Laut dan Narasi Pilu Nelayan (Bagian 2)

Tulisan ini berkisah tentang bagaimana manusia berteman dengan laut(an) yang mengharu-biru. Pada tulisan awal dulu, saya telah menulis tentang laut dan sisi pilu menjadi nelayan. Laut adalah gurun air, sedang nelayan ibarat musafir yang bergerilya di padang safana laut(an). Nelayan adalah seorang pemburu. Bagi nelayan, laut adalah kolam renang yang tak begitu diperkarakan kedalamannya. Mereka tak gentar menghadapi tingginya terjangan gelombang; ganasnya ombak di laut selatan Jawa. Nelayan hanya melaksanakan kewajiban dan hak untuk memanen demi kelangsungan hidup: kesejahteraan keluarga.

Kita bisa lihat, sebelum perahu berangkat, para ABK sibuk dengan aktivitasnya di dermaga. Mereka mempersiapkan ubo rampe perlengkapan kapal dan lainnya. Perahu yang memuat kurang lebih dua puluh lima orang ABK itu, berlayar membelah arus dengan kecepatan sedang menuju tengah segara. Saya pernah ikut berlayar, tetapi tak sesering nelayan macam adik saya.

Saat musim ikan banyak perahu berlayar menuju ke tengah laut. Berduyun-duyun seperti pasukan angkatan laut berangkat perang mengendarai kapal di medan tempur nan jauh. Asap yang keluar dari cerobong-cerobong knalpot yang hitam kelam ibarat bendera berkibar ke angkasa. Tanda semangat menggebu para tentara angkatan laut bertempur di medan laga lautan.

Saya pasang wajah nanar saat adik saya sendiri berangkat berlayar bersama teman-teman seperjuangannya. Dan, saya hanya bisa mendongak ke atas, menengadah seraya memanjatkan doa semoga dimurahkan rezeki dan diberi keselamatan saat berlayar dan pulang nanti. Ini hanya sangu semangat dan segenggam doa dari keluarga. Ia, adik saya, pergi berlayar bermodal sebungkus rokok (banyak yang beranggapan rokok adalah nafas nelayan), bekal sepotong roti dan air minum. Tak ketinggalan beberapa pasang baju, jaket dan sarung lusuh nan amis. Sarung itu diglintir lalu dikolongkan menyilang di pundak.

Mereka—para nelayan (termasuk adik saya)—tak memikirkan hujan atau dinginnya angin laut. Kala langit gelap sempurna, gerimis mulai jatuh. Gerimis makin deras. Para nelayan hanya berteduh di kolong plastik yang dibawa, dengan panjang kurang lebih dua meter-an. Ketika langit menjadi sehitam jelaga, kilat tampak sebagai garis-garis patah berpijar sesaat dan amat menyilaukan mata. Saat kilat kembali membelah langit dan sedetik mengusir kegelapan. Di situlah letak tanda-tanda kuasa keperkasaan alam. Siapa saja yang melakukan perjalanan (darat maupun laut) ibarat menjadi semut kecil yang merayap tanpa daya dalam kegelapan yang sungguh pekat.

Ternyata benar! Dulu, di waktu yang tidak terlalu lama, suara petir yang membelah kesunyian malam memperlihatkan keperkasaannya. Tiba-tiba kilat yang begitu benderang kembali datang. Setelah hujan mulai reda, berita tentang nelayan meninggal di tengah segara berkembang di dermaga dan cepat merambat ke rumah-rumah warga. Pada saat seperti itu, mendung gelap bergelayut di hati para keluarga nelayan.

Berbicara tentang petir, belum kering isak tangis keluarga yang ditinggalkan Ba’asir—sapaan akrab tetangga satu dusun—yang meninggal di tengah laut tersambar petir. Sore itu hujan begitu deras, dan kilat menunjukkan keperkasaan. Untung tak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Ba’asir melaut ingin mencari nafkah bagi keluarga dan anaknya, yang masih berusia balita. Tapi tak disangka, ajal menjemputnya di tengah laut. Karena kaki korban dipasangi gip, petir seperti menemukan sambungan garis patahan pijarnya. Ketika kilat meyambar saja, kita yang berada di daratan menutup telinga dengan kedua ujung telunjuk, dan beranggapan dengan yakin geledak bakal segera membahana.

Sementara itu perahu yang digunakan oleh nelayan Pantai Prigi bisa dibilang semi modern. Sudah memakai mesin besar macam mesin Puso. Selain itu, untuk penerangan di perahu, telah memakai genset. Artinya, setiap perahu yang dipakai oleh nelayan Prigi adalah lampu pijar dan semi modern. Di setiap badan kapal nelayan itu terdapat banyak lilitan besi, atau perkakas lain. Dan kurangnya peralatan untuk menangkal petaka, macam petir itu.

Saya teringat dengan pitutur Mbah Lurah H. Riyono tempo hari, “Nelayan kita telah beralih penerangan perahunya, ke jenis peralatan semi modern. Dahulu, para nelayan memakai alat tradisional macam petromax, sekarang telah menggunakan lampu pijar dari listrik.” Tambahnya, saat ngobrol di rumah salah satu perangkat desa, “oleh karena itu, saat terjadi hujan, kekhawatiran terjadinya petaka dari petir semakin besar. Karena, setiap perahu dipasangi listrik. Dan benar atau tidak, setiap perahu sudah pasti dililit-i besi. Sebab itu, petir serasa di atas secengkal ubun-ubun.”

Seperti yang dikatakan Mbah Lurah Tasikmadu, nelayan Pantai Prigi dahulu menggunakan Petromax. Lentera tradisional ini berasal dari sumbu kain atau kapas pohon randu. Sumber cahaya atau wadah sumber cahaya (lampu kecil) dengan tertutup kaca sebagai penghalang udara masuk. Alat penerangan ini sangat mudah dan aman digunakan untuk melaut.

Penerangan ini biasanya digunakan setelah selesai melaksanakan tawur (aktivitas memasang tali beserta jaring/ pukat untuk menangkap ikan). Pasti, setelah pelembaran pukat selesai, nahkoda menyalakan lampu untuk penerangan aktivitas nelayan untuk penarikan jaring. Sisi lain, kata tawur identik dengan aktivitas yang memerlukan energi cukup besar. Aktivitas ini yang paling ditunggu-tunggu oleh para nelayan. Mereka menarik pukat yang disebar atau dijatuhkan di tengah laut. Ikan yang berenang melawan air bersarang di bentangan pukat, dan ikan tersangkut di jaring itu.

Sementara, di sisi lain, mayoritas penduduk Watulimo bekerja sebagai nelayan. Sebagian besar, masyarakat nelayan Pantai Prigi memakai perahu dan alat tradisional dan semi modern: pancing dan jala berbantukan tenaga manusia. Bukan alat yang memilukan. Tetapi, hasil buruan nelayan di tengah segara di tangan tengkulak tak ada harganya. Harga tangkapan para nelayan didominasi dan kemudian dijerat oleh tengkulak. Dipermainkan semena-mena oleh tengkulak-tengkulak, atau juragan kapal yang sekaligus menjadi tengkulak. Juragan kapal di sini sering ikut menyetandarkan harga ikan. Jika teringat bagaimana rekasa(susah)-nya nelayan bekerja di tengah laut, akan jadi kasihan.

Oleh karena itu, nelayan dibuat tidak berkutik dengan penghasilannya semalam. Sampai harga ikan tidak sebanding dengan modal mereka melaut. Penghasilan satu musim (se-petengan) tak mampu menyangga nasi terlalu lama. Baru beberapa bulan saja, para nelayan sudah bingung untuk menyuplai pasokan pangan untuk keluarga. Ketersediaan dan keterjangkauan pangan masyarakat sangat memprihatinkan. Mereka tidak memegang uang tunai dalam waktu yang cukup terbatas, tidak memiliki persediaan pangan, dan hidup semata-mata dari pengharapan laut, yang tidak tahu kapan masa melaut. Akibatnya, seperti cerita yang berkembang, barang eletronik banyak yang digadaikan, belum soal peralatan rumah yang juga kena imbas: (di)rupiah(kan).

Artikel Baru

Artikel Terkait