Bukan Surat untuk Kartini

Kartini sudah meninggal. Dan orang yang sudah meninggal tidak akan membaca surat jenis apapun. Justru kita yang harus membacakan surat (yasin) untuknya.

Bukannya bermaksud mengolok-olok siapapun yang hendak menulis surat untuk Kartini, atau event yang sedang berlangsung di Trenggalek saat ini. Saya malah mendukung teman-teman yang ingin berpartisipasi dalam event tersebut.

Kartini telah menjadi ikon emansipasi di negara kita. Semangat dan cita-citanya layak dihargai misalnya dengan dijadikan teladan. Sebagaimana kita harus menghargai dan berusaha meneladani tokoh-tokoh perempuan Indonesia lain, yang juga tak kalah hebat dari sosok Kartini. Tentu, di sini saya memilih untuk menghargai dengan cara saya sendiri. Jadi, daripada menulis surat untuk Kartini, (di sini) saya memilih menulis sesuatu untuk perempuan Trenggalek.

Menjadi perempuan itu bagi saya (dan mungkin bagi beberapa perempuan lain) adalah sesuatu yang prestisius, istimewa, dan menyenangkan. Bahkan, untuk beberapa laki-laki yang memiliki jiwa feminin, bisa jadi ngiri dong sama kita-kita. Pasalnya, untuk mengikuti naluri keperempuanan, dengan memakai gaun misalnya, mas-mas itu harus sembunyi-sembunyi. Atau kalau mau terang-terangan, harus siap menerima konsekuensinya: bisa dipelototin, dilirik dengan aneh, bahkan dicibir.

Untuk beberapa dari mereka, menjadi perempuan itu sebuah impian irasional. Iya, sih, dengan kemajuan ilmu kedokteran dan perkembangan industri kosmetik, impian irasional itu bisa dirasionalkan. Tapi, kan mahal, Nek. Tidak semua mas-mas itu punya cukup uang untuk melakukan transformasi menjadi transgender ayu macam Dena Rahman. Dan tidak peduli sudah secantik dan seperempuan apa, mereka tidak pernah menjadi 100% perempuan. Ada hal-hal yang tidak (atau mungkin belum) mampu dijangkau oleh ilmu pengetahuan.

Bedakan dengan kita, yang sudah jadi perempuan sejak orok, eh bukan, sejak masih janin. Eh tunggu, sejak terjadi proses pembuahan dalam tuba falopi. Dari bayi kita sudah dibiasakan menjadi perempuan sebagaimana konstruksi budaya di daerah masing-masing. Dipakaikan pita, baju berenda, popok berwarna pink, dan semacamnya.

Agak lebih besar sedikit, kita disodori mainan untuk mengarahkan jalur yang harus kita tempuh sebagai perempuan: boneka lah, perlengkapan masak-masakan lah, sepeda roda tiga bergambar putri cantik ala Disney dkk. atau  yang lainnya. Bukan itu saja, kita juga mulai dijejali nilai-nilai, aturan-aturan, paham-paham, pemikiran, dan segala tetek-bengek lainnya.

Bocah prawan, ojo ngguyu banter-banter, saru!
Bocah wadon kok mbangkongan, ayo ndang tangi, wes subuh!
Yen nyapu sing resik tenan, mundak bojomu brewok, lo, ngko!
“Ngapain sekolah tinggi? Paling-paling juga berakhir di dapur, sumur, dan kasur.”

Pernah dengar yang seperti itu? Saya sudah mblokek-mblokek.

Yang seperti itu, meskipun kadang ada benarnya, memang mengesalkan. Apa salahnya tertawa keras? Apalagi kalau sedang nonton lawak. Yang harusnya bangun subuh atau menyapu dengan bersih, bukan perempuan saja, to? Masa laki-laki muslim yang akil baligh dibebaskan dari kewajiban sholat subuh. Bahkan yang non muslim harusnya juga bangun subuh untuk lari pagi. Dan jangan bicara tentang perempuan yang berakhir di tiga area itu. Sampeyan bisa disrawat bakiak.

Untunglah, mama-mama muda sekarang tidak mengomel seperti itu. Juga tidak melulu mencekoki anak-anak perempuannya seputar isu domestik. Sebagai perempuan, kita belajar dan berkembang. Terima kasih untuk pejuang emansipasi, siapapun, di manapun, yang telah mengubah wajah dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk kita.

Perempuan sekarang tidak harus pintar masak, bersih-bersih rumah, ngucek cucian setinggi gunung. Perempuan sekarang bebas berekspresi, menggali potensi, berperan dalam sektor publik, berkompetisi dengan sesama perempuan maupun laki-laki.

Di beberapa tempat, sebagian orang memang masih menuntut sejumlah hal dari kaum perempuan. Semacam stigma yang dilekatkan karena jenis kelamin kita. Apakah salah? Tidak semuanya. Tidak selamanya.

Ini sebenarnya contoh kecil (dan mungkin bisa kita bahas lebih lanjut di lain waktu), tetangga saya di Prambon, yang pernah (atau sedang) menjadi TKW, sebagian besar (saya tidak berani bilang semuanya, karena saya tidak punya data pasti di atas kertas) bekerja sebagai pengasuh bayi, anak-anak, atau manula; asisten rumah tangga; atau juru masak. Saya belum pernah bertemu seorang TKW pun di Prambon yang bekerja sebagai kuli bangunan atau operator mesin pabrik.

Atau mungkin seperti kasus saya. Dulu saya dan suami, sama-sama bekerja. Setelah memiliki anak, saya memutuskan untuk berhenti. Para pasangan lain, kebanyakan juga seperti itu. Ketika kedua orang tua bekerja, dan anak membutuhkan lebih banyak peran orangtua, siapa yang cenderung resign? Istri.

Kenapa urusan mengasuh bayi, anak-anak, dan manula seolah-olah menjadi tugas perempuan? Apa tidak ada laki-laki yang bisa melakukannya? Wah, ini pengerdilan terhadap kemampuan laki-laki. Ini juga tanggung jawab yang dibebankan dengan semena-mena ke pundak perempuan. Begitukah? Kok, saya melihatnya tidak seperti itu, ya?

Yang saya tahu, tubuh manusia, laki-laki dan perempuan, tersusun dengan struktur yang berbeda. Dari kromosom seks XX untuk perempuan dan XY untuk laki-laki, hingga sistem hormonal yang mensekresi zat berbeda, lantas berpengaruh pada beberapa sifat laki-laki dan perempuan secara umum. Misalnya, perempuan mensekresi hormon estrogen yang berpengaruh pada munculnya karakteristik seks sekunder ketika memasuki masa pubertas.

Tentu saja hal ini sudah jamak diketahui melalui pelajaran biologi. Dan saya kira tidak perlu dibahas lebih panjang lagi. Struktur fisik kita didesain untuk manak! Jangan lupa, selalu ada anomali dalam segala hal. Seperti yang pernah diajarkan Pak Pemred, tidak ada sesuatu yang sempurna, selalu ada yang rumpang, selalu ada penyimpangan. Dan penyimpangan-penyimpangan ini tidak perlu kita bahas saat ini.

Mari bicara tentang pengasuhan. Tidak ada yang akan menyangkal bahwa setiap bayi, idealnya, diasuh oleh ibu. Jangan buru-buru berdebat tentang ini kalau belum pernah membaca atau mendengar fakta sains, bahwa dalam air susu ibu terkandung colostrum yang sangat penting dalam proses pembentukan antibodi. Sekali lagi, idealnya. Tentu saja ada kondisi tidak ideal di mana ibu tidak bisa menyusui bayinya karena satu dan lain hal. Kemudian, ketika bayi tumbuh menjadi anak-anak, mereka membutuhkan perhatian, kasih sayang, bimbingan, dan teladan. Tidak bisakah bapak-bapak melakukannya? Siapa bilang? Tapi, idealnya, sekali lagi, idealnya, ibulah yang melakukannya.

Siapa yang bisa membantah kalau perempuan itu cenderung mengedepankan emosi dan hati daripada nalar dan otaknya? Tidakkah ini sudah menjadi pengetahuan umum? Artinya, perempuan cenderung lebih sensitif (terutama saat siklus menstruasi, ingat tentang hormon estrogen?). Sensitivitas ini yang diperlukan ketika anak-anak melalui tahap perkembangannya. Memangnya, bapak-bapak bisa mengerti kalau anak gadisnya mewek gara-gara baju yang nggak matching? Memangnya bapak-bapak bisa bantuin remaja yang lagi bad hair day?

Ah, tunggu, saya tidak sedang mendiskreditkan laki-laki. Yang ingin saya katakan adalah, lepas dari pengaruh lingkungan yang kemudian membentuk sifat dan pola pikir, ada informasi genetis yang diwariskan dari orangtua dan turut andil dalam pembentukan kepribadian. Ada desain alam yang menyusun tubuh kita dengan komponen yang berbeda dengan laki-laki. Itulah mengapa tanggung jawab mengasuh dibebankan ke pundak perempuan. Stigma? Stigma sudah pergi ke gedung bioskop.

Eits. Bukan berarti bapak-bapak bisa cuci tangan begitu saja. Bagaimanapun, untuk mengasuh anak dibutuhkan peran orangtua laki-laki. Ini juga kita bahas lain kali saja.

Lantas, letak prestise, keistimewaan, dan kesenangan menjadi perempuan itu apa? Kok dari tadi yang dibahas nggak enaknya? Yang dibentuk jadi perempuan menurut konstruksi budaya lah, didesain untuk jadi tukang asuh lah, apaan??

Memangnya, kalau terlahir laki-laki sampeyan bisa bebas pakai daster? Bebas pakai make up, hot pants, dan high heels yang lagi ngehits itu? Bisa se-enak udel minta dibelikan es cendol di tengah malam kalau lagi nyidam? Bisa menikmati hukum pertama dalam berhubungan: “perempuan selalu benar”? Bisa menjadi orang yang paling ditakuti sejagat raya cuma karena naik motor matic dan menyalakan lampu sein? Jadi perempuan itu menyenangkan. Apalagi perempuan di era di mana emansipasi sudah bukan barang baru lagi.

Sebenarnya, yang belakangan ini patut disayangkan adalah, ketidakpahaman kita sebagai perempuan terhadap makna emansipasi itu sendiri. Sebagian kita memahami emansipasi sebagai tuntutan agar kita dianggap sama dengan laki-laki. Hal ini menyebabkan beberapa dari kita, kadangkala, berusaha terlalu keras menjadi seperti laki-laki dan melupakan fitrah kita sebagai perempuan. Itu bukan emansipasi. Itu adalah bentuk perlawanan yang akan membuat kita melenceng dari tujuan awal. Alih-alih membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia yang berbeda jenis kelamin, bisa-bisa kita malah menyulut perdebatan demi perdebatan yang tidak pada tempatnya. Mungkin kita harus belajar lebih banyak, memahami makna emansipasi sebenarnya, dan menyesuaikannya dengan fitrah kita sebagai perempuan.

Mengutip perkataan Rohana Kudus, seorang tokoh perempuan Indonesia yang menurut saya layak mendapat gelar pahlawan, “Perputaran jaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah, yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.

Artikel Baru

Artikel Terkait