Kakek saya pernah bercerita bahwa dahulu, ketika musim paceklik datang, banyak warga kabupaten sebelah berdatangan untuk menjadi buruh pocokan di bidang pertanian di Trenggalek. Itu bisa jadi salah satu tanda bahwa kabupaten kita tercinta ini cenderung surplus di bidang ekonomi –yang ditopang oleh sektor agraria (baca: pertanian). Sekarang …?
Hanya dengan menengok kondisi keluarga kerabat dekat dan para tetangga di desa, saya dapat menyimpulkan bahwa cukup banyak warga desa yang harus meninggalkan kampung halaman untuk mendapatkan pekerjaan di luar wilayah Trenggalek. Ada yang hanya bergeser dari desa ke ibu kota kabupaten atau lebih bergeser lagi ke kabupaten sebelah untuk menjadi pekerja rumah tangga, penjaga toko, buruh pabrik, dan semacamnya –sebagian besar kelompok ini adalah perempuan, baik masih lajang maupun sudah berkeluarga. Alamat untuk mendapatkan pekerjaan lain di Pulau Jawa adalah Surabaya dan Jakarta. Ada pula –banyak laki-laki lajang maupun sudah berkeluarga—yang menyeberang ke pulau lain, sebagian besar ke Kalimantan, dan menjadi buruh perkebunan sawit. Ada cukup banyak pula perempuan asal Trenggalek –baik masih lajang maupun sudah bersuami dan beranak pula—yang mengadu nasib di luar negri, sebagian besar bekerja di sektor domestik, menjadi batur, rewang, alias pekerja rumah tangga.
Saya berharap, suatu saat kawan-kawan dari awak redaksi nggalek.co dapat meminta data yang rinci mengenai buruh asal Trenggalek seperti saya sebut itu—walau, sesungguhnya saya agak pesimis untuk dapat memperoleh data yang benar-benar akurat. Sebabnya adalah, untuk kelompok yang bekerja di luar negri, yang seharusnya tercatat dengan rapi pun masih banyak peluang hewes-hewes-nya, misalnya berkaitan dengan pemalsuan data: umur, asal, ijasah terakhir, dan bahkan nama! Itu yang berangkat melalui jalur resmi/legal. Padahal, masih ada lagi kategori keberangkatan ke luar negri secara illegal.
Buruh migran (baca: buruh asal Trenggalek di luar negri), terutama yang berangkat melalui jalur resmi cenderung terlindungi –setidaknya secara hukum—karena berada di bawah pengawasan Kementerian Tenaga Kerja dan kementerian Luar Negri. Apalagi, jika negara tujuannya seperti Hong Kong yang cukup bagus menerapkan peraturan-peraturan menyangkut tenaga kerja asing. Terkait perlindungan secara hukum terhadap para buruh kita, persoalan besarnya justru ada pada para buruh pocokan, pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negri –mengingat hingga kini justru kita sendiri belum memiliki UU khusus yang mengatur para buruh di sektor domestik. Mereka, para buruh rumah tangga itu hanya bekerja dengan imbalan sesuai kesepakatan kedua belah pihak (baca: tidak ada standar upah minimum yang dapat dikontrol), dengan jam kerja yang tidak jelas (bisa 24 jam per hari), tanpa asuransi, tanpa sistem perlindungan yang jelas/memadai.
Terutama buruh yang berstatus menikah/berkeluarga, mereka meninggalkan desa dan berpisah dengan suami/istri/anak untuk jangka waktu 3 bulan, 6 bulan. Para buruh migrant malahan biasanya punya kontrak 2 tahunan, dengan catatan diberi kelonggaran untuk ambil cuti setiap tahun –fasilitas yang setahu saya jarang mereka ambil. Salah satu konsekuensi terberat dari kondisi demikian ada pada perkembangan anak-anak yang ditinggalkan orangtua, salah satu atau keduanya. Seorang teman saya yang mengajar di sebuah SMP di Ponorogo berkali-kali mengatakan kepada saya bahwa anak-anak para buruh migran cenderung menjadi siswa ”berkebutuhan (bimbingan) khusus” di sekolah. Teman saya itu berasumsi, bahwa anak-anak para buruh migran itu mengalami problem psikologis akibat: (1) kurang sentuhan kasih-sayang secara langsung dari orangtua, (2) sangat tercukupi secara material (misalnya digambarkan dengan kepemilikan motor dan gajet model terkini), dan (3) rasa rendah diri akibat anggapan bahwa pekerjaan ibu sebagai ”TKW” adalah pekerjaan yang derajatnya rendah. Walau angka ”TKW” asal Trenggalek tidak sebanyak di Ponorogo, tentu masalah seperti dikemukakan teman saya itu ada pula di Trenggalek. [Saya berharap kawan-kawan yang bergelut di dunia akademik mau melakukan penelitian secara sungguh-sungguh di bidang ini, sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuni.]
Maka, kalau membuat Trenggalek lebih ”maju” masih susah, gradasi tantangannya untuk sementara dapat kita turunkan, bawalah ke kondisi seperti dikisahkan kakek saya itu. Maksudnya: bukan warga kita yang berbondong-bondong ke kabupaten sebelah untuk sekadar mendapatkan pekerjaan, melainkan warga kitalah yang mampu menampung warga kabupaten lain untuk mendapatkan pekerjaan dan upah layak di kabupaten yang: bumine loh jinawi, tanem tuwuh katon subur…. ini!
Belumlah dapat dikatakan bahwa negara benar-benar telah melindungi warganya jika ternyata masih banyak buruhnya berada dalam posisi teraniaya. Selamat Hari Buruh!