Desa dalam pengertian sosiologis, sebetulnya memang identik dengan kesan terjalinnya interaksi manusia (kesatuan masyarakat) dengan kebaikan-kebaikan alam, sebagai sumber ekonomi sekaligus sebagai wilayah teritori untuk menggelar (ke)hidup(an) sehari-hari. Dalam pengertian ini, masyarakat desa mula-mula dan secara genuine hidup bergantung dari kultur pertanian. Dari jalinan yang tanpa jarak dengan alam pertanian itulah yang sedari semula pedesaan melahirkan sekumpulan adat, tradisi dan kebudayaan agraris yang terus bisa terpilin hingga saat ini.
Bukan soal masyarakat desa—seperti yang banyak diasosiasikan—cenderung berpendidikan rendah dan terbelakang (kampungan) alias kultur desa yang tertimpa wabah miring sosial-politik tersebut, lantas masyarakatnya malu tinggal di desa dan malu pula mengakui ke-desa-annya. Sebab, sangat jadi, sebutan itu hanya anggapan yang terlalu di(re)produksi berulang dalam citra-pandang kota-kota industri yang dipenuhi polusi: dari polusi situasi, kecepatan, gaya hidup, hingga produk-produk pikirannya. Pernahkah kita berpikir bahwa sebetulnya ”kategori dan tahbis” tersebut justru mengandung niat dan ancaman untuk memburamkan kearifan lokal (local wisdom) yang tumbuh subur di desa-desa semenjak puluhan abad. Stereotip untuk menggeser vitalitas pedesaan berikut segala karakter aslinya di seluruh negeri tropis yang pernah ada.
Sebagai contoh, dalam hal mengolah alam, tradisi yang dikembangkan di desa-desa adalah tipe ekonomi subsistence. Ini sebuah istilah terlampau kaku dan akademik lagi berbau kebarat-baratan, yang diciptakan sekadar untuk menamai (supaya lebih mudah memetakan dan membuat kategori) sistem ekonomi sederhana khas pedesaan yang ”wah” itu: ekonomi luhur produk kultur pedesaan yang prinsipnya adalah ”mengambil secukupnya dari alam, sesuai yang dibutuhkan manusia”. Prinsip ini tentu sangat bertolak belakang dengan prinsip ekonomi eksploitatif (imporan dari) Barat yang diterapkan di kota-kota industri yang basis utamanya adalah perdagangan yang diakumulasi dari karakter: ”mengambil untung sebesar-besarnya dengan modal semurah dan sesedikit mungkin”.
Di lingkup pedesaan dahulu, tentu saja amat jauh dari praktik-praktik perusakan alam sedikitnya seperti jual beli makelaran tanah dan ulah kengawuran pengembang. Perusakan situasi pedesaan dari dulu hingga sekarang, senantiasa terjadi dikomandoi oleh kedatangan tamu-tamu tak diundang: kini sebagian dari mereka bersalin-rupa dalam bentuk penduduk-penduduk kota yang telah kerasukan paham developmentalisme-positivisme (membangun yang tampak dan fisik belaka, dan mengabaikan yang prinsip dan pokok).
Karakter pembangunan ini membiak di kota-kota, yang dengan congkak mengira orang-orang desa sebagai sumber kekolotan dan ketidakmajuan masyarakat manusia (aih…!). Karenanya, bagi wajah kota dengan industri perkotaannya, wajar saja kalau mengira mental kedesaan mesti diubah dengan cara pandang ekonomi yang menumpu pada konstruk-konstruk liberal dan acuan-acuan kepentingan kapital padat modal. Alih-alih hendak mempelajari model dan sistem kearifan lokal yang menghidupi desa-desa yang sudah sangat maju dan teruji semenjak ratusan abad, yang pelan-pelan kini mulai tergerus dan digerus ke pinggir.
Menjadi persoalan memang ketika hidup di desa dengan cara mendekat ke alam: bertani, menanam, berternak dan lain-lain, kerap dianggap anak muda terkini sebagai hidup yang tak menjanjikan kejelasan masa depan. Apalagi anak-anak desa yang kebetulan cerdas lebih memilih hidup di kota dengan berbagai akses dan limpahan fasilitas. Sementara yang kebetulan tak punya akses pendidikan dan di-status-i tak terdidik—secara terpaksa maupun dengan senang hati—sebagian lebih memilih untuk hijrah ke luar negeri: di antaranya menjemput pundi-pundi di jalur TKI. Barangkali, yang telah menjadi petani pun kini dililit berbagai kesulitan: rendahnya mutu dan harga hasil pertanian, mahalnya pupuk dan lain sebagainya, belum lagi soal pekerjaan yang dianggap kurang keren dan seterusnya dan seterusnya (ini salah negara apa penduduk desa?).
Dan wajar pula, dengan SDM dan ekonomi pas-pasan, orang-orang desa akan dengan mudah tergiur mencari pekerjaan layak, bahkan kalau memungkinkan menjalani hidup sebagai tenaga kerja di luar negeri. Singkatnya, anak muda tak pernah betah hidup di desa sebagai petani atau sengaja menciptakan kreativitas tertentu sesuai karakter desanya, lantaran mereka terus melihat desa sebagai lokus terpencil, sepi, yang teramat membosankan di alam pikiran. Dari pandangan miring macam begitu, desa-desa kita itu kian tampak bagai wajah melas seorang pemuda yang baru ditolak cintanya: alias tak cocok disambangi harapan, lagi tidak identik dengan pemikiran-pemikiran positif-progresif.
Justru, duga saya, stereotip buruk semisal kampungan dan ndesa dan keburukan-keburukan lain yang selama puluhan tahun (atau bisa jadi lebih?) berhasil disematkan ke desa-desa, bisa saja sebetulnya karena desa justru terlalu taat menjalankan acuan-acuan kebijakan berbau kebudayaan kapitalistik (yang dikembangkan di kota) itu. Yang lantas membuat desa sedikit demi sedikit dan bisa juga dalam skala cepat, kehilangan akar agung kearifan lokal untuk membangun dirinya sendiri dari dalam.
Dan desa selama ini selalu dibangun belaka dengan menggunakan perspektif dan acuan-acuan dari luar (nalar) desa. Persoalan ini saya kira sudah sejak lama berlangsung, bahkan semenjak zaman penjajahan, diteruskan oleh pemerintah kita, yang memang liberal-kapital (siapa yang mau mbantah?) hingga zaman kiwari. Perspektif dan acuan ini terutama tampak dalam ranah penataan sistem administrasi kepemerintahan serta arah (dan produk) kebijakannya. Jadi, mari mengembalikan nalar desa untuk membangun kota.