Kedekatan agamawan dengan politik kekuasaan bukan barang baru. Fenomenanya setua sejarah agama-agama itu sendiri. Hubungannya selalu saja problematik, kalau tidak mengatakan penuh kecurigaan.
Tentu ada banyak pendapat tentang hubungan keduanya. Alasannya pun bisa beragam. Mazhab pendapatnya bisa ada banyak. Secara garis besar, ada yang menyepakati keterlibatan tokoh agama dalam kontestasi politik, ada pula yang tidak, serta ada yang bersyarat.
Meskipun banyak yang berlindung di balik alasan berbalut ayat-ayat suci, toh kita mesti mengakui bahwa itu valid. Ayatnya memang valid. Namun, siapa tahu dalamnya isi hati agamawan-politisi. Sangat mungkin nafsu berkekuasaan para agamawan itu dibalut sedemikian rupa dengan dalil-dalil untuk misi kemajuan umat. Walau, pasti ada juga segelintir tokoh agama yang berjalan dengan pikir-lisan-laku lurus mulus.
Kanjeng Nabi sendiri diriwayatkan sudah pernah mengingatkan kepada kita,
“Sungguh Allah mencintai penguasa (pemerintah) yang mendatangi ulama. Dan (Allah) membenci ulama yang mendatangi penguasa, karena ulama ketika dekat dengan penguasa akan senang pada dunia, namun jika penguasa yang mendekati ulama maka mereka akan senang pada akhirat.” (HR ad-Dailami).
Politik Tokoh Agama di Akar Rumput
Pemilihan umum (pemilu) atau dikenal dengan nama “pesta demokrasi” adalah sebuah konsep yang menggambarkan keriuhan penuh riang gembira. Seakan sengaja digelar untuk merayakan kemenangan tertentu. Menang atas apa? Atas kesuksesan mendominasi sumber daya alam? Atas kesuksesan menambah aset partai selama lima tahun?
Biarpun disebut sebagai “pesta”, jangan lupa bahwa pada setiap keramaian di depan layar, selalu ada lebih banyak orang di belakang layar yang tugasnya berkeringat demi menyajikan suguhan terbaik peserta pesta. Memasak, mengatur musik, menata ruang, mencuci piring, menghidangkan makanan, sampai penghibur dan perias.
Di mana tokoh agama berada? Posisinya beragam, baik tokoh kelas nasional maupun sekelas kiai-kiai kampung selalu menjadi figur paling dicari bagi para penguasa.
Kiai-kiai kampung, meskipun namanya tidak tersorot oleh media nasional, ia menjadi penentu dalam proses mobilisasi suara pemilu di desa-desa. Sebagai antropolog, tentu ini adalah gejala yang menjadi bagian perhatian saya.
Menjadi penampakan yang lumrah menjelang pemilu bahwa pengurus-pengurus ormas Islam tingkat kabupaten akan turba ke desa-desa. Misinya adalah untuk memberi titah supaya agamawan-agamawan di tingkat masyarakat membantu kampanye calon yang diusung partai-partai agama.
Tidak lupa biasanya setiap akan undur diri, ada amplop yang diselipkan ke tangan kiai kampung. Pernah pula saya mendapati uang “terima kasih” tersebut diberikan ke anak si tokoh agama.
Kadang juga dibarengi dengan janji-janji politik, seperti renovasi masjid, mushala, atau pesantren. Pun jika datang ke agamawan perempuan diiming-imingi dengan seragam baru atau perangkat hadrah baru.
Bila sudah demikian, mau tidak mau disampaikannya jugalah pesan-pesan kampanye “atasan”. Terlebih jika atasannya tersebut, bukan saja dalam urusan struktural, tetapi juga spiritual, yakni guru para kiai kampung.
Pesan kampanye bisa disampaikan lewat beragam media, termasuk menggunakan forum-forum khotbah keagamaan. Pun tidak sedikit yang membungkus dengan pembacaan ayat Kitab Suci, supaya tampak lebih agamis dan bermoral.
Inilah yang saya maksud, betapa otoritas pemuka agama yang bernafsu dengan kekuasaan seenaknya memakai perangkat keagamaan, seperti ruang dakwah, untuk meraup suara dalam pesta demokrasi. Seakan tidak cukup hanya dengan jalur-jalur struktural ormas Islam, melainkan bertindak kelewatan sampai mengobral dalil Tuhan.
Agamawan-Politisi Level Nasional
Pada kancah perpolitikan nasional agendanya bukan lagi mencucuk hidung masyarakat akar rumput. Aksi-aksi politiknya dilakukan dengan merias diri di hadapan kamera sampai melakukan lobi-lobi politis pada sejumlah pemangku kebijakan. Baik pemangku kebijakan seperti politisi, birokrat, maupun petinggi-petinggi ormas Islam yang dirasa mampu memuluskan jalan pemenangan.
Agenda merias diri ini saja tidak cukup hanya dengan menyewa tim kreatif komunikasi publik. Bila perlu, buzzer pun disewa untuk menyerang lawan-lawan politik dengan tidak lupa menyertai wahyu-wahyu Tuhan.
Lalu, komunikasi transaksional dengan ormas Islam yang akan mendukungnya juga sudah pasti dilakukan jauh-jauh hari. Di sanalah akad timbal-balik “hadiah” kemenangan diumbar. Bentuknya bisa uang, barang fisik, proyek-proyek, dan kursi-kursi kekuasaan untuk para organisator ormas (baca Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia).
Dua bentuk “hadiah” terakhir inilah yang justru lebih mengerikan. Transaksi kursi kekuasaan ini melanggengkan praktik politik kotor. Kenapa? Pada akhirnya, siapa yang naik mendapatkan kekuasaan bukan atas dasar meritokrasi, melainkan keahlian jilat menjilat senior. Siapa pemainnya?
Tentu saja salah satunya adalah ormas Islam; para pemuda organisator yang sudah dipupuk sejak mahasiswa, lengkap dengan urutan perkaderan penuh nuansa Islami. Praktiknya, mereka dipupuk dalam atmosfer patron-klien dungu yang mementingkan sopan santun “asal bapak senang” daripada budaya pikir kritis dan progresif.
Sebagai penutup, penyalahan ataupun pembenaran terhadap keterlibatan agamawan dalam pusaran kontestasi politik tentu bisa kita perdebatkan pada ruang-ruang diskusi di lain waktu. Namun, soal memanfaatkan dalih agama untuk kepentingan nafsu kekuasaan tidak bisa dibenarkan.
Memang sengaja dalam tulisan ini saya tidak mau menyebutkan nama organisasi. Jikalau ada yang merasa tersinggung dengan ini, maka saudara adalah bagian dari praktik ini. Pun, apabila tersinggung, silakan saudara kembali menanyakan pada diri sendiri, adakah misi kemaslahatan yang ingin dicapai setelah mendapat kekuasaan? Ataukah sekadar untuk mendapatkan “kue-kue” proyek supaya ormasnya dapat menambah aset dan mengamankan kursi birokrasi pada putaran berikutnya?