Pandemi Covid-19 telah berlangsung satu setengah tahun lebih di negeri ini. Beberapa upaya pencegahan penularan lebih luas telah diupayakan oleh berbagai unsur, terutama Pemerintah. Namun semakin ke sini, beberapa kebijakan yang diambil, serasa semakin kurang rasional.
Membandingkan beberapa kebijakan Pemerintah dalam merespon pandemi Covid-19, rasanya sangat cocok disimpulkan dengan peribahasa Jawa kondang “Emban Chinde Emban Siladan”. Kebijakan yang “diskriminatif” terutama terhadap dunia Pendidikan. Bagaimana tidak? Hampir semua tempat pariwisata dan pusat perbelanjaan dibuka selebar-lebarnya dan bisa diakses siapa saja, seolah tidak ada masalah pandemi.
Kegiatan Pemilihan pada tahun 2020 lalu yang menuai banyak kontroversi juga tetap dilaksanakan. Sementara itu, banyak tempat ibadah sangat dibatasi dan bahkan dilarang buka. Tempat pendidikan pun justru dilarang untuk melakukan pembelajaran secara normal (luring). Kebijakan macam apa ini?
Pertanyaan di atas sering terdengar dari masyarakat sekitar kita, dan terutama mereka yang memiliki putera-puteri yang masih sekolah. Pertanyaan tersebut sering kita dengar di obrolan-obrolan ringan keseharian kita. Tidak sedikit dari orangtua siswa yang mengeluhkan kebijakan pemerintah terkait sistem pembelajaran daring selama masa pandemi. Sebagian besar mereka merasa kesulitan menyesuaikan tata cara belajar baru putra putri mereka di masa new normal ini.
Peranti utama dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis online adalah gadget cerdas berbasis android ataupun Ios Phone dan juga ketersediaan signal internet tentunya. Dua hal ini menjadi pra syarat pembelajaran daring bisa dilaksanakan. Di sisi lain, di sebagian wilayah perdesaan tertentu masih banyak didapati siswa dan orangtua siswa yang belum memiliki smartphone. Ditambah lagi wilayah-wilayah yang dimaksud, belum semuanya terjangkau signal internet.
Lantas bagaimana daring dipaksakan untuk diberlakukan? Untuk sekolah atau madrasah yang berlokasi di perdesaan dan pegunungan, sistem pembelajaran daring ini bukanlah merupakan solusi yang tepat untuk pembelajaran pada masa pandemi.
Dengan kebijakan yang mengharuskan sekolah dan madrasah untuk transfer keilmuan, melalui media daring, ternyata memunculkan potensi masalah baru. Masalah baru yang dimaksud adalah siswa-siswa yang belum memiliki gadget, merengek meminta untuk dibelikan HP berbasis android.
Kedengarannya hal ini sederhana. Ya, memang sederhana bagi orangtua yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke atas. Beda lagi bagi mereka yang latar belakang ekonominya menengah ke bawah. Jangankan berpikir untuk membeli peralatan IT dengan harga mencapai jutaan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja, tidak sedikit dari mereka mengalami kesulitan.
Program pemberian subsidi quota data internet dari Pemerintah, menjadi tidak memiliki nilai manfaat bagi guru dan masyarakat dengan kondisi sebagaimana tersebut di atas. Celakanya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum memiliki kebijakan lain terkait sistem pembelajaran yang lebih efektif bagi sekolah dan madrasah di wilayah nir signal. Entah sudah dipikirkan apa belum, yang jelas sejauh ini, kebijakan tersebut diberlakukan sama untuk sekolah di seluruh Indonesia, tanpa melihat letak geografis dan tanpa mempertimbangkan status wilayah zona merah atau bukan.
Persoalan lain dari sekolah daring adalah nyatanya yang mungkin dilakukan oleh para guru selama ini, khususnya di wilayah perdesaan dan juga tidak menutup kemungkinan di perkotaan sekalipun, hanyalah memberikan soal-soal melalui whatsapp group alih-alih menggunakan aplikasi yang lebih interaktif semacam zoom ataupun google meet.
Soal-soal ini akan dikerjakan oleh anak yang tentu saja dibantu orangtua. Begitu pula saat ujian atau ulangan harian. Guru akan memberikan soal melalui whatsapp atau link. Namun di perdesaan sulit memberlakukan ulangan melalui link karena permasalahan jaringan.
Dengan sistem daring seperti ini, orangtua murid pontang-panting harus berperan sebagai guru memberikan penjelasan kepada anak terkait mata pelajaran. Lantas bagaimana dengan murid di wilayah desa dan pegunungan yang nota bene wali muridnya berasal dari “golongan kurang terdidik?”
Sekolahan sebagai tempat pendidikan dan pembelajaran siswa menjadi kehilangan ruhnya. Anak-anak diajar dan dididik oleh yang bukan ahlinya. Betapa banyak murid yang kedapatan tidak mengerjakan tugasnya. Betapa banyak orangtua mengambil alih tugas-tugas anaknya. Fakta-fakta lainnya tentang pendidikan daring sungguh mencengangkan. Begitulah sepenggal potret sistem pendidikan di Indonesia.
Secara keseluruhan, pembatasan sosial dan pemberlakuan sistem pembelajaran dengan cara daring yang dipertahankan hingga saat ini menjadi timpang dan tidak masuk akal. Hal ini jika dibandingkan dengan kebijakan pembukaan tempat pariwisata dan juga pusat-pusat perbelanjaan yang loss dol dibuka tanpa persyaratan khusus dan njlimet.
Bagaimana tidak? Logika sederhananya, jika orientasi kebijakan Pembatasan Sosial ataupun Pembatasan Kegiatan Mikro adalah untuk membatasi kerumunan dan memutus rantai penularan Covid-19, maka sepertinya ada yang kurang tepat dengan diberlakukannya kebijakan dimaksud. Tempat pariwisata dan pusat perbelanjaan dapat diakses oleh semua orang dari berbagai daerah, dari berbagai latar belakang usia dan profesi. Mestinya hal tersebut lebih berpotensi terjadi interaksi dan kontak fisik. Walaupun di tempat-tempat tersebut banyak dipasang tulisan-tulisan peringatan “jaga jarak”. Namun seberapa efektifkah peringatan-peringatan tersebut bisa diterapkan?
Coba bandingkan dengan tempat pendidikan: PAUD, sekolah dasar dan madrasah serta pendidikan tinggi, khususnya yang berlokasi di perdesaan dan pegunungan. Secara ketat diberlakukan kebijakan pembatasan aktivitas dan hanya boleh melakukan kegiatan berbasis daring. Orang yang mengakses wilayah sekolah di daerah perdesaan dan pegunungan dapat dikatakan ya itu-itu saja. Guru dan muridnya tidak berubah dan mayoritas dari wilayah lokal setempat. Aktivitasnya juga terpantau hanya seputar sawah, kebun dan hutan sekitar.
Kondisi seperti ini, sepertinya lebih bisa dikondisikan dibandingkan dengan tempat pariwisata dan pusat perbelanjaan. Pun protokol kesehatan sebagaimana yang disyaratkan di pusat perbelanjaan ataupun di tempat pariwisata tentu sangat dapat diterapkan. Apalagi Guru setempat akan sangat memiliki otoritas untuk menegakkan protokol kesehatan di lingkungan sekolah kepada anak didiknya.
Persoalan kerumunan di sekolah seharusnya lebih mudah dapat diatasi dengan pengaturan waktu masuk siswa. Murid-murid dapat masuk sekolah secara bergantian, apakah bergantian jam atau bergantian hari. Apakah dibagi separuh kelas atau sepertiga. Jam istirahat atau ngaso dapat ditiadakan. Jam pelajaran harian dapat dikurangi. Seribu cara dapat ditemukan untuk membuat “jarak” benar-benar terjamin. Sehingga pendidikan dan pembelajaran secara luring untuk mendapatkan manfaat secara maksimal dapat dilaksanakan kembali.
Namun sayangnya pemerintah kita seakan “gagap” menghadapi situasi ini, sekolah dan madrasah tetap diberlakukan sama tanpa melihat zona. Semua dilarang melakukan pembelajaran tatap muka. Sementara sampai sejauh ini pemerintah belum menyiapkan kebijakan lain yang lebih populis terhadap sekolah dan madrasah yang bukan zona merah.
Fakta di lapangan, anak-anak yang tidak sekolah, mereka tetap bebas bermain dan berkumpul bersama teman-temannya di luar sekolah, seolah tidak ada pandemi. Inikah yang dikehendaki dari kebijakan daring? Dan lucunya lagi, di saat proses Penilaian Akhir Tahun (PAT), beberapa sekolah memberanikan diri untuk memasukkan siswa didiknya, dan ini juga secara umum diketahui oleh jajaran pemerintah.
Alih-alih memberikan ketegasan aturan yang jelas, justru instruksi-instruksi non substantif yang direkomendasikan. Contohnya, anak-anak boleh masuk sekolah dengan tidak memakai seragam. Coba kita kaji lebih jauh, bukankah esensi pemberlakuan kebijakan daring sebagai bagian upaya untuk membatasi kerumunan? Apakah masuk sekolah dengan tidak memakai seragam sudah dianggap menyelesaikan persoalan? Hmmm… aneh bin absurd.
Di beberapa Lembaga Pendidikan, selama ini ada yang memberlakukan kebijakan untuk melarang atau lebih tepatnya membatasi peserta didiknya untuk menggunakan smartphone. Namun dengan kebijakan pembelajaran daring, aturan yang telah dibangun dan dipertahankan selama ini menjadi kacau balau, dan tidak ada pilihan lain selain mengikuti kebijakan pusat yang ada.
Jarang ada Lembaga Pendidikan yang mampu mempertahankan aturan-aturan tersebut, kecuali lembaga-lembaga pendidikan berbasis pesantren. Mereka mampu mempertahankan aturan-aturan yang mereka buat, karena berani tidak tergantung dengan kebijakan pendidikan yang terpusat.
Bagi wali siswa sekolah dasar dan yang sederajat, yang dimudahkan akses internet dengan ketercukupan fasilitas, mau tidak mau mereka mendapatkan tambahan tugas “mendampingi” bahkan mengerjakan tugas-tugas daring putra-putri mereka. Bagi sebagian anak-anak yang bisa mengoperasikan smartphone mereka secara mandiri, kontrol orangtua menjadi lebih sulit dan rumit. Porsi ngegame dan ‘nonton’ menjadi lebih besar dibanding untuk proses belajar daring.
Dengan contoh-contoh persoalan di atas, maka cukup wajar jika sebagian besar orangtua siswa semakin gundah-gulana menghadapi situasi daring yang entah sampai kapan akan berakhir. Segera ada kebijakan non daring, tapi tidak abai terhadap protokol kesehatan menjadi harapan kuat dari sebagian besar orangtua siswa untuk bisa segera direalisasikan. Jika masih tetap dengan kebijakan serupa, mau dibawa kemana Pendidikan kita?
Semoga Indonesia baik-baik saja.