Fatsoen Politik dan Partisipasi Rakyat: Aset Berharga Pembangunan

(bagian terakhir dari tiga tulisan)

Seiring dengan hukum perubahan, semua orang bersepakat bahwa kehidupan sosial tidaklah statis, tetapi selalu berubah secara dinamis. Meski, tidak semua orang mampu menangkap setiap gejala perubahan untuk menjadi pelajaran dan mengambil langkah-langkah antisipatif agar tidak ter-libas oleh perubahan. Zaman sudah berubah, begitu pula kran demokrasi kian terbuka lebar untuk memberikan kesempatan bagi kebangkitan masyarakat sipil berpartisipasi dalam membangun kebijakan publik yang transparan dan akuntabel. Di sinilah demokrasi participatory memiliki momentum, ketika masyarakat sudah terlibat aktif dalam mengambil peran sosial-politiknya. Partisipasi politik yang dimaksud bukan hanya sebatas partisipasi semu, berupa mobilisasi politik pada saat even politik, melainkan partisipasi politik yang benar-benar memberdayakan basis konstituen politik untuk dipersiapkan menjadi aktivis politik yang benar-benar memiliki komitmen kerakyatan dan kebangsaan.

Tantangan terberat bagi parpol adalah membangun karakter politik yang memiliki kepribadian tangguh, salah satunya dengan mengedepankan etika (fatsoen) dan estetika politik. Sebuah performa personality politisi yang memiliki ideologi politik sebagai hasil dari proses pendidikan politik. Memang personality juga banyak dipengaruhi oleh realitas dan pengalaman politik yang mengelilinginya. Tetapi partai politiklah pihak yang paling bertanggung jawab apabila para politisi kita, maqom-nya sekadar berhenti pada tingkat terendah: yakni sekadar menjadi pekerja politik dan belum meningkat menjadi politisi-negarawan.

Politik memang memiliki dunia sendiri, yang di dalamnya sarat dengan berbagai kepentingan. Meski, terkadang bertentangan dengan akal sehat dan nurani kemanusiaan. Intelektual besar Mesir, Muhammad Abduh, pernah berkata, “Audzubillah min al-siyasah wa al-siyasiyyin” (Saya berlindung dari godaan politik dan kaum politisi). Hal senada juga pernah diungkapkan Prof.Dr. A. Dahlan Ranuwihardjo bahwa: “Politik tanpa ideologi adalah oportunis, politik tanpa organisasi avounturis, lagi tanpa strategi namanya ngawur dan nekat. Tinggal pilih yang mana, apakah akan menjadi politisi yang oportunis; avounturis atau politisi yang ngawur dan nekat. Semua tergantung pada jati diri kita masing-masing yang terbentuk melalui proses pendidikan yang panjang.

Dalam khasanah demokrasi modern, kekuasaan diperoleh dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya rakyat merupakan pemegang kedaulatan penuh bagi terselenggaranya tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance). Meskipun realitanya, kedaulatan itu seringkali dibajak oleh segelintir elit untuk kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengatasnamakan rakyat. Kita berharap agar kedaulatan rakyat bisa terwujud melalui kebijakan-kebijakan yang meningkatkan derajat partisipasi rakyat.

Suksesi kepemimpinan kepala daerah di Trenggalek tahun 2015 adalah waktu yang tepat melakukan refleksi dan aksi konkrit untuk mengembalikan arah demokrasi daerah yang penuh keteladanan dan berkeadilan, untuk menuai masa depan Indonesia yang berperadaban. Dalam pandangan Taylor (1966), komitmen demokrasi daerah harus memenuhi empat ciri dasar yang menjadi pokok dalam pertumbuhan dengan model masyarakat demokratis, yakni open-class society, communicative society, mass consumption society, dan pluralist society.

Open-class society adalah masyarakat terbuka tanpa kelas dan sekat-sekat kesenjangan sosial akibat globalisasi dunia yang makin kompleks. Agenda serius bupati terpilih dalam pengembangan demokrasi di daerah, harus mampu membuka segala ruang kehidupan. Jika kebekuan dan sumpeknya tatanan masyarakat global tidak segera diurai, pilkada hanya akan menjadi ritual demokrasi prosedural lima tahunan, yang tidak bisa membawa perubahan berarti kecuali hanya meneguhkan kembali kekuasaan seorang bupati. Seiring dengan hukum perubahan, semua orang bersepakat bahwa kehidupan sosial tidaklah statis, melainkan selalu berubah secara dinamis. Akan tetapi, tidak semua orang mampu mengantisipasi perubahan sosial (transformasi social) yang maha dahsyat.

Karenanya, demokrasi membutuhkan communicative society atau masyarakat komunikatif, yakni suatu kondisi masyarakat yang melek teknologi dan informasi. Situasi ini mendorong pemimpin untuk tidak tinggal diam, mesti cepat bergegas untuk melakukan IEC (Information Education Campagne) terhadap keanekaragaman budaya modern yang berkembang, agar tidak terjadi gagap budaya, gagap spiritual, gagap kejiwaan, dan gagap multidimensional lainnya. Sebagaimana telah disinyalir Alvin Toffler, bahwa derasnya laju perkembangan teknologi informasi pada hakikatnya merupakan arena pertarungan rasio manusia dari berbagai belahan dunia, regional, lokal bahkan hingga ke tingkat pedesaan. Siapa yang dapat menguasai teknologi informasi dan berwawasan “think globally act locally”, dialah yang akan memenangkan pertarungan dalam merebut posisi kepemimpinan.

Terbukanya arus informasi yang menjadi basis kesadaran berdemokrasi sangat berkorelasi positif dengan mass consumption society, yaitu kesempatan membangun kekuatan sosial ekonomi yang tangguh. Pemimpin daerah ke depan memerlukan daya berpikir dan sikap kritis dalam menghadapi masa depan, khususnya menyangkut masalah basis ekonomi pedesaan yang masih terbelakang. Kemampuan membangun masyarakat terbuka yang kaya dengan pengetahuan dan informasi, akan mampu menciptakan bangunan ekonomi kuat, yang kelak bisa memprediksi pasar. Kompetensi kemampuan pemimpin seperti itu yang dibutuhkan di daerah, agar stabilitas ekonomi dapat terjaga, dan dengan sendirinya kesenjangan pertumbuhan ekonomi pedesaan akan terus meningkat.

Adapun untuk menjaga equilibrium di segala lini kehidupan masyarakat daerah, perlu dibangkitkan semangat pluralist society, masyarakat pluralis yang menghargai segala bentuk keanekaragaman budaya, kreativitas dan karya orang lain. Jangan sampai tingginya kekuatan ekonomi hanya membangkitkan sentimen dan stratifikasi sosial yang berujung pada kesenjangan sosial. Justru dengan pluralist society, diharapkan memperkaya keragaman kreasi dan inovasi penting yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dalam skala regional, nasional maupun global.

Terbangunnya sistem demokrasi yang kuat, dibarengi tatanan politik yang mengedepankan etika dan estetika, membawa politik terlihat indah dan menggairahkan. Dunia politik tidak terlihat kejam dan bengis, karena politik pada dasarnya adalah arena kompetisi secara sportif untuk memperebutkan kekuasaan secara damai dan penuh kesantunan. Bukan seperti yang terjadi dalam konstalasi politik selama ini. Di mana politik identik dengan intrik, keculasan dan kekuasaan an sich. Kalau sudah menyangkut kepentingan politik dan kekuasaan, biasanya cara apapun akan ditempuh tanpa mengindahkan nilai-nilai keindahan, kebaikan dan kebenaran.

Demokrasi yang telah menjadi jalan pilihan di Republik ini harus diakui telah melahirkan keterbukaan yang luar biasa. Demokrasi mampu menjebol tembok dan membuka ruang terhadap sesuatu yang dulunya tidak mungkin menjadi mungkin. Karena demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan di atas mayoritas. Siapapun dia tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, politik, ideologi dan kapabelitasnya, selama mendapat dukungan mayoritas dialah yang akan keluar menjadi pemenang. Kompetisi perebutan kekuasaan di alam demokrasi terbuka sangat dinamis dan memungkinkan seorang gila dan preman sekalipun untuk menang apabila mayoritas rakyat memang menentukan pilihan padanya.

’Siapa saja’ bisa menjadi ’apa saja’. Seorang Jokowi yang sipil, pengusaha mebel tak terlalu kaya, bukan pimpinan parpol, bisa membangun karier politik sebagai wali kota dan kemudian meloncat sebagai gubernur dan presiden. Anugerah demokrasi telah membuka ruang kebebasan bagi ’siapa saja’ bisa bicara ’apa saja’. Kini, demonstrasi bukan lagi menjadi barang mewah yang dimonopoli mahasiswa. Karena anak TK saja bisa demonstrasi (dan karena itu mahasiswa seolah kehilangan salah satu panggungnya). Satu hal yang tak mungkin didapati pada zaman Orde Baru.

Itu hanya sekilas gambaran demokrasi yang telah melahirkan kebebasan produktif bagi pembangunan masa depan. Kiranya tepatlah apa yang di katakan Amartya Sen—pemenang nobel ekonomi dari India—bahwa “freedom as development, development as freedom.” Kebebasan adalah untuk pembangunan dan pembangunan adalah untuk kebebasan. Negara memberikan kebebasan warganya agar mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Cuma, kebebasan dalam demokrasi sering memakan induknya sendiri. Atas nama demokrasi, orang bisa berbuat apa saja. Karenanya kebebasan dalam demokrasi akan terbatas ketika berhadapan dengan hak orang lain. Artinya, demokrasi membutuhkan aturan main yang jelas agar tidak terjadi benturan antara hak satu dengan hak yang lain. Sebagai sebuah sistem, demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Ada dimensi lain yang saling terkait untuk bisa menjamin keberlangsungan demokrasi. Dimensi tersebut adalah social clauses (pasal-pasal sosial) yang telah menjadi kesepakatan global dalam pola hubungan antarumat manusia, antarbangsa dan antarnegara yaitu: demokrasi, HAM, Standardisasi, lingkungan hidup, HAKI (Hak Atas Karya Intelektual) dan good and clean governance.

Pasal-pasal sosial tersebut tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Di mana demokrasi harus memperhatikan HAM, standardisasi, lingkungan hidup, HAKI, dan good and clean governence. Meniadakan salah satu darinya, akan menimbulkan dis-harmoni di tengah-tengah masyarakat, dan pada gilirannya keteraturan sistem sosial akan terganggu. Dalam scoup yang lebih luas, pelanggaran terhadap pasal-pasal sosial tersebut akan berdampak pada pemberian sangsi terhadap suatu negara. Bentuk hukumannya akan diberlakukan dalam bentuk sangsi ekonomi.

Jelasnya, negara tersebut akan distigmatisasi sebagai negara yang tidak patuh pada norma sosial, maka harus dihukum, diisolasi, atau diembargo. Sehingga dalam hubungan bilateral maupun multilateral count rate-nya akan dinaikkan; dikenai kuota pengiriman barang yang ketat; dikenai suku bunga pinjaman yang tinggi; dan dikenakan biaya masuk penjualan barang yang tinggi. Ini adalah fenomena internasional yang kita tidak bisa lagi mengelak bahwa ini urusan dalam negeri. Ketika negeri kita membutuhkan sumber daya internasional, mau tidak mau harus patuh pada ketentuan tersebut.

Fenomena globalisasi dunia yang kian menyempit dan tanpa batas, melahirkan imperialisme budaya yang dapat mendegradasi nilai-nilai luhur budaya bangsa. Negara demokrasi berkewajiban membangun peradaban politik yang menjaga etika pergaulan antarbangsa. Kegagalan melembagakan demokrasi, atau paling tidak ketiadaan orientasi ide untuk menuntun pelembagaan itu, membawa kecemasan politik bagi mereka yang berkehendak mewujudkan suatu masyarakat terbuka. Ruang politik yang kini membesar justru lebih terasa dihuni pekerja-pekerja politik yang tidak memiliki orientasi dan ideologi perjuangan yang jelas. Kini saatnya bergegas melembagakan demokrasi yang bermartabat ditopang dengan kepemimpinan politik dan birokrasi yang kuat untuk melakukan counter culture terhadap masuknya budaya luar yang bertolak belakang dengan kepribadian kita.

Masyarakat (baca: rakyat) selain sebagai assets juga merupakan liabilities yang harus diberdayakan dalam konteks pembangunan. Agar pembangunan menjadi suatu proses yang dinamis atas kekuatan sendiri (self sustaining process) sangat diperlukan adanya proses emansipasi diri (inner will process). Sebab suatu partisipasi kreatif dalam proses pembangunan hanya menjadi mungkin apabila pendewasaan dalam dimensi substantif (pemberdayaan potensi dasar pembangunan), senantiasa diupayakan. Pemberdayaan potensi dasar tersebut erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada monitoring dan evaluasinya.

Sejarah telah membuktikan bahwa strategi dan kebijakan pembangunan Orde Baru yang menempuh jalur top down hanya memposisikan rakyat sebagai obyek yang semakin termarginalkan dan meniadakan akses lapisan akar rumput (grassroots) terhadap pembangunan. Sehingga peran negara menjadi sangat dominan dan regimentatif. Negara menjadi mesin pembangunan dan aktor yang hadir di mana-mana untuk menentukan segala-galanya demi mengejar target.

Untuk mewujudkan tatanan sosial yang kondusif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, pembangunan harus menempatkan rakyat sebagai subyek (pemeran pembangunan) bukan hanya sebagai obyek yang tak ternilai. Pembangunan harus ditumbuhkan dari bawah (bottom up) dan rakyat harus dipercaya bahwa mereka mampu untuk mendefinisikan kebutuhan dan harapan-harapannya. Melalui kecenderungan ini, pembangunan bukan hanya sekadar mengejar target, sehingga tidak mengindahkan proses. Akan tetapi pembangunan harus lebih menekankan pada proses supaya tidak terjadi kontradiksi dengan tujuannya.

Dalam pada itu, konsep community based development (pembangunan berbasis masyarakat) harus secepatnya direalisasikan, bukan hanya sekadar slogan kalau tidak menginginkan pembangunan justru menjadi beban. Teori-teori dan konsep empowerment, participatory dan upaya-upaya yang mendorong berjalannya mekanisme check and balances sudah sangat mendesak untuk diderivasikan secara praksis di dalam setiap program pembangunan. Menempatkan participatory masyarakat sejak dari perumusan konsep pembangunan inilah akan lahir keberdayaan, dan kemandirian atau apa yang kita pahami sebagai proses perubahan.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan itu penting. Sering kita jumpai kegagalan pembangunan disebabkan justru tidak adanya partisipasi. Mangkraknya proyek pemerintah daerah yang didanai APBD di beberapa tempat, seperti pemandian Tapan Desa Kerjo, per-pipa-an di Dusun Ketro Desa Dukuh, proyek pembangunan ruko di kawasan wisata Pantai Prigi Watulimo, Percetakan BUMD di Karangsoko, jalan lingkar segi tiga emas dan terminal Durenan, adalah sederet contoh yang dapat kita saksiskan betapa lemahnya keterlibatan rakyat dalam pembangunan. Meskipun ungkapan macam “partisipasi adalah kunci utama yang menentukan keberhasilan proses pembangunan”, lebih sering diucapkan dalam bentuk retorika dan pidato para pejabat publik dan politisi yang mencari simpati dukungan ketimbang dipraktikkan.

Rakyat sudah terbiasa mendengar slogan pembangunan berpusat pada masyarakat (people centered development) atau slogan partisipasi dari rakyat (popular participation). Tetapi slogan-slogan tersebut memang sengaja digagas oleh para ahli dan professional cuma untuk mengegolkan sebuah proyek yang mereka perjuangkan. Apabila dicermati secara kritis, ternyata apa yang terjadi? Ada something wrong dalam pemahaman kita tentang partisipasi tersebut. Keterlibatan rakyat sebagai stakeholder utama pembangunan, belum sampai pada tingkat partisipasi, melainkan masih terbatas pada tahap mobilisasi. Rakyat hanya dijadikan target group dari sebuah proyek, mereka hanya dilibatkan pada fase akhir dari sebuah pembangunan, yakni pada pelaksanaanya saja. Mereka tidak pernah diajak bicara pada fase awalnya, sehingga mereka sama sekali tidak tahu bagaimana sebuah perencanaan pembangunan bisa dibuat.

Adalah sebuah fakta historis bahwa sebuah program pembangunan atau proyek dapat berhasil secara efektif, efisien dan ekonomis apabila semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan juga dilibatkan dalam perencanaannya, bahkan sampai pada monitoring dan evaluasinya. Karena adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan sejak dari perencanaan, maka pemahaman mereka terhadap konsep, tujuan dan komitmen mereka dalam pembangunan akan semakin meningkat.

Abraham Lincoln pernah mengatakan bahwa ”kalau saya diberi waktu 9 jam untuk menebang pohon, maka saya akan menggunakan 6 jam untuk mengasah kapak.” Ini artinya betapa penting perencanaan dalam sebuah pembangunan, dengan membuat perencanaan yang baik berarti separuh pekerjaan sudah kita selesaikan. Pastinya dengan perencanaan yang jelek dan meniadakan peran rakyat pada tingkat ini, dapat dijamin program pembangunan sebaik apapun akan amburadul dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan real masyarakat.

Artikel Baru

Artikel Terkait