Covid-19 dan Pemerintah Kita yang Plin-Plan

Surat edaran kepala satgas penanganan Covid-19  No. 13 tahun 2021 tentang pelarangan mudik pada bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri tahun 1442 Hijriah selama 6 – 17 Mei 2021 telah diterbitkan.

Surat ini berbicara kepada semua pihak, baik kepada penyedia angkutan darat, laut dan udara maupun kepada masyarakat secara umum, bahwa selama kurun waktu 6-17 Mei, tidak boleh ada mudik lebaran. Ini terjadi sama seperti tahun sebelumnya.

Alasan utama dari pelarangan ini adalah Covid-19. Wabah yang sampai sekarang dinyatakan belum bisa move on. Bahkan di India sana menjadi banjir wabah. Entah apa yang membuatnya menjadi berlarut-larut dan semakin rumit, barangkali karena kendablekan masyarakat atau ketidak-disiplinan rakyat dalam menyikapi pandemi. Yang jelas, kasus-kasus kematian karena Covid-19 kabarnya, dari yang berseliweran di sekitar kita, masih tinggi.

Ada juga kabar yang beredar di masyarakat, bahwa kematian akibat Covid-19 sebagian adalah rekayasa rumah sakit. Misalnya, Covid-19, dijadikan transaksi penyebab kematian, kalau positif Covid-19 biaya gratis, kalau negatif Covid-19 biaya dicover sendiri. Ini benar-benar rumit untuk dijelaskan.

Lantas pelarangan mudik ini apakah benar-benar bisa menahan masyarakat perantau untuk tidak pulang kampung halaman saat lebaran? Atau kita masih ngugemi pernyataan presiden bahwa antara mudik dan pulang kampung beda pengertiannya. Tapi saya rasa, bukan waktu yang tepat untuk mencari-cari perbedaan dari sesuatu yang telah dipahami maksudnya. Mudik atau pulang kampung di sini dimaknai seperti ini: “Orang yang bekerja di luar kota dan hendak pulang ke rumah karena ada momen lebaran”.

Surat edaran pemerintah itu memang sebaiknya dipahami sebagai upaya untuk mencegah penyebaran virus semakin luas. Itu lebih baik karena masih ada perhatian dari pemerintah, bahwa kesehatan dan keselamatan rakyat adalah prioritas utama. Nalar kebangsaannya sudah benar begitu. Coba kalau masyarakat dibiarkan saja: mudik kono ora ya kono. Kira-kira apa yang hendak dikatakan netizen?

Tapi ngeyel mudik untuk bisa sungkem dengan orang tua itu juga tidak bisa dihardik begitu saja. Bagi para perantau, mudik lebaran adalah salah satu alasan untuk bisa mendapatkan libur cuti dan kesempatan bertemu dengan orang yang ada di kampung halaman. Saya juga pernah merasakannya, setahun di tempat perantauan dan bekerja setiap hari benar-benar membosankan. Karena bosan, maka butuh hiburan.

Coba kita pahami, kapan pemerintah pernah mengeluarkan surat imbauan kepada masyarakat untuk mudik lebaran? Kenapa surat edaran dikeluarkan hanya untuk melarang masyarakat mudik. Pemahaman ini sebenarnya menunjukkan bahwa mudik lebaran merupakan tradisi masyarakat yang sudah ada sejak lama, jauh sebelum Covid-19 ada.

Maka kalau masyarakat mbedadok tetap ingin mudik, sebenarnya ya wajar. Namanya sudah tradisi, kalau tradisi tidak dilakukan, mestinya seperti ada yang hilang dalam hidupnya. Seharusnya keadaan seperti ini dipahami pemerintah agar lebih kreatif dan berkomunikasi dengan masyarakat. Pasalnya, kalau masyarakat dipahami sebagai kelompok karyawan yang kudu sendika dawuh kepada majikan (pemerintah), ini sungguh menjemukan. Hubungan rakyat dan pemerintah bukan hubungan karyawan dan majikan, keles.

Jadi dari narasi saya di atas, melarang mudik saat pandemi covid-19 adalah benar, tapi ngeyel mudik lebaran juga tidak salah. Yang mungkin salah adalah soal penerapan. Saya tadi menyebut soal cara-cara kreatif supaya ini bisa diterima bersama, biar sama-sama legawa.

Misalnya begini, kenapa orang-orang begitu ngebet ingin pulang kampung saat lebaran? Alasannya sudah saya katakan di atas, sudah tradisi. Tapi tradisi ini tidak boleh dilakukan karena ada pandemi. Tapi sayangnya tidak semua masyarakat ngreken (mau tahu) dengan keadaan, karena terlalu banyak mengonsumsi informasi yang menyepelekan pemerintah sendiri.

Seperti ini contohnya, ada lembaga yang telah ditunjuk negara untuk melakukan swab, namun malah menjual dan memakai alat swab bekas. Rumah ibadah dibatasi, sekolah di tutup tapi mall tetap buka, bahkan perayaan pernikahan yang dilarang kepada masyarakat, namun dilakukan pejabat. Informasi ini beredar cepat di WhatsApp Group (WAG) keluarga dan komunitas. Bagi masyarakat yang percaya bahwa semua informasi dari internet bisa dijadikan rujukan pengetahuan, tentu akan semakin mengabaikan pemerintah, karena pemerintah dianggap tidak disiplin, tidak konsisten, plin-plan, ketat pada rakyat tapi abai pada rekan sendiri (sesama pejabat).

Baru-baru ini juga telah beredar informasi yang tidak kalah nganyelne, ada pemudik dari Jakarta dan sudah sampai Jawa Timur tapi oleh petugas disuruh putar balik karena ada surat himbauan larangan mudik, namun di sisi lain warga negara asing blusak-blusuk masuk ke Indonesia, bahkan bisa nyater pesawat sendiri. Coba bagaimana menurutmu, bagi saya ini sangat menjengkelkan. Logika pembuat kebijakan kok bisa multitasking begitu.

Kalau ada masyarakat yang tetap ngeyel ingin pulang kampung, pertama-tama pemerintah harus tahu berapa dan siapa warganya yang merantau. Lalu cari orangtuanya di desa-desa, dan berikan pengertian pada ibu dan bapak para perantau ini. Katakan pada mereka baik-baik supaya jangan mengizinkan anaknya pulang karena ada pandemi. Kalau perlu rekam pernyataan orangtua ini, tidak perlu banyak-banyak, random saja lalu publikasi. “Ngger, ra usah lebay sungkem, iki pandemi, salahmu wis tak sepura“. Nah, loh.

Pemerintah harus paham, para perantau adalah orang-orang nekat, mereka memilih meninggalkan keluarga untuk mengadu nasib di tempat lain. Mereka telah meredam rasa kangen dan rasa takut bertahun-tahun lamanya. Mereka sudah jemu dengan keadaan di tempat kelahiran, yang hanya dimanfaatkan saat pilkada, pilkades bahkan pilihan kasun, tapi soal hidup, mereka masih terus berjuang sendiri.

Wis ya, lur. Aja muleh, nek kono wae disek. Sakno keluargamu nek omah.

Artikel Baru

Artikel Terkait