“Mbak, kenapa ya sekarang ini kok banyak TKW mengunggah video seronoknya di jejaring sosial?”
“Sampean ga tertarik coba ikut-ikutan gituh, mbak?”
Layaknya balita yang selalu penasaran dan aktif bertanya ini-itu, kemarin pagi gendhuk imut ujug-ujug bertanya kepada saya, saudari ketemu gedhenya, yang sedang menyandang status sebagai pembantu rumah tangga kaliber mancanegara. Istilah keminggris-nya kira-kira international maid, overseas domestic worker.
Sebelum menyodorkan jawaban sekenanya untuk pertanyaan kepo itu, saya kok menduga bahwa si gendhuk baru saja memelototi geolan mautnya Sri Utami atau yang terbaru adalah video lipsync TKW unyu pengulek secobek sambal yang konon cukup berbekal ulekan sambalnya inilah ia dipinang oleh sebuah dapur rekaman di ibu kota.
Adapun yang tengah menjadi buah bibir di kalangan netizen juweh akhir-akhir ini adalah video karaoke tembang dangdut Mandi Madu yang benar-benar dinyanyikan sembari bermandi basah dan mendesah live dari kamar mandi oleh perempuan semok berdaster hitam ketat. Ada lagi yang tak kalah menggelikan dari kancah perkaraokean Smule, adalah pertunjukan erotis yang dibintangi oleh si tante girang ber-lingerie hitam tembus pandang. Tante yang entah siapa gerangan nama panggungnya ini dikenal gemar bergoyang kayang, namun sayang babar pisan suaranya tiada merdu-merdunya berdendang.
Begini, ndhuk, ketahuilah mbakyumu ini tidak mempunyai tampang manis manja, tidak pula memiliki keinginan dan bakat terampil dalam menggoda kaum jejaka, papah muda hingga duda jaya. Kalaupun toh mbak nekat memaksakan diri mengikuti trend binal di kalangan asisten rumah tangga mancanegara ini, yang ada mbak malah di-bully dan di-poyok-i keroyokan oleh warga sekampung. Pem-bully-an ini bukan sebagai penghakiman sepihak, melainkan karena mbak meraup popularitas lewat jalan pintas.
Ketidakpantasan dan sensasi murahan itu sungguh katrok, pekok dan nggilani loh. Hanya orang kurang sehat yang masih menempuh cara-cara kampungan seperti itu. Demi mendulang euforia semusim untuk diabaikan selamanya. Begitu masyarakat kita yang sekiranya dibidik menjadi penikmatnya, ternyata malah sudah selangkah lebih maju dan pintar mengenali mana tontonan jalang; mana tontonan bersahaja.
Khusus perihal virus viral yang tengah liar menjalari perempuan-perempuan rantau hari ini—yang dengan percaya diri, mereka mengunggahkan video saru dan nyelenehnya itu—barangkali tak salah bila para pemirsa menangkap pemahaman bahwa ya memang sebatas kemolekan tubuh sajalah yang dipunyai seleb amatiran itu.
Sehingga sejauh lekuk dan liuk tubuhnya itulah yang mereka eksploitasi habis-habisan secara sadar, total dan sukarela di depan kamera ponsel kemudian memamerkan karya seni—yang demi apapun saya belum juga menjumpai pada menit ke berapakah letak nilai seninya terpampang nyata—itu dengan penuh kebanggaan. Akan lain ceritanya, seandainya sedikit saja perempuan-perempuan kreatif itu memiliki apa yang disebut dengan budi pekerti. Alih-alih bermimpi menjadi biduan hot dadakan, yang ada mereka bakal tak tahan menanggung wirang lantaran tak risih mempertontonkan kemunduran akal berikut kemerosotan moral, kutang, sampai cawet ngapret-nya di hadapan jutaan mata penghuni dunia maya yang sudah tak diragukan lagi kelihaian dan ketegaannya soal merangkai kata-kata hujatan yang tentu akan menyedihkan betul untuk dipanennya sendirian.
Semula sosok asisten rumah tangga tangkas memegang gagang sothil dan sapu. Tetapi semenjak geliat perkembangan teknologi yang tidak terbendung itu merangsek semakin dekat ke kehidupan manusia dengan ekonomi kelas bawah, para asisten rumah tangga pun tak luput dari daya cengkeram produk kapitalis kelas wahid ini. Mereka berbondong-bondong memborong perangkat telepon pintar, lalu pelan-pelan belajar menggunakan gagang tongsis dan berfoto narsis biar eksis. Ke-kagog-an akan pengalaman baru ber-smartphone ria itu mendorong mereka untuk lebih dalam mengeksplorasi apa saja yang bisa dijajaki via telepon pintarnya, terus kegiatan virtual apa saja yang bisa dilakukan bersamanya. Akhirnya, berkenalanlah mereka dengan berbagai aplikasi seru yang disediakan cuma-cuma oleh playstore.
Nah, salah satu aplikasi yang tengah naik daun di kalangan asisten rumah tangga saat ini adalah Smule. Sebuah aplikasi karaoke termutakhir yang mempertemukan kita dengan rekan duet dari seluruh penjuru dunia dalam satu layar ponsel pintar. Smule-lah yang membuat Zendee Rose, penyanyi amatir bersuara emas dari Filipina, mampir ke studio Ellen De Generous Show sampai mendapat kontrak kerja dengan label rekaman internasional. Ia mendunia berkat membuka suara seapik-apiknya, bukan membuka baju selebar-lebarnya. Smule membuat banyak masyarakat awam akhirnya familiar akan lagu-lagunya Jessie J. SIA dan Beyonce.
Tetapi di negara kita tercinta yang orang-orangnya kebanyakan terobsesi menjadi artis meski minim intelegensia dan lemah talenta bertarik suara, Smule ini bisa di-simsalabim-abracadabra daya gunanya menjadi ajang unjuk yang tak sekadar gigi, tetapi juga sekujur body yang diumbar sedemikian vulgar. Bahkan ada perempuan yang sok asyik karaokean sambil ber-indehoy. Sungguh merupakan tingkah polah sembrono sarat kebodohan khas manusia yang acuh tak acuh pada peranan nilai etika dan tata krama.
Tak pelak kecenderungan yang ngisin-ngisini, utamanya dari kalangan TKW, menjadi topik empuk bagi masyarakat pencela yang kesusu menggeneralisir image segenap buruh migran yang tersebar di banyak negara. “Ah dasar TKW itu norak, tidak berpendidikan dan jablay. Tidak ingat keluarga di rumah apa kok kelakuannya memalukan begitu…. Blah blah blah…” Saya sering membaca komentar-komentar seperti ini di media sosial, bahkan ada yang lebih parah lagi.
Saya hanya geleng-geleng dan tebah dhadha sembari berpikir, iyakah adaptasi dengan teknologi dan pergumulan dengan Smule yang tiba-tiba itu justru menekan ketajaman akal hingga nyaris cemet-gepeng dan tumpul? Ironisnya, yang menyembul ke permukaan adalah residu-residu ke-nggumun-an dan kekatrokan yang sebelumnya membeku kelu tak tersalurkan.
Jauh dalam palung hati saya, sebenarnya saya kepingin sih menyanyi baik-baik di Smule tanpa menggeol pinggul. Hitung-hitung menyumbangkan hiburan bagi kawan-kawan saya yang gemar menggunjingkan suara false dan ketidaksingkronan bahasa tubuh. Tetapi apalah daya saya? Saya hanyalah TKW sebatang kara yang tersangkut di portal nggalek.co. Di sana saya tidak difasilitasi pelatih vokal yang mumpuni, sebaliknya saya di-plekotho sedemikian rupa agar semakin hari semakin juweh dan nyinyiran saya kian membahana.