Tulisan lama berbahasa Jawa, yang untuk kepentingan kejar momentum Hari Bumi saya modifikasi dari sini.
Seingat saya, musim paceklik –susah cari makan sehingga banyak orang kelaparan—di Trenggalek terjadi pada tahun 1972. Saat itu, saya kelas 4 atau 5 sekolah dasar. Pasti banyak orang mengingat tahun itu. Tahun yang terbilang paling parah paceklik-nya. Paceklik yang tidak terlalu parah sebenarnya datang hampir tiap tahun, biasanya pada bulan-bulan Januari – Februari (yang dalam pranatamangsa disebut mangsa wolu atau musim ke-8, adalah masa terjauh atau di tengah-tengah musim panen yang lalu dengan yang akan datang).
Musim paceklik yang hampir menjadi ke-biasa-an itu juga disebut orang desa sebagai mangsa mbedeking (masa-masa sulit). Cukup gampang melihat tanda-tandanya, antara lain, jika ada rerasanan para tetangga bahwa sebuah atau beberapa keluarga tetangga sudah hampir sepekan cuma memasak jenang singkong. Lalu dimakan bersama sayur daun singkong. Untuk makan nasi thiwul pun susah, sebab agar jadi thiwul yang baik, singkong harus dijemur hingga kering, menjadi gebing atau gaplek. Mengapa sudah begitu tidak dimasukkan ke dalam kategori paceklik parah? Konon, ketika paceklik parah, seperti terjadi pada Zaman Jepang, bonggol batang pisang pun diolah jadi makanan. Yang masih diingat pula oleh para orang tua adalah paceklik terparah jauh sebelum Zaman Jepang, yaitu tahun 1918.
Tahun-tahun di sekitar 1975 itu masih terimbas paceklik yang berpokok pada 1972. Sebagai siswa sekolah dasar yang hampir menghabiskan sisa waktu di luar sekolah untuk ngarit dan bermain, tiap hari saya pergi ke hutan. Maka, gambaran situasi hutan, khususnya Lungursanten pada tahun-tahun itu masih sangat jelas terekam dalam ingatan saya.
Selain menyimpan aneka macam bahan sayuran, dari rebung bambu, daun sembukan, hingga pakis gelung, hutan ternyata juga menyimpan sumber karbohidrat: ubi dengan segala varietasnya: litbang (yang warna kulitnya merah), kontholbantheng, wilus, gembolo, gembili, dan lain-lain. Ketika ketela semakin langka, orang lapar pun kemudian menyerbu hutan. Akibatnya, hampir setiap jengkal tanah hutan dikeruk untuk memburu ubi. Lubang bekas galian pun jarang yang ditutup kembali. Saking besar dan dalamnya lubang, ada beberapa kejadian anak babi hutan terperosok ke dalam lubang dan tidak bisa mentas.
Lungursaten sebagai lahan yang sepertinya lebih subur daripada kawasan hutan lain di sekitarnya pun menjadi jujugan orang-orang berburu ubi. Lubang terbanyak sepertinya dibuat untuk mengambil/memanen uwi-lus, ini jenis ubi yang berisi umbi tunggal dari pokok batang rambatnya tumbuh lurus ke dalam tanah, makin ke dalam umbinya makin besar sampai di bagian ujungnya. Maka, jika mendapatkan umbi yang tumbuh hampir se-lengan saja di dekat permukaan tanah, itu di bagian dalamnya sampai ke ujung bisa sebesar paha. Seperti halnya mendapatkan emas jika menemukan yang sebesar itu di musim paceklik! Besar atau kecilnya ubi jenis ini sudah dapat diketahui dari seberapa besar batangnya. Makin besar batang, makin besar pula isinya.
Tetapi, mengambil uwi-lus memang memerlukan tenaga ekstra karena sifatnya yang tumbuh ke dalam tanah, berbeda dengan gembili atau gembolo yang akan menumpuk ubinya di sekitar permukaan tanah. Tetapi, untuk mendapatkan gembili atau gembolo tantangannya berbeda, yakni harus berhati-hati agar tidak terkena duri-duri yang masih menancap di batangnya maupun yang sudah berguguran di atas permukaan tanah.
Lungursanten hanya sekitar 3 – 4 km dari rumah saya, waktu itu, jalannya masih setapak, belum diperkeras dengan geragal atau beton seperti sekarang. Luas areanya tidak sampai ratusan hektar. Mungkin hanya puluhan hektar, atau tak seluas itu. Ia berada persis di pinggang bukit yang membujur dari Lemah Abang (dari arah Puncak Gunung Bogang). Lerengnya yang di sisi timur turun sampai kawasan Jurug, sedang di sisi baratnya hutan membentang hingga kawasan yang dinamai “Rata-rata” –karena ada sebidang lahan datar yang kira-kira cukup untuk lapangan bola. Di sebelah sana-nya adalah perkampungan penduduk, Dusun Banaran, Dusun Jati, keduanya masuk Desa Sawahan. Itu sudah wilayah Kecamatan Panggul. Sedangkan jika diikutkan wilayah administratif pemerintahan, Lungursanten ini masuk Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko.
Lungursanten sekarang sudah seperti pekarangan rumah karena sudah dikavling-kavling warga di bawah pengelolaan model LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Kini kita hanya dapat menyaksikan beberapa pokok pohon jati, tanaman pinus, ada pula pohon pucung, dan warga pengolah sepertinya sangat bernafsu untuk menyulapnya menjadi perkebunan cengkih.
Lungursanten 1975 masih berupa hutan tropis dengan aneka macam pepohonan dan hewan liarnya. Ada pohon jati, weru, mauni (mahoni), pule, bendho, tangkil, dan lain-lain. Pada Zaman Belanda, Lungursanten pernah dibuka untuk ditanami warga. Lalu ditutup lagi, dibuka lagi, sistem buka-tutup itu mungkin berbeda dengan sekarang yang seolah maunya dibuka terus itu.
Berdasarkan cerita para orang tua, banyak binatang menghuni Lungursanten, dari ayam alas (ayam hutan) kijang, ular, babi, kera, dan yang membuat Lungursanten selalu gembira waktu itu adalah keberadaan lutung (jenis kera berwarna hitam legam), yang seperti menghabiskan hidupnya hanya untuk bermain-main.
Sepertinya, makin hari akan makin banyak yang hanya dapat kita saksikan melalui dongengan. Paceklik larang pangan berhasil kita lewati, kini kita justru sedang dihantam oleh paceklik peradaban, sebab kita tidak dapat bersikap sebagaimana mestinya, di atas timbunan kekayaan alam anugerah Allah SWT. Dan kita akui atau tidak, dalam konteks ini, hampir kita semua akan masuk ke dalam kelompok: orang-orang yang tidak pandai bersyukur. Masya-Allah.
Sumber Gambar Sampul: Kompas