(bagian kedua dari tiga tulisan)
Revitalisasi gagasan Trisakti Soekarno oleh Presiden Joko Widodo yang dijabarkan dalam sembilan program ”Nawa Cita” sebagai jalan perubahan untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya, bukanlah sekadar jargon politik. Gagasan tersebut perlu diderivasikan secara praksis dalam berbagai kebijakan pemerintah, diikuti oleh pemerintah daerah dari propinsi hingga kabupaten/kota.
Meski begitu, rakyat harus tetap kritis. Sebab, pada saat dicetuskannya gagasan Trisakti kala itu, dilatar-belakangi oleh situasi sosial, politik dan kondisi makro ekonomi yang berbeda dengan sekarang. Tampaknya dibutuhkan sumber daya ekstra untuk melakukan jihad politik dalam mengimplementasikan Trisakti di tengah-tengah kepungan raksasa trinitas global: neoliberalisme, neokapitalisme dan neokolonialisme. Karena sebaik apapun gagasan kebijakan, mau tak mau akan berhadapan dengan kekuatan politik sebagaimana dikatakan Bruce C. Vladeck: ”The causes of polcy failure, at root, political.” Di sini kompetensi politik si pemegang jabatan memerlukan kemampuan strategi dan taktik handal untuk melakukan komunikasi politik sekaligus dalam melaksanakan berbagai kebijakannya.
Kesatuan gerak-langkah pemerintah beserta seluruh kekuatan elemen bangsa yang mendesak dilakukan adalah mensistematisasikan kinerja. Dengan lompatan-lompatan perubahan mendasar dan strategis, guna mewujudkan kehidupan rakyat yang maju, adil, makmur, bermartabat dan berdaulat. Dan usaha ke arah itu tentu tidak cukup sekadar dengan jargon verbalistik semacam ”kerja-kerja-kerja”. Karena kerja dalam stratifikasi aktivitas manusia ternyata menempati yang paling rendah sebagaimana diklasifikasikan oleh filosuf Jerman Hannah Arendt. Menurutnya aktivitas manusia itu dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni: labour (kerja), work (karya) dan action (aksi).
Memacu jalannya roda pemerintahan yang hanya menekankan kerja, justru akan membawa pemerintahan terjebak pada aktivitas yang memiliki kualitas terendah. Lebih jauh Arendt menegaskan bahwa kerja hanya mengandalkan kekuatan fisik, sedangan karya lebih mengedepankan kekuatan akal dan aksi memadukan potensi yang fisik dan akal manusia secara bersamaan. Maka pengelolaan kebijakan publik di bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan di era modenisasi dan pasar bebas yang senantiasa berubah begitu cepat, menuntut adanya kolaborasi antara kerja , karya dan aksi secara seimbang. Demikian halnya reformasi birokrasi juga tidak cukup hanya melakukan perubahan style fashion putih-hitam atau sidak bersepeda dengan pakaian ala Bung Karno, dan menampilkan kemesraan Bupati-Wakil Bupati yang selalu hadir berdua didampingi istri masing-masing dalam setiap kegiatan. Tetapi lebih jauh dari itu semua adalah bagaimana cara menyelesaikan problematika terbesar bangsa seputar isu kemiskinan, keterbelakangan dan moral hazard bangsa yang terkoyak serta kian jauhnya ”pemimpin” dari core issues yang diusung oleh gagasan Trisakti Bung Karno.
Secara hierarkis-struktural, Pemerintah Kabupaten Trenggalek pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari pemerintah pusat dan pemerintahan propinsi. Semua kebijakan dan program kabupaten merupakan mata rantai yang saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Meskipun—selama tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat—pemerintah daerah juga diberikan ruang untuk menumbuhkan inisiasi lokal bagi penguatan otonomi. Missing link antara program kebijakan pusat dan kebijakan daerah seringkali terjadi karena tidak adanya singkronisasi antara RPJPN-RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional-Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah), dan RPJMN-RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional-Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Belum lagi kalau dicermati dari sisi KUA (Kebijakan Umum Anggaran) yang kemudian di-break down menjadi APBD, di sana-sini masih terdapat ruang-ruang yang menuntut penyempurnaan. Namun, apabila persoalan ini tidak cepat terselesaikan, dikhawatirkan akan terjadi disparitas program pembangunan antardaerah.
Momentum MUSRENBANG (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Trenggalek pada hari Kamis, 24 Maret 2016 lalu, adalah even yang sangat penting bagi penyusunan dokumen RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) tahun 2017 supaya lebih baik. Acara yang diselenggarakan di Hall Majapahit Hotel Hayam Wuruk tersebut merupakan tindak lanjut dari MUSRENBANG di 152 desa dan 5 kelurahan pada bulan Januari 2016. MUSRENBANG di 14 kecamatan pada bulan Februari 2016 dan dilanjut dalam Forum SKPD. Ritual perencanaan tahunan Bappeda yang melibatkan + 500 peserta dari berbagai kalangan itu, secara kuantitas patut diapresiasi. Tetapi dari sisi kualitas, amat layak dipertanyakan: sejauh mana komitmen Pemerintah Kabupaten Trenggalek dalam membangun participatory planning berbasis masyarakat?
Rangkaian agenda kegiatan yang diformat selama dua hari itu, pada hari pertama lebih banyak didominasi kontes pidato seremonial pejabat sejak dari Kepala Bappeda, Bupati, dan Ketua DPRD Trenggalek, dilanjut sambutan Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur. Sementara sesi diskusi untuk merumuskan grand design rencana kerja pemerintah setahun ke depan hanya dialokasikan dalam waktu terbatas yang malah lebih terkesan sebagai aksesoris saja. Terdesaknya ruang dialog oleh acara seremonial yang disisipi pentas menari, menyanyi dan penyerahan penghargaan kepada para camat menunjukkan bahwa MUSRENBANG kali ini belum beranjak dari pola-pola rutinitas sebagaimana pemerintah terdahulu: yang lebih berorientasi pada project oriented bukan program oriented.
Bahkan agenda inti hari kedua pada sesi sidang kelompok untuk memverifikasi renja SKPD tahun 2017, justru diwarnai aroma eksklusif dan tidak memberikan ruang bagi masyarakat di luar SKPD. Padahal seharusnya, sesi sidang-sidang kelompok di bidang ekonomi, bidang sosial budaya dan pemerintahan, serta bidang fisik dan prasarana inilah mestinya ruang participatory dibuka lebar untuk mendialogkan kebutuhan real dan skala prioritas pembangunan.
Singkronisasi dan penajaman konsep RKPD Trenggalek 2017 melalui diskusi intensif sangat urgen sebelum ditetapkan menjadi peraturan bupati. Karena RKPD 2017 adalah RKPD pertama hasil besutan pasangan Dr. Emil Elestianto, MSc – H. Mochammad Nur Arifin, dalam kepemimpinan daerah untuk RPJMD Trenggalek periode 2016-2021. Karena itu, penyusunannya tidak bisa meninggalkan dokumen RPJPD Trenggalek tahun 2005-2025, RPJMD Propinsi Jawa Timur 2014-2019, dan RPJMN 2015-2019. Persoalan ini membutuhkan pemikiran yang cermat dan obyektif dengan mengkaji lebih detail dari sudut pandang berbeda. Artinya MUSRENBANG dengan thema “Penguatan Daya Saing Daerah dan Pembangunan Desa Yang Berkualitas Dalam Rangka Kemajuan Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan”, harus benar-benar mampu mengubah mind set birokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Kecenderungan pola pikir birokrasi yang terbiasa menggunakan pendekatan top down masih sangat kental mewarnai MUSRENBANG tahun 2016 itu. Praktiknya, pelibatan masyarakat dalam jumlah yang besar lebih bersifat mobilisasi dan belum sampai pada tingkat membuka ruang partisipasi. Kondisi demikian akan menempatkan rakyat dalam posisi sebagai obyek pembangunan dan subordinasi dari sebuah rejim pemerintahan yang sedang berkuasa. Pada gilirannya, akses lapisan akar rumput (grass root) untuk turut serta menjadi subyek pembangunan semakin jauh. Kehadiran negara yang diharapkan menjadi tenda bangsa untuk mengayomi seluruh kepentingan masyarakat, justru berubah peran menjadi aktor dominan dan regimentatif. Akibatnya, negara tetap menjadi mesin pembangunan yang selalu hadir di mana-mana dan menentukan segala-galanya hanya demi mengejar target.
Dominasi peran pemerintah tecermin dari target pemerintah yang hanya memberikan prioritas 3 bidang kebijakan pembangunan yang akan direalisasikan dalam RKPD 2017, yaitu: 1). Pelayanan dasar yang prima, 2). Penguatan daya saing ekonomi daerah, dan 3). Mewujudkan kesejahteraan sosial. Adapun kebutuhan dana indikatif belanja langsung dipatok dari alokasi pembiayaan yang bersumber dari APBD Trenggalek, APBD Jatim dan APBN. Dari Total dana indikatif belanja langsung tersebut, alokasinya didominasi oleh pembangunan proyek-proyek fisik seperti yang akan pergunakan program Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum Perumahan, Permukiman dan Kebersihan , RSUD dr. Soetomo, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan. Sementara alokasi dana indikatif untuk program pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat porsinya masih sangat minim, kalau tidak boleh dibilang nol. Kalaupun dibuka, ternyata ruang fiscal untuk alokasi dana pembangunan porsinya masih sangat sedikit, bila dibanding alokasi biaya pegawai. Maka, impian memiliki infrastruktur layanan publik yang memadai di Trenggalek hanya akan menjadi isapan jembol ketika ruang fiscal tidak beranjak naik dari tahun ke tahun.
Untuk mendobrak kondisi ini dibutuhkan seorang pemimpin visioner yang mampu melakukan lompatan pemikiran out of the box. Dan dalam konteks ini, seorang bupati diharapkan menjadi seorang leader yang mampu melakukan sinergi dan dialektika kebijakan yang berbasis visibility planning. Karenanya, pasangan Bupati dan Wakil Bupati Trenggalek terpilih, dituntut cepat dan bergegas untuk membumikan rumusan Visi-Missinya dengan memperhatikan kaidah-kaidah strategic planning.
Dalam konteks ini, karena Visi-Misi pasangan Calon Bupati-Wakil Bupati terpilih menjadi dokumen resmi dalam perencanaan yang dituangkan dalam RPJMD 2016-2021, maka akan dibawa ke mana Trenggalek lima tahun ke depan sangat tergantung pada formulasi perencanaan jangka menengah tersebut. Belum terselesaikannya proses penyusunan RPJMD hingga memasuki bulan keempat masa kepemimpinan Bupati Trenggalek terpilih, membuat penulis dihantui berlakunya teori public policy dan public management yang menegaskan bahwa “fail to plant, plant to fail” (gagal menyusun perencanaan berarti merencanakan kegagalan).
Kegelisahan ini cukup beralasan, karena dalam forum konsultasi publik RPJMD Trenggalek pada 15 April 2016 lalu, duet paparan bupati bersama wakil bupati belum memberikan gambaran kongkrit dan konsepsional yang tertuang dalam draf rencana kebijakan pemerintahannya lima tahun ke depan. Peserta hanya disuguhi untaian verbalistik yang abstrak terhadap kebijakan macro economic development tanpa mendiskripsikan skala prioritas, indikator capaian kinerja dan ruang fiscal yang ada. Konsultasi publik yang mestinya memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada publik untuk mencermati dan mengkritisi draf RPJMD, nampak hanya lebih mengedepankan formalitas-seremonial bernuansa feodal dan kurang serius, apalagi alokasi waktu untuk diskusi hanya sedikit.
Secara kronologis, rancang-bangun kebijakan Trenggalek ke depan sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari rumusan visi-misi bupati-wakil bupati terpilih. Legitimasi yuridisnya mengacu pada ketentuan pasal 45 ayat 2 huruf n UU Nomor 8 Tahun 2015, bahwa pendaftaran paslon bupati dan wakil bupati harus menyampaikan dokumen persyaratan naskah visi calon bupati dan wakil bupati. Hal ini dijabarkan secara teknis diatur dalam PKPU Nomor 9 2015 sebagaimana telah diubah pada PKPU Nomor 12 tahun 2015 pasal 42 ayat 1 huruf s, bahwa naskah visi, misi dan program pasangan calon mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah yang ditandatangani pasangan calon; dan Pasal 43 ayat 1 huruf d: surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan visi, misi, dan program pasangan calon sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah, ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau gabungan partai politik menggunakan formulir model B.4-KWK Parpol.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, pasangan Bupati-Wakil Bupati Trenggalek terpilih Dr. Emil Elestianto, MSc – Mochammad Nur Arifin mengusung VISI: “Terwujudnya Kabupaten Trenggalek yang maju, adil, sejahtera, berkepribadian berlandaskan iman dan takwa”. Sedangkan RPJP Kabupaten Trenggalek 2005-2025 sebagaimana telah diatur dalam Perda Kabupaten Trenggalek Nomor 10 tahun 2010 adalah: “Terwujudnya Kabupaten Trenggalek Sejahtera dan Berakhlak”.
Sementara itu RPJP Propinsi Jatim 2005-2025 sebagaimana telah diatur dalam Perda Propinsi Jatim Nomor 1 Tahun 2009 adalah: “Pusat Agrobisnis Terkemuka, Berdaya Saing Global dan Berkelanjutan Menuju Jatim Makmur dan Berakhlak”. Adapun RPJPN 2005-2025 sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 adalah: “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”.
RPJMD sebagai rencana kebijakan pembangunan jangka menengah pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari RPJM – RPJP Propinsi Jawa Timur dan RPJM-RPJP Nasional. Sehingga dalam proses perumusannya membutuhkan pemahaman terhadap kaidah-kaidah strategic planning dan mempertimbangkan kondisi kebijakan secara makro maupun mikro. Berangkat dari rumusan visi tersebut, dengan menggunakan sudut pandang manajemen, dikenal adanya fungsi-fungsi yang harus dijalankan, yaitu “POAC”: Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Actuating atau leading (menggerakkan atau memimpin), dan Controlling (pengendalian). Jika digambarkan dalam sebuah siklus, perencanaan merupakan langkah pertama dari keseluruhan proses manajemen. Sedangkan visi merupakan salah satu point penting dalam rencana strategis pemerintahan yang mencerminkan sebuah gambaran ke arah mana kebijakan Trenggalek ke depan diarahkan.
Teori Bul Penyami (BAB-PT, 1997), menegaskan bahwa perubahan (managing change) bisa terjadi dengan sempurna apabila ada 6 unsur dapat dipenuhi, yakni (Visi, Misi, Skill, Insentif, Sumber Daya dan Rencana Kerja). Salah satu unsur saja tidak terpenuhi, maka perubahan tidak akan bisa terwujud. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Begitu pentingnya keberadaan visi dalam sebuah pemerintahan, maka visi harus dirumuskan secara cermat dan didukung validitas data yang mencerminkan kebutuhan real yang dikehendaki stake holder, bukan apa yang dikehendaki personal pemimpin. Agenda besar terpenting berikutnya terkait dengan visi-misi dan program suatu pemerintahan adalah mendorong partisipasi aktif seluruh kelompok berkepentingan agar meleburkan visi kelompoknya menjadi sebuah visi bersama yang menggambarkan harapan semua rakyat dalam sebuah negara. Preliminary study atas kelayakan visi seorang pemimpin sebelum dijalankan dalam gelanggang pemerintahan perlu dideteksi secara dini kemungkinan kendala-kendala yang dihadapi bagi keberhasilan program kerjanya.
Ada tiga syarat utama bagi pemimpin agar dapat menjalankan kepemimpinannya, pertama, kompetensi, yaitu kemampuan seorang pemimpin untuk membuat prestasi dalam mengemban tugas yang dibebankan. Kedua integritas, yakni berkaitan eran dengan komitmen moral pemimpin. Di mana kompetensi tanpa dukungan moral integritas, maka seseorang pemimpin mudah terjatuh pada tindakan yang merendahkan martabat dirinya, sehingga akan ditinggalkan oleh mitra kerja, bawahan, dan para pendukungnya. Sedangkan yang ketiga adalah visi, yaitu the Statement of ideas and hopes. Tanpa visi ke depan, seorang pemimpin akan jatuh pada pragmatisme sesaat dan menjadikan sebuah lembaga bisa termarginalisasikan dalam persaingan. Dengan kata lain, visi merupakan motor penggerak organisasi yang mempersatukan seluruh jajaran untuk mencapai tujuan dan sekaligus sebagai alat pengendali yang membuat seluruh jajaran terfokus padanya.
Dalam perspektif ini, perumusan visi yang baik secara sederhana dapat diukur dengan menggunakan akronim “SMART”, yaitu: Specific (Spesifik), Measurable (Terukur), Attainable (dapat dicapai), Realistic (Realistis), Timely (Tepat Waktu). Di samping itu, akronim VISI seringkali juga memiliki makna, V-I-S-I: Visualisasikan impian anda, Inisiasikan rencananya, Sebarkan kepada orang lain, Implementasikan perencanaannya.
Atas dasar penjelasan di atas, untuk mengetahui apakah seorang pemimpin memiliki kompetensi atau tidak, dapat dicermati dari rumusan visi-misi dan program kerjanya. Semakin berkualitas visinya akan dapat digunakan sebagai parameter untuk melihat sejauh mana kompetensi kepemimpinannya. Pemimpin visioner pasti menjadikan visi sebagai pijakan dasar dalam melakukan kebijakan kinerja kepemimpinannya. Sehingga pemimpin tidak cukup hanya berbekal modal politik dan ekonomi, lebih dari itu juga harus memiliki basis sosio-kultural dan intelektual yang kualified. Rakyat sudah semakin cerdas, mereka butuh pemimpin yang mengayomi, mampu mengemban amanah dan senantiasa hadir di tengah-tengah rakyat ketika dibutuhkan.
Sementara itu pada saat yang sama, sebagus apapun visi, misi, program dan personality seseorang tidak bisa menjamin akan terpilih menjadi pemimpin. Ada faktor-faktor lain di luar kecakapan pemimpin yang belum terselesaikan. Seperti masalah politik transaksional, pemilih irasional dan pragmentasi politik akibat tidak berjalannya sistem pendidikan politik. Idealnya, parpol membuka seluas luasnya rekruitmen kader yang akan dipersiapkan menjadi pemimpin dalam jabatan politik melalui proses yang berjenjang, terstruktur dan berkelanjutan.
Faktanya, yang terjadi justru sebaliknya, pendidikan politik tidak berjalan dan internalnya banyak disibukkan intrik politik dengan masalah rebutan posisi dan saling mengeliminasi. Indikator sederhananya adalah tidak adanya korelasi signifikan hasil perolehan suara parpol. Di antara pemilu legislatif-pilpres-pilgub dan pilbub menunjukkan bahwa basis pendukung parpol lebih banyak didominasi oleh floating mass. Penulis sepenuhnya yakin jika parpol konsisten melakukan fungsinya dalam melakukan pendidikan politik, basis konstituennya pasti menjadi pemilih rasional dan ideologis. Pada gilirannya akan terjadi proses sirkulasi politik yang bersih, santun dan cerdas.