Media sosial adalah medan tempat menggiring perang wacana. Dalam babakan politik elektoral misalnya, media sosial dominan digunakan masyarakat Indonesia untuk berperang wacana “golput”, atau polarisasi “cebong” dan “kampret”. Kini, dan yang sedang hangat, adalah perdebatan dan klaim kemenangan antar-kubu. Jauh sebelum itu, dinamika politik sudah demikian mengasyikan untuk diikuti, sekalipun kita tidak sedang terlibat langsung dalam politik praktis.
Hal ini minimal mengindikasi bahwa kebijakan yang dihasilkan oleh kegiatan politik akan berlaku menyeluruh, sekalipun tidak ada jaminan kita bisa berlaku adil. Media sosial sebagai kepanjangan tangan dari demokratisasi wacana di era digital semakin memudahkan hak masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya, baik dalam menulis pandangan, menyebarkan meme, mengunggah video kegiatan, hingga sekadar untuk memperoleh hiburan.
Media sosial secara bebas menyajikan ruang komunikasi dua arah. Pun kita bisa memperoleh dan menyampaikan informasi dengan leluasa. Keterbukaan dan kebebasan berwacana kemudian dibatasi dengan pemberlakuan UU ITE yang kontroversial. Lepas dari ruang dan batas penggunaannya, banjir informasi semacam itu setidaknya memberi kesempatan bagi kita untuk belajar dengan kacamata yang lebih luas dan ruang yang lebih lebar. Kita punya kesempatan menjadi narasumber atas gagasan, pengetahuan dan kejadian, juga menjadi kritikus musiman. Karena itu, kemampuan untuk membedakan mana “hoax” dan mana “bukan” menjadi sesuatu yang demikian penting, mengingat setiap kritik adalah pesan dan setiap wacana tidak lepas dari motif yang mengindikasikan kepentingan.
Hal tersebut penting kiranya dipahami, sebab dalam bermedia sosial kita sedang menjunjung hak pengguna dalam ruang-ruang dialektika publik yang dinamis terlepas dari pandangan, apakah ini objektif atau subjektif. Itu dulu yang perlu kita pahami dalam memandang hak orang lain.
***
Terlepas dari geliat sosial dalam mewarnai semangat demokratisasi wacana di dunia maya oleh “masyarakat maya” atau netizen, kita adalah masyarakat secara umum. Dalam arti nyata, kita adalah individu yang berada dalam suatu wilayah tertentu, bersinggungan dengan sekitar, dan tidak bisa lepas dari budaya keseharian. Sampai sini, mari mempersempit bahasan dengan bertolak pada keberadaan kita sebagai masyarakat desa dan paling rendah di dalam tingkatan pemerintahan. Apa yang Anda nikmati sebagai masyarakat umum dalam pesta demokrasi ini? Hak memilih? Hak menyalurkan harapan lewat bilik suara? Hak mendapat kesempatan bekerja? Atau hak menikmati pesta dalam arti sebenarnya, “kesempatan mendengar keindahan janji-janji juga kesempatan memperoleh uang dan harapan sesaat”?
Pemilu serentak sebagai wujud kontestasi politik elektoral setidaknya merupakan salah satu media berdemokrasi rakyat Indonesia dalam menentukan pemimpin-pemimpin terbaik Indonesia untuk lima tahun mendatang. Posisi paling dasar sebagai warga negara dalam menghadapi pemilu adalah peran kita sebagai kontituen bukan peran sebagai pendukung. Kita tahu, lima surat suara berbeda dalam pemilu kemarin adalah lima jenis instrumen keterwakilan kita sebagai masyarakat: keterwakilan pimpinan Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, DPR Provinsi, DPR Kabupaten dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Pemilu selalu menarik untuk dibahas, bisa dari argumen pendukung, pengawalan pelaksanaannya seperti dari penggunaan anggaran negara yang tidak sedikit, kritik dari lawan maupun dari kelompok golput yang memposisikan sebagai oposisi dari kedua kandidat dengan dasar melawan oligarki di dalam negara. Selepas pelaksanaan pemilu, kita juga masih saling berdebat tersebab suara yang diperoleh, klaim kemenangan, dan penanganan atas peristiwa meninggalnya anggota KKPS dalam pemilu serentak yang demikian banyak.
***
Dalam pemilu serentak 2019 ini suara pemilih lebih dominan diarahkan ke Presiden dan Wakil Presiden ketimbang mengawal visi misi calon DPR dan DPD yang kemungkinan ada di lingkungan sekitar pemilih. Bagi masing-masing pendukung militan, setidaknya hal tersebut adalah pengulangan keadaan, proses koreksi atas kinerja, tawaran perbaikan, kritik yang mengakar dan adanya dasar kuat atas ideologi untuk kedua kandidat yang pernah bertarung di pemilu 2014 yang telah lewat.
Jokowi dan Prabowo serupa dua logo yang sedang diperebutkan dengan citra yang diangkat. Satu sisi dengan citra sebagai sosok yang merakyat, satu sisi dengan citra diri sebagai sosok tegas. Itu baru pemandangan di permukaan, lepas dari kepentingan sektarian dengan basis pendukung yang ideologis. Sementara kita harus menyadari bahwa pemilu tak ubahnya kompetisi, di mana yang lahir dari pelaksanaannya adalah menang dan kalah. Begitu pula, kita dapat menyebut bahwa kompetisi serupa sebuah permainan.
Arti dari permainan sendiri adalah kebebasan karena adanya pembebasan. Selain itu, tabiat dari permainan adalah unsur eros (cinta)dan agon (perjuangan atau peperangan). Dua unsur dalam permainan yang justru tidak dapat dipisahkan karena dengan keduanya, maka ada satu kesatuan rasa cinta dalam pelaksanaan, perjuangan dalam menjalani juga nilai-nilai dalam mengukur makna kemenangan itu sendiri.
Selepas semuanya selesai, mari menganggap hasil pemilu ini sebagai awal kebaikan yang harus kita dukung demi kebaikan bersama. Kita juga bisa memaknai hasilnya sebagai semiotika politik, bahwa angka-angka yang terkumpul dari pemungutan suara, baik yang sah maupun tidak sah, adalah hak masyarakat dalam memutuskan pilihannya. Memilih dan tidak memilih itu “hak”, tapi jangan saling adu mulut yang mengakibatkan permusuhan.
Kritik sejatinya adalah pesan, maka ketimbang baper menyikapi kritik ada baiknya kita menjadikan kritik sebagai pilar perbaikan diri. Ada kalanya kritik sangat berguna, sebagai barometer pencapaian, melahirkan paradigma pemikiran baru, memperlebar epistemologi berpikir, juga sebagai jembatan dalam mencari solusi atas persoalan. Jika boleh dianalogikan, jangan karena merasa jari kita bertambah panjang sebab bertumbuhnya kuku lantas kita memotong jari! Potonglah kukumu.