Politik Uang Enak, Kok Dilarang!

Halah, kalau soal cerita tetangga yang dapat uang dari para calon saat pemilu, sudah merupakan hal biasa bagi telinga. Bukan satu atau dua orang saja, melainkan sudah jamak. Kendati sudah sejak tahun 2009 lalu money politic alias politik uang diharamkan oleh MUI, toh sampai sekarang kisah-kisah memilih siapa dapat apa masih tetap saja santer.

Bahkan rating nilai mata uang untuk membeli suara itu sudah naik dua kali lipat sejak 5 tahun lalu. Obrolan warung kopi menyebut, misal di daerah pesisir Trenggalek, nilainya sudah sampai 150.000/orang. Tentu itu ungkapan di warung kopi, saya memercayainya meski tidak ada bukti karena banyak yang mengatakan. Kalau disuruh membuktikan, ogah saya. Lha kok saya, wong lembaga yang berwenang menangani pelanggaran money politic saja hampir tidak bisa mengendus pelanggaran pemilu tersebut.

Seorang kenalan yang sedang nyalon DPRD  mengatakan bahwa masyarakat Trenggalek yang bakal memilih tanpa ada embel-embel uang saku jumlahnya hanya 13%, turun dari pemilu sebelumnya. Ini artinya hampir 80% lebih pemilih di kota Menak Sopal ini sudah pragmatis, yaitu menghendaki adanya uang ketika memilih calon tertentu. Kenalan tersebut melakukan survey secara mandiri. Dengan bekal data tersebut, ia mengatakan harus menyediakan dana sekurang-kurangnya 1M untuk jadi anggota DPRD Trenggalek.

Kalau menilai dari perkataan kenalan saya tersebut, artinya money politic sangat dikehendaki oleh masyarakat Trenggalek. Sekali lagi, meskipun sudah dinilai haram, tetap saja diyakini sebagai uang enak. Toh namanya juga duit, bukan air liur anjing. Tahu sendiri kan bagaimana jijiknya orang Islam pada air liur anjing? Ya karena dihukumi najis besar. Kalau misal politik uang dihukumi najis pun, saya rasa tidak akan menjadikan orang-orang jijik. Sekali lagi, namanya juga uang.

Lalu harus bagaimana?

Nggak gimana-gimana lur. Soal politik uang haram itu sudah benar, tapi kalau soal nampa atau menolak saat disodori uang 100.000, supaya memilih calon tertentu, itu soal prinsip. Tergantung cara pandang masing-masing. Tapi ingat, MUI telah menghukumi itu haram, dan negara mengatakan sebagai perbuatan terlarang.

Kenapa politik uang dilarang, padahal enak?

Larangan politik uang tertuang pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Seperti Pasal 280 ayat (1) huruf J menyebutkan, “Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”.

Salah satu hal buruk yang menjadi alasan kenapa politik uang diharamkan adalah karena dapat merusak sistem bernegara. Ketika uang lebih diutamakan daripada keutamaan manusia itu sendiri, maka yang bakal berkuasa bukan manusia yang memiliki akal budi agung untuk memimpin rakyat, melainkan manusia yang memiliki banyak uang. Meskipun ada manusia kaya raya yang punya akal budi dan etika pemimpin.

Seorang senior pernah berkata kepada saya bahwa “sepintar-pintarnya orang tanpa memiliki uang untuk maju politik, dia tidak akan mendapatkan kursinya.” Perkataan tersebut bukan saya anggap sebagai sebuah rumus pasti, melainkan hanya sebagai ancer-ancer bahwa masuk dunia politik harus punya ongkos banyak.

Karena yang sudah-sudah, ada anak orang kaya raya lantas macung caleg dan jadi. Padahal secara kemampuan memimpin, masih plonga-plongo. Lha begitu suruh memakmurkan masyarakat, apa ya mampu (?). 

Lagi, hal demikian bukan salah yang maju, tapi salah masyarakat yang sering lalai ketika melihat uang di depan mata. Maka kalau ada pepatah fox populi fox dei yang berarti suara rakyat suara Tuhan, bisa jadi suatu saat nanti ada pepatah suara rakyat adalah suara setan, yang merusak dan menjerumuskan negara ini dalam genggaman kubangan uang.

Artikel Baru

Artikel Terkait