Malam Minggu kemarin saya berkesempatan menyaksikan kelahiran (baca: peluncuran) sebuah grup musik keroncong milik Pemerintah Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul.
Di sela-sela pertunjukan musik, saya sempat pula ngobrol dengan kepala desa dan sekdes-nya (Didik Herkunadi dan Eko Margono). Nama yang saya sebut pertama adalah teman sekelas sewaktu SMP, sedangkan nama berikutnya adalah siswa SMA Panggul. Ketika di sekolahnya saya menjajal kemampuan sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia sekaligus pengisi kegiatan ekstrakurikuler: teater. Eko Margono ini tidak hanya ikut menyemarakkan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, namun juga, kemudian ikut menambah panjang daftar penulis fiksi dari Panggul yang menulis dalam dua bahasa: Jawa dan Indonesia.
Sementara itu yang saya ketahui dari Sang Kepala Desa, Mas Didik Herkunadi, adalah bahwa di luar urusan akademik, paling menonjol adalah kemampuannya di bidang olah raga. Ia boleh dibilang multitalenta: pinter sepak bola, voli, basket, dll. Di bidang kesenian, yang saya ketahui, ia pernah menjadi pemain gemblukan alias reog kendang, dan pada malam pentas seni di acara perpisahan di sekolah ia menjadi salah satu pemain dalam sebuah pementasan teater.
Agaknya, pertemuan dua sosok lintas generasi dengan sekilas gambaran latar belakang seperti itu dalam sebuah pemerintahan desa memungkinkan lahirnya kebijakan yang tidak diambil oleh kebanyakan desa lain. Apalagi yang sekarang sedang giat-giatnya didorong dan terus didorong adalah pembangunan fisik: infrastruktur, terutama pavingisasi atau betonisasi jalan-jalan atau lorong-lorong kampung.
Kita tidak perlu melihat data, grafik, statistik, bagan, dan membaca angka-angka baik yang dianggap resmi atau tidak resmi. Bacalah keadaan di sekitar, lalu rasakan dengan seksama, dan kita akan ternganga begitu pada saat yang sama mengingat pesan dalam lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya …” Praktiknya bukan saja membalikkannya menjadi, “Bangunlah badannya bangunlah jiwanya,” (mendahulukan/mengutamakan pembangunan fisik), melainkan seolah bahkan telah membuang jauh-jauh urusan pembangunan jiwa. “Bangunlah jalannya bangunlah jalannya …!”
Begitulah, tampaknya memang sudah demikian (melupakan urusan batin) rancang bangun kebijakan yang dibuat dari atas sana. Seolah-olah para pembikin kebijakan yang di atas sana, rada-rada panik karena secara ekonomi bangsa ini selalu terpuruk. Tingginya angka kemiskinan dan besarnya jumlah penganggur seolah-olah menjadi hantu yang selalu gentayangan, jadi masalah yang melahirkan anak-cucu-cicit yang kemudian berjalin-berkelindan dan tak lagi ketahuan mana ujung pangkalnya.
Maka, lahirlah kebijakan-kebijakan yang dianggap bisa menjadi ramuan mujarab untuk memerangi kemiskinan, untuk menyerap penganggur. Dikiranya kalau jalan-jalan kampung dibuat mulus para petani akan mudah mengangkut hasil pertaniannya ke pasar. Mereka malahan lupa bahwa seharusnya yang terlebih dahulu diprogramkan adalah membuat desa yang bekerja sebagai petani benar-benar menjadi petani yang andal, bukan sekadar petani KTP.
Ingat, yang namanya warga, rakyat, kadang juga tidak jernih memilah mana yang mereka butuhkan dan mana yang mereka inginkan. Tak jarang, mereka berteriak-teriak meminta jalan desa yang nglenyer seperti anak kecil mothah njaluk ha-pe. Setelah dibelikan ha-pe ujung-ujungnya cuma buat nge-game, ora nggo komunikasi.
Ajarilah warga desa menjadi petani andal, menjadi pengusaha rumahan yang mumpuni, dan dengan demikian kesejahteraan mereka akan meningkat. Soal jalan, ketika mereka sejahtera, tak perlu menunggu dana APB-Des, yakin-kah, mereka akan bereskan sendiri! Ini sih, juga baru teori. Tetapi, setidaknya kita perlu sudut pandang lain yang berani menggugat anggapan bahwa jalan adalah hal utama dan yang pertama-tama mesti dimuluskan. Apalagi dengan melupakan urusan pembangunan mental, jiwa, karakter, dan segala sesuatu yang mengisi ruang batin warga yang makin kerontang.
Dana APB-Des bukan hanya disiapkan untuk pembangunan jalan desa. Desa Wonocoyo membuktikan telah dapat menyisihkan sebagian untuk membeli peralatan musik keroncong. Pada gilirannya nanti, saya kira akan dapat pula dibangun, misalnya, gedung kesenian di di desa-desa. Kota-kota boleh membangun etalase kebudayaan, tetapi seharusnya justru di desa-desa-lah dibangun benteng-benteng kebudayaan untuk menjaga agar sebagai sebuah bangsa kita-benar-benar berkepribadian. Apa ya ngono?
Yang lebih membanggakan lagi, usulan untuk menghidupkan lagi musik keroncong di Desa Wonocoyo itu, menurut Mas Kades, adalah kaum muda. Pada malam gebyakan itu pun terlihat bahwa pemusik maupun vokalis-nya didominasi kaum muda.
Maka, kita layak acung jempol dan menyambut baik kelahiran grup musik “Kerontjong Tjabe Poejang” ini. Semoga apa yang dilakukan Mas Didik dan Mas Eko di Wonocoyo (Panggul) itu dapat diteladani oleh desa-desa lain di Trenggalek. Kalaulah terpaksa menomorsatukan pembangunan “badan” janganlah kemudian urusan jiwa-nya dilupakan. Jreng!