Setiap manusia yang terlahir di dunia mau tidak mau harus hidup bernegara—setidaknya hidup di sebuah negara. Ia diwajibkan mengikuti aturan yang berlaku pada negara tersebut jika tidak mau dicap sebagai “pengkhianat” atau sebutan lain yang mengarah kepada makna ketidaktaatan pada negara.
Untuk menjamin kehidupan bernegara yang aman dan damai, pemerintah memberlakukan seperangkat aturan yang harus ditaati oleh warga negara. Meski, pada praktiknya, aturan ini sering pula dilanggar oleh si pembuat, misalnya fakta menjamurnya pejabat korup.
Namun, meski ada banyak sekali kasus pelanggar aturan, bukan serta-merta kita menuding bahwa kehidupan bernegara tidak baik. Ingat, apabila ada pelanggaran aturan, bisa selalu dikembalikan pada oknum, meski oknum tersebut bagian dari sebuah instansi.
Aturan yang dibuat di negara Indonesia selalu merujuk pada hukum positif. Dan hukum positif selalu dibuat merujuk pada pikiran dan akal sehat. Kendati demikian, terdapat berbagai aturan seperti penggunaan istilah yang diproduksi oleh negara, jauh dari mengedepankan akal sehat. Meski ini sekadar aturan yang mengikat warga negara. Beberapa hal tersebut bisa disebut bertentangan dengan akal sehat alias paradoks.
Berikut hal-hal yang kerap kita hadapi dan temui, namun barangkali jarang kita sadari sebagai hal konyol:
1. Razia Ketertiban Berlalu Lintas Berseberangan dengan Fungsi Negara Sebagai Solusi Problem Masyarakat
Sampean punya SIM? Pernah kena razia polantas? Apa yang dilakukan petugas jika Sampean kepergok tidak bisa menunjukkan SIM, STNK, helm dan kelengkapan berkendaraan standar SNI lainnya? Sudah bisa dipastikan Sampean akan ditilang dan dipaksa membayar denda sejumlah uang tertentu.
Kenapa negara memilih untuk meminta uang denda dari pelanggar, sedang ia juga kuasa membuatkan Surat Ijin Mengemudi kepada masyarakat? Jika pemerintah benar-benar ingin memberikan solusi kepada masyarakat atas problem tersebut, tentu ia tidak usah menarik uang denda, kalau tidak menggunakannya untuk menerbitkan SIM bagi yang tidak memiliki SIM.
Hal ini bisa juga dilakukan bagi pelanggar yang tidak membawa helm saat ada razia, tidak lengkap spionnya dan lain-lain. Petugas, sekalian saja menggandeng pemilik pabrik helm berlogo SNI untuk dijualkan secara langsung kepada para pelanggar.
Kalau begini negara benar-benar hadir memberikan solusi bagi masyarakat pelanggar ketertiban berkendara.
2. Surat Disebut Kartu, Kartu Disebut Surat
Di poin satu, pasti Sampean membaca kalimat Surat Ijin Mengemudi. Coba ingat-ingat, bagaimana bentuk dari surat tersebut? Ada lagi satu contoh, Kartu Keluarga atau disingkat KK, bagaimana model dari KK itu? Pasalnya, kedua contoh yang saya sebut di atas, jauh dari makna sebenarnya, tapi masyarakat merasa baik-baik saja dibodohi fakta ini, karena memang diproduksi oleh pemerintah.
Lazimnya benda yang disebut kartu adalah obyek tipis terbuat dari kertas atau plastik biasa dengan ukuran lebih kecil. Penyebutan kartu yang ideal ada pada ATM card atau KTP. Menyebut dokumen izin mengemudi berbentuk kartu yang disebut surat adalah pembodohan. Namun itu diterima oleh masyarakat. Begitu pula dengan KK (Kartu Keluarga), bagaimana bisa dokumen berbentuk lembaran kertas yang lebih pas disebut sebagai surat itu dinamai Kartu. Semoga Ferguso tidak tahu soal ini.
3. Bungkus Rokok Bergambar “Orang Sakit”, Penjual Miras di Larang
Kira-kira apa faedah yang hendak digapai oleh pemerintah dengan mengharuskan setiap bungkus rokok berisi gambar mengerikan seperti itu? Jika yang diharapkan adalah supaya masyarakat menjauhi rokok, berarti pemerintah telah melakukan kesalahan besar dalam mengambil kebijakan.
Bayangkan, di tahun 2018, hasil dari bea cukai tembakau digunakan untuk menutup kerugian BPJS karena hampir failed. Selain itu, setiap batang yang dihisap oleh para perokok, menyumbang banyak pajak bagi negara. Kok bisa sih pemerintah malah berupaya membuat para perokok takut, sedang di lain sisi, ingin rokok dibeli banyak orang. Dinalar pakai akal sehat, aturan ini jelas paradoks.
Begitu pula dengan pabrik-pabrik minuman keras, jika ingin masyarakat kita terbebas dari minuman keras, kenapa tidak ditutup saja pabriknya, cabut izin produksinya sehingga tidak ada lagi pabrik miras. Bukan lantas melarang masyarakat yang berjualan miras, dan melarang orang minum minuman keras. Kalau tidak ada orang yang beli, pabrik miras dapat uang dari mana.
Dari rokok dan minuman keras, negara dapat uang pajak. Kenapa ini terjadi Ferguso?
4. Razia Kos-Kosan yang Tidak Adil
Salah satu tugas pemerintah sekaligus menjadi kerjaan menantang, kalau tidak malah menyenangkan, adalah tugas melakukan penggrebekan. Ini lazimnya dilakukan oleh satpol PP atau polisi menjelang puasa Ramadan. Saat melakukan razia kos-kosan, petugas kerap mendapati pasangan lawan jenis tak bersertifikat suami-istri berada dalam satu kamar. Sampean boleh membayangkan apa yang dilakukan oleh dua orang lawan jenis tersebut. Pasangan pria-wanita yang kepergok pada akhirya akan mendapatkan pembinaan oleh petugas.
Lalu pertanyaannya, kenapa hal tersebut tidak dilakukan juga pada pasangan sesama jenis? Apakah hubungan lendir saat ini hanya berlaku bagi lelaki dan perempuan. Pemerintah kudu tanggap dengan persoalan ini. Bukankah hubungan sesama jenis sudah menjadi konsumsi publik? Apabila melakukan razia, mbok ya jangan hanya pasangan lelaki perempuan, tapi juga bagi dua lelaki atau dua perempuan yang berada di dalam satu kamar kost. Begitu sepertinya lebih adil.
5. Perintah Tertulis “Belok Kiri Jalan Terus” di Trafik Light
Pernah membaca tulisan tersebut saat di trafigh light? Saya rasa bagi kebanyakan pengendara sering sekali menjumpai teks tersebut di beberapa persimpangan. Jika kita cermati dengan saksama, ungkapan ini adalah anjuran untuk melanjutkan perjalanan lurus ke depan.
Akan berbeda jika diubah menjadi, “Belok Kiri, Langsung jalan” maka artinya bagi pengendara yang ingin belok kiri di persimpangan, dipersilakan untuk langsung jalan tanpa harus berhenti mengikuti pengatur waktu di trafick light.
Apabila si pengendara berjalan terus saat lampu merah, ia tidak menyalahi aturan karena perintahnya begitu, namun risikonya sangat besar. Nah, yang memahamkan masyarakat untuk tidak berjalan lurus saat lampu merah ini adalah risiko tersebut, bukan aturannya. Sebaiknya, segera diganti saja teks tersebut.
7. Antara Sosialisasi dan Kampanye Bagi Calon Inkamben
Musim pemilu, musim janji-janji disuarakan, musimnya para calon melakukan kampanye kepada masyarakat. Bagi calon, siapa pun tidak lebih beruntung dibandingkan dengan calon inkamben. Adalah pejabat aktif yang mencalonkan kembali menjadi pejabat. Bisa saja calon kepala desa, calon bupati, calon gubernur, calon DPR serta calon presiden.
Hal membingungkan yang diatur pemerintah untuk masyarakat adalah mengenai status calon inkamben. Calon ini, dalam waktu bersamaan, menyandang dua status sekaligus, yang pertama ia sebagai calon kedua berstatus sebagai pejabat.
Kita akan bingung membedakan saat presiden Jokowi datang ke Trenggalek, apakah ia datang sebagai calon presiden, atau datang sebagai presiden. Meski status yang beliau pakai saat bekunjung adalah sebagai presiden, namun di sisi lain ia adalah calon presiden. Saya ingin datang pada saat presiden berkunjung karena ia presiden, namun saya terhalang oleh sikap netral karena dia adalah calon presiden. Di sisi lain, jika saya tidak datang karena alasan netral, itu pun juga tidak netral, karena sikap menolak datang dengan memandang statusnya sebagai calon dapat juga dinilai sebagai keputusan politis. Ini sangat membingungkan.
Meski banyak orang yang woles dengan perkara status ini, selalu yang diunggulkan adalah penjelasannya. Penjelasan yang tidak masuk akal, karena akalnya dibenturkan dengan pendapat yang lainnya. Masyarakat jadi bingung dibuatnya. Ada baiknya, lain kali, calon itu dibatasi saja selama satu periode.
BONUS:
8. Lembaga Sekolah Berhasil Tapi Tempat Kursus Masih Laris
Jika pemerintah gembar-gembor tentang keberhasilan sekolah-sekolah dalam menjalankan peran sebagai lembaga pendidikan, sebaiknya jangan langsung percaya. Jika pendidikan di Indonesia melalui sekolah-sekolah ini sudah berhasil, tentunya lembaga les, lembaga kursus, lembaga bimbingan belajar di Indonesia tidak laku. Faktanya, bimbel masih ramai diminati oleh sebagian besar masyarakat, bahkan malah kian menjamur dan meriah. Sebenarnya yang berhasil sekolah atau lembaga kursusnya?