Sekitar satu bulan lalu saya mengenal seorang laki-laki yang memiliki potensi luar biasa. Ia bernama Suparni, biasa saya panggil Pak Parni. Saya bertemu dengan Pak Parni saat itu bersamaan dengan teman-teman yang tergabung dalam Komunitas Pemuda Trenggalek (KPT) ketika berkunjung ke rumahnya di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Pogalan, untuk membicarakan karya-karya yang dihasilkan oleh Pak Parni ini. Kami berniat membawa karya-karya Pak Parni untuk di tunjukkan pada teman-teman Good News Form Indonesia (GNFI) dan Mas Arifin (Wabup) di Pantai Prigi.
Dari momentum tersebut hubungan kami dengan Pak Parni mulai terjalin dan intens berkomunikasi, khususnya dengan teman kami yang bernama Hadaq. Hadaq-lah orang pertama yang mendampingi Pak Parni dalam berkarya, dan memperkenalkannya kepada kami semua. Hadaq juga yang telah memberikan perhatian serius kepada Pak Parni soal pengembangan karya-karyanya, Mulai dari bentuk hingga memasarkan karya-karya tersebut.
Kenapa Saya menulis ini? Dan kenapa Pak Parni yang saya angkat. Bagi saya, Pak Parni adalah sebuah bentuk nyata dari apa yang bernama “Perjuangan, Semangat dan Kreativitas”. Saya akan berikan sedikit gambaran tentang Pak Parni dari kata perjuangan dan semangat. Sekitar 15 tahun yang lalu, Pak Parni mengalami sebuah kecelakaan kerja yang membuat tulang punggungnya patah, hingga harus disambung dengan platina (pent). Kejadian ini membuat semua mimpi yang dicita-citakan Pak Parni sirna, sampai-sampai platina (pent) yang ditanam ditubuhnya pada saat seharusnya dilepas, tidak segera dilepas.
Masalah Ekonomi membuat Pak Parni tak lagi dapat berjalan atau sekadar duduk. Mungkin Masalah ini juga yang membuat sebagian dari rakyat Indonesia mengalami hal yang sama atau bahkan lebih parah dari Pak Parni. Dari ketidakmampuanya tersebut, lalu berlanjut dengan masalah domestik yang serius, mungkin jika kita yang mengalami entah apa yang terjadi. Tapi Pak Parni justru membuktikan hal sebaliknya. Dengan ketidakmampuannya untuk berjalan, justru tangan dan otaknya menjadi kuat dan lebih kreatif.
Semangatnya untuk bekerja dan berkarya justru lebih kuat, dalam segala kekurangan. Dia mulai membuat layang-layang untuk anak-anak di sekitar rumahnya. Dari layang-layang ini, kemudian berlanjut membuat karya berbahan dasar batok kelapa. Mungkin bagi kita, batok kelapa ini hanya sampah, yang paling mentok kita bakar. Dari bahan dasar ini lain jadinya di tangan Pak Karni. Ia bisa menghasilkan kerajinan tangan dari berbagai macam bentuk, mulai vespa, lampu duduk, hingga peralatan makan. Selain dari bahan baku batok kelapa, Pak Parni juga mengerjakan barongan (caplokan) dari kayu sisa bagunan. Di sinilah arti sesungguhnya dari kreativitas itu.
Hari ini Pak Parni harus kami larikan ke rumah sakit. Nanang orang pertama yang menerima kabar tersebut, yang kemudian menghubungi kami semua. Dari berita itu kami mengupayakan agar Pak Parni segera dibawa ke rumah sakit. Tidak lama, Hadaq kemudian datang bersama Ambulan. Setalah mendapat pemeriksaan, ternyata Pak Parni terkena pendarahan di ususnya dan anemia gravis. Kondisi yang membuatnya benar-benar lemah—di tengah banyak pekerjaan kreatif yang belum ia selesaikan—hingga harus mendapatkan transfusi darah serta kemungkinan akan segera dirujuk.
Dari kondisinya tersebut saya bisa belajar banyak hal tentang menghargai kehidupan. Ternyata banyak hal yang harus saya syukuri serta saya merasa kecil dengan kemampuan-kemampuan orang-orang seperti Pak Parni. Kondisi dan semangatnya Pak Parni benar-benar menampar kami. Karya-karya yang unik dan bernilai ekonomi dari Pak Parni, layak kita perjuangankan, juga supaya ia mendapatkan kehidupan yang layak. Terima kasih Pak Parni akan ilmunya. Semoga lekas sembuh.
Hingga tulisan ini saya buat, Pak Parni berada di ruang UGD dan masih mendapatkan transfusi darah.