Televisi swasta nasional ditayangkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1989. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, stasiun-stasiun televisi baru lainnya menyusul menayangkan siaran perdananya.
Sebagai media hiburan dan informasi yang paling merakyat, disaksikan oleh segala usia dan lintas kelas sosial, semestinya televisi mampu menjadi media yang selain menghibur juga memiliki muatan edukasi. Sehingga keberadaan televisi dapat turut serta mencerdaskan pemirsanya.
Televisi bukanlah satu-satunya media hiburan dan informasi, di sana ada banyak lagi jenis media massa yang kita kenal. Jauh sebelum ada siaran televisi, bangsa kita telah lebih dulu kenal koran, radio, tape, gramophone, layar tancap dan bioskop. Dan pada era modern ini, media massa baik audio, visual, maupun audio-visual mengalami perkembangan dan kemajuan yang signifikan. Hari ini hampir dengan mudah kita bisa mendapatkan beragam koran, majalah dan atau tabloid. Media tersebut dibikin dari yang fisikal hingga yang virtual, seperti yang biasa kita akses pada laman-laman internet.
Di luar itu, tidak semua orang pergi ke bioskop, membaca koran, juga mendengarkan radio. Boro-boro browsing internet, sebagian orang di sekitar kita saja masih banyak yang lebih mengakrabi dunia gaib dibanding dunia maya.
Saya adalah orang kampung yang tinggal di Desa Bangun, daerah pegunungan paling timur Kecamatan Munjungan, Trenggalek. Tidak satupun jaringan telekomunikasi dapat terjangkau oleh perangkat telepon seluler di sana. Kecuali kalau kita memasang antena yang tinggi, ditambah kabel receiver yang musti ditempel pada punggung ponsel dengan diikat sekuat-kuatnya menggunakan karet gelang, agar tidak lepas.
Layar televisi pun, terang saja tidak akan memunculkan gambar tanpa parabola. Kalau para warga sekarang lebih nyaman menggunakan jasa televisi berlangganan, di mana mereka bisa leluasa memilih channel yang ingin mereka tonton. Desa kami baru terang sejak tahun 2003, setelah bertahun-tahun lamanya kami tinggal dalam remang-remang. Cahaya lampu teplok yang biasa kami sebut ‘dimar’, ada juga yang menyebutnya ‘ublig’.
Lalu bagaimana hubungan antara televisi dan kampung saya?
Begini, di kampung saya, Anda akan melihat betapa dahsyat pengaruh konten televisi terhadap kehidupan sosial para warga. Dari sekian banyak program televisi, yang nomor satu bagi kami ya sinetron, acara bola, lalu gosip selebritis. Apa lagi ya?
Dalam berbagai hajatan atau kenduri, saya sering menjumpai ibu-ibu yang sedang rewang (kata kerja untuk kegiatan mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Identik dengan membuat makanan dalam jumlah besar untuk disajikan dalam acara tertentu, umumnya adalah untuk hajatan). Topik perbincangan mereka sembari membuat penganan kalau bukan menggosipkan tetangganya, ya membahas sinetron yang mereka saksikan semalam. Dan percakapan itu bisa serius sekali. Ada ibu-ibu saking sayang dan welasnya kepada si protagonis yang teraniaya, sampai-sampai menyumpahi si antagonis dengan kata-kata ketus sambil memasang mimik-muka seram. Menggelikan memang.
Bicara sinetron, di dalamnya seringkali para pelakunya (aktor/aktris) terkesan dipaksakan; pesinetron remaja didapuk sebagai pasangan suami-istri. Pesan moral ceritanya pun lebih cenderung ke pergaulan bebas, percintaan yang erotis, dan yang tak kalah mencolok adalah gaya hidup hedonis. Lewat sinetron, para ABG desa menjadi gandrung akan blackberry serta merek ponsel pintar lainnya. Lewat sinetron pula, mereka mengenal gaya berpacaran orang-orang metropolitan yang ujung-ujungnya kebablasan.
Belakangan, pemandangan yang marak kita temui adalah pernikahan dini yang berawal dari kehamilan para remaja putri, yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Di bawah umur, namun antusias sekali kalau sudah urusan ijab-khabul dan sunah rosul.
Ironisnya, mereka rata-rata adalah anak orang kaya. Di kampung saya, mayoritas mata pencaharian warganya adalah petani cengkih, durian, kayu meubel, padi dan palawija. Dan mereka kaya sekali. Memiliki rumah bertingkat, bidang usaha dan kendaraan roda empat. Hanya segelintir orang saja yang nekat menjadi buruh migran seperti saya. Dan, hanya ada satu rumah yang paling istimewa di kampung saya tersebut, yaitu rumah saya. Kalau kanan kiri ada gedung bertingkat, persis di depan mushola milik almarhum Mbah Kadheri ada sebuah rumah gedheg (berdinding anyaman bambu) berdiri mentereng (baca: reot). Nah, itu dia persisnya rumah saya.
Kembali ke soal pernikahan dini. Jadi, para remaja tersebut sebenarnya sangat berkesempatan untuk menempuh jenjang pendidikan yang setinggi-tingginya, bukan menempuh hidup baru yang secepat-cepatnya. Pernikahan dini yang terjadi juga bukan tanpa pengawasan orang tuanya. Malah terasa ada kesan dukungan. Entah mengapa, mungkin para orangtua tersebut tergiur untuk lekas menggelar hajatan besar yang memang sudah menjadi pemandangan lumrah di kampung. Kalau sudah begini, dipastikan akan ada banyak rupiah yang hilir mudik mengalir ke pundi-pundi mereka.
Imbas dari pernikahan dini tersebut selain meningkatkan penghasilan pak penghulu dan grup orkes dangdut, sebetulnya juga meningkatnya angka kelahiran dan “perceraian”.
Remaja putri umur 17 tahun berstatus janda; wanita muda 19 tahun beranak dua; laki-laki 20 tahun sudah menjadi bapak; dan ibu-ibu muda berusia 35 tahun sudah dipanggil Uti (nenek), rentetan fakta ini banyak terjadi di kampung saya.
Tidak ada hal yang baik dari memaksakan segala sesuatu yang prematur.
Itulah televisi dan kampung saya. Televisi beserta segala kontennya akan terus menyala, terlepas dari efek positif dan negatif yang ditimbulkannya. Suka atau tidak, televisi hingga kini, terutama di kampung saya, masih belum tergantikan sebagai sarana informasi dan hiburan di tengah menjamurnya media massa.
Dan, setidaknya karena televisilah, bayi-bayi di kampung saya diberi nama bagus oleh orangtuanya, sebagus nama bintang sinetron kesayangan mereka. Karena mereka mendapat rujukan nama dari sana. Oh ya, Anda baru saja membaca cerita tentang televisi dan kampung saya di masa itu. Bagaimana cerita televisi di kampung Anda?