugroho.
Film ini bercerita tentang Sura, anak sebatang kara yang tinggal di pesisir kumuh. Tidak diketahui latar tempatnya, namun meninjau bahasanya yang memakai kata pengganti orang “elo” dan “gue”, sepertinya latar tempatnya di daerah Jakarta atau sekitarnya.
Untuk menyalakan kehidupan, Sura harus mencari ikan dan menjualnya di tempat pelelangan ikan. Tak banyak uang yang ia dapat, hanya cukup untuk bertahan dari serangan busung lapar. Bahkan tak cukup bagi Sura untuk biaya sekolah. Di adegan film tidak menampilkan ia bersekolah, bahkan di rumahnya tak ada properti yang menunjukan ia tengah mengenyam pendidikan. Hanya sebuah rumah berbilik bambu dengan perabotan ala kadarnya.
Suatu ketika, Sura berjalan menyisir pantai yang ditutupi sampah. Dengan tongkat yang dia pegang, ia menyibak sampah-sampah berharap menemukan barang berharga. Tiba-tiba, sebuah boneka karet mengempis yang mirip manusia membuatnya penasaran. Alhasil ia membawanya pulang untuk dibersihkan.
Setelah bersih, Sura mengisi boneka tadi dengan angin dengan bantuan Argo. Ketika mengembang, boneka karet itu tampak seperti manusia hidup. Ia kemudian meriasnya selayaknya manusia. Sura tampaknya belum tahu yang ditemukannya adalah boneka seksual atau sex toys.
Siapa sangka, boneka seksual yang biasa menjadi pemuas seksual, ternyata di tangan Sura menjadi sarana pemuas afeksi atau kasih sayang. Ia memposisikan boneka tadi selayaknya ibu yang selama ini ia rindukan.
Setiap kali Sura hendak bepergian, ia berpamitan dengan boneka tersebut. Saat makan Sura ditemani boneka tadi, dan ketika hatinya sedang gundah, Sura tidur di pangkuannya. Lewat boneka ini, setidaknya, kerinduannya terhadap sosok ibu sedikit terobati.
Meski tak bisa berbicara dan bergerak seperti manusia, ia begitu menyayanginya. Hal itu ditunjukan saat bonekanya hendak dipinjam Argo, Sura tidak mengizinkan sampai mereka berantem. Sura dengan tubuh kecil terkapar akibat bogem mentah dari Argo.
Pada suatu malam, Sura mencoba merebut kembali boneka yang diambil Argo. Ia membawa sebuah batu bata untuk menghajar Argo. Sampai ia melihat Argo tengah tidur di atas pangkuan boneka itu, Sura tak jadi balas dendam. Ia merasakan rasa kesepian hadirnya sosok ibu di hati Argo.
Kedua tokoh utama, Sura dan Argo di film Laut Memanggilku itu secara jelas mereka itu tergolong anak-anak terlantar dan fakir miskin. Tapi, masih saja berada di dalam jurang penderitaan. Alih-alih mereka mendapatkan kehidupan yang layak dan bisa mengakses pendidikan.
Mereka harus bekerja sendiri untuk menghidupi dirinya, padahal di usia mereka seharusnya sedang mengenyam pendidikan. Selain itu, mereka hidup sendiri, tidak ada peran sosok yang menjadi orang tua. Di kondisi seperti ini, seharusnya ada peran negara untuk mengakomodasi hak-hak mereka.
Hal ini menunjukan ironi keberpihakan negara terhadap kaum marjinal seperti Sura dan Argo. Padahal, Indonesia menyatakan lewat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 34 ayat (1). Berbunyi sebagai berikut, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
Jika negara melalui undang-undang dasar menyatakan keberpihakannya terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar, maka sudah seharusnya kebijakan pemerintah mengarah pada pembelaan hak-hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Nyatanya, masih saja ada anak-anak terlantar masih belum mendapat perhatian serius dari negara. Belum ada kebijakan pemerintah yang memberikan kepastian tentang nasib kaum-kaum seperti mereka.
Hal itu dibuktikan dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah penduduk miskin utamanya di kawasan pesisir menembus angka 17,74 juta jiwa. Padahal, Indonesia terkenal sebagai negara bahari. Di tahun sama, BPS melaporkan hasil perikanan tangkap di Indonesia menembus angka 24, 74 juta ton. Angkanya tinggi, namun tidak bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir dan memberikan kehidupan layak bagi anak terlantar.
Keluarga adalah Miniatur Negara, Terus Negara Berperan Apa?
Setelah menonton kedua film di atas saya teringat dengan pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sambutannya di acara puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional ke-30 di Banyuasin, Sumatra Selatan, Kamis pada 7 Juni 2023 yang diredaksikan Kantor Berita Antara. Ia mengatakan bahwa keluarga adalah miniatur masyarakat, dalam cakupan lebih luas adalah negara.
Ia menjelaskan keluarga yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik pula. Hal itu didasarkan pada argumentasi jika sebuah keluarga mampu mendidik individu yang baik dan unggul, maka individu tersebut jika terjun ke masyarakat akan memberikan pengaruh baik pula.
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh seorang wakil presiden merepresentasikan sebagai ujung tonggak pemangku kebijakan dalam negara. Jika demikian keluaga adalah miniatur negara, lantas apa peran negara dalam membentuk keluarga yang ‘baik’ agar terciptanya generasi unggul?
BPS, sebagaimana dikutip dari laman Datanesia, di 2022 kesejahteraan keluarga di Indonesia menurun. Porsi pengeluaran bukan-makanan rumah tangga Indonesia turun 2,8%, dari semula 51,32% pada 2016 menjadi 49,86% pada 2022. Penurunan pengeluaran keluarga di sektor non pangan ini menunjukan berkurangnya kualitas hidup, sebab sebagian besar pendapatan dihabiskan untuk keperluan makan.
Film Basri & Salma in a Never-Ending Comedy dan Laut Memanggilku telah merekam kemelut itu lewat audio dan visualnya. Seperti tokoh Bisri dan Salma yang enggan memiliki anak, generasi penerus, karena was-was masalah perekonomian.
Sementara tokoh Sura dalam Laut Memanggilku adalah bentuk ironi sesungguhnya. Jika keluarga adalah miniatur negara, lantas apa yang dilalukan negara terhadap anak-anak terlantar tak memiliki kekuarga? Bukankah anak-anak adalah generasi penerus bangsa? Jika memang demikian keluaga sebagai dasar pembangunan negara unggul, negara harus menjadi kekuarga pengganti bagi anak-anak telantar itu. Jadi, yang dipelihara adalah fakir miskin dan anak telantar, bukan kemiskinan dan ketelantarannya.