Mencari Masa Depan Trenggalek: Antara Das Sein dan Das Sollen

(bagian pertama dari tiga tulisan)

Pilkada Trenggalek–tahapan demokrasi lokal di Kota Kripik–tahun 2015 telah usai. Diselengarakan KPU secara aman, tertib, damai, dan sukses tanpa menyisakan persoalan berarti dari seluruh rangkaiannya. Besar harapan masyarakat Trenggalek terhadap terpilihnya pasangan “PEMIMPIN” (Dr. Emil Elestianto & Mochammad Nur Arifin) untuk melakukan perubahan sebagaimana telah ditawarkan dalam visi-misi serta janji-janji kampanye mereka.

Menentunkan pilihan dalam sistem demokrasi, sebenarnya bukan peristiwa menang atau kalah. Memilih adalah suatu keberanian menentukan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Karenanya, terpilihnya Bupati Trenggalek dalam pilkada serentak itu–dan telah dilantik pada 17 Februari 2016 lalu—hendaknya kita jadikan entry point untuk merekonstruksi kinerja dan kebijakan jalannya roda pemerintahan, melalui reformasi birokrasi dan tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance and clean governence). It’s now or never, nex year will be too late.

Apabila pengalaman kita yakini sebagai guru terbaik, maka dalam catatan penulis, serunya konstelasi politik dalam proses rekrutmen jabatan bupati dan wakil bupati sering hasilnya tidak berbanding lurus dengan kinerja serta kebijakan yang dihasilkan oleh pasangan calon terpilih. Di sinilah demokrasi partisipatoris tidak boleh berhenti hanya pada tataran proses pemilihan yang bersifat prosedural, tetapi harus tetap berjalan sampai pada demokrasi substansial. Berupa, di antarnya, terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.

Dalam iklim demokrasi yang semakin terbuka, jabatan bupati dan wakil bupati memiliki makna penting bagi komunikasi politik antara suprastruktur dengan infrastruktur politik (rakyat). Karena itu, apabila pada medan terbuka tidak dimanfaatkan untuk menjalin komunikasi politik yang berkualitas dan masif, bisa dipastikan kualitas kehidupan berbangsa di kemudian hari akan mengalami hambatan.

Bagi parpol, pilkada adalah ujian politik sekaligus indikator bagi berfungsi atau tidaknya penyiapan kader-kader serta penyebaran pengaruh politik kepada publik. Jason dan Gable dalam Political Development and Social Change (1996) pernah menyatakan bahwa rekrutmen politik merupakan jalan untuk mewujudkan perubahan sosial. Masih menurut Jason dan Gable, rekrutmen politik berfungsi untuk mendorong transformasi seseorang dari status non politik menjadi aktor politik. Dan, aktor politik hanya bisa berperan optimal jika terbebas dari beban kepentingan pribadi. Mereka harus dijauhkan dari potensi-potensi conflict of interest yang bisa menimbulkan ganjalan-ganjalan politik.

Agregasi dan artikulasi politik parpol sebagai wadah penyiapan pemimpin memiliki peran strategis bagi seleksi kader kepemimpinan memainkan peran spesifik dalam jabatan-jabatan politik. Di situ, kader sengaja disiapkan menjadi duta parpol di arena publik. Konsekuensinya, seorang kader harus mampu menerjemahkan ideologi dan visi parpol ke dalam tindakan konkret, dengan senantiasa menjunjung tinggi profesionalisme dan etika publik. Kegagalan kader dalam mengemban peran dan tanggung jawabnya bisa berdampak pada merosotnya legitimasi parpol di mata publik.

Rekrutmen politik dalam setiap even-even politik, semestinya dilakukan secara ketat dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya. Meskipun ketentuan dalam revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 telah menghilangkan mekanisme uji publik bagi bakal pasangan kepala daerah, mekanisme rekrutmen yang dilakukan parpol harus lebih berorientasi kualitatif dengan menempatkan kapasitas intelektual, integritas, leadership, kompetensi keahlian, dan totalitas pengabdian sebagai persyaratan pokok. Tradisi rekrutmen politik yang tertutup, transaksional, menonjolkan aspek senioritas, koneksi, dan popularitas sudah saatnya ditinggalkan. Langkah ini efektif untuk mendongkrak legitimasi calon pemimpin di mata publik sekaligus membuat demokrasi menjadi harapan yang realistis.

Tanpa bermaksud memberikan dukungan atau menolak pasangan calon bupati-wakil bupati terpilih, penulis bermaksud melakukan discourse bagi kemajuan Trenggalek di masa yang akan datang. Lontaran discourse ini dimaksudkan untuk memberikan sketsa pemahaman terhadap kondisi geopolitik Trenggalek supaya menjadi preferensi bagi pengambil kebijakan dari sudut pandang yang tepat. Kesadaran obyektif “Pemimpin” dalam melihat Trenggalek menjadi variabel utama yang harus dipahami untuk menentukan style kepemimpinan model apa yang dibutuhkan. Sehingga kebijakan-kebijakan yang akan dicetuskan bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak benar-benar mencerminkan kebutuhan obyektif yang diharapkan masyarakat.

Penerjemahan kondisi obyektif dalam kebijakan pemerintah adalah ketepatan pemerintah menangkap dan menerjermahkan bahasa aspirasi menjadi bahasa kebijakan, yang lantas menjadi bahasa publik. Pemahaman parsial-spekulatif terhadap kondisi obyektif, tentu akan melahirkan kerja spekulatif yang dapat membawa “korban generasi” di setiap periode masa pemerintahan. Dan pada gilirannya, rakyat hanya diletakkan pada posisi sebagai alat pencapaian ambisi pribadi penguasa, selain pemerintah(an) sendiri bisa mengalami degradasi fungsional.

Kiranya sangatlah tepat apabila dalam kata-kata bijak ditegaskan bahwa: “Sejarah adalah guru yang paling bijaksana.” Sejauh mana kita berguru pada sejarah, tergantung pada tingkat obyektivitas sejarah tersebut. Sejarah telah mencatat bahwa Kabupaten Trenggalek pernah mengukir masa kejayaan atas kepemimpinan bupati yang melegenda dengan kebijakan populisnya seperti pada masa kepemimpinan Adipati Minak Sopal dengan komitmen religiousitas dan kebijakan irigasi, kepemimpinan Bupati Mangoen Negoro II (Kanjeng Jimat) dengan sisi kharismatik dan kearifan lagi bijaksananya serta Bupati Soetran (1968-1974) dengan kebijakan pertanian cengkih dan pembangunan infrastruktur jalan hingga ke pelosok pedesaan.

Keberhasilan bupati-bupati yang merakyat tesebut tidak lepas dari komitmen yang tinggi terhadap bumi Trenggalek dengan melibatkan partisipasi aktif dari rakyat dalam setiap design kebijakan pembangunan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Sehingga out put kepemimpinannya dapat dinikmati secara langsung masyarakat Trenggalek dan diapreasi berbagai pihak jauh hari melampaui zamannya.

Seorang ilmuwan sosial Marvin Rintala mengingatkan: “Bahwa setiap zaman melahirkan generasinya sendiri, demikian pada setiap generasi yang besar hanya lahir sekali. Ada zaman yang mampu melahirkan generasi besar yang melampaui kebesaran zamannya. Sebaliknya, ada zaman yang melahirkan generasi kerdil; generasi epigon yang tidak mampu keluar dari keruwetan zamannya, bahkan tenggelam di dalamnya.” Sejarah juga bukan sekedar narasi yang menjadi ritual-seremonial wajib untuk diperingati. Tetapi sejarah adalah sebuah fakta, faktor, fungsi dan peran masa lalu yang harus direkonstruksi dengan perspektif dan melibatkan masa kini untuk dijadikan pelajaran dalam menatap masa depan.

Berdasarkan thesis Marvin tersebut, penulis menyadari bahwa sesungguhnya sia-sialah membuat perbandingan kepemimpinan pada suatu periode masa pemerintahan tertentu dengan periode masa pemerintahan lainnya apalagi dengan pemerintahan di daerah lain. Karena setiap periode kepemimpinan memiliki potensi, kendala dan tantangan yang berbeda baik faktor sosial-politik kekinian dan kedisinian maupun faktor leadership yang melekat pada diri seorang bupati yang mengendalikan jalannya roda pemerintahan.

Legitimasi otoritas kebijakan pemerintah masa kini tidak boleh melupakan begitu saja kebijakan positif yang telah dihasilkan pemerintah masa lalu. Siapapun yang berkuasa harus belajar pada kaidah yang mengatakan bahwa Al-Muhafazhatu ‘ala Al-Qodim al-Shalih wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Ashlah, yakni mengambil kearifan dan sisi positif dari pemerintahan masa lalu yang baik dan dan mengambil langkah-langkah kebijakan baru yang lebih baik. Jadi, memahami dan menghargai hal-hal terbaik dari kebijakan masa lalu merupakan landasan kerja terpenting masa kini untuk memproyeksikan kemungkinan yang terjadi di masa mendatang.

Tanpa bermaksud menafikan jasa bupati-bupati yang lain, siapapun bupati Trenggalek patut mengapresiasi dan mereplikasi kebijakan Bupati Minak Sopal, Kanjeng Jimat dan Soetran yang mampu menempatkan rakyat sebagai abdi yang harus dilayani sesuai dengan kebutuhannya. Jika di dalam dunia bisnis ada ungkapan “pembeli adalah raja”, maka perlu ditumbuhkan kesadaran yang melandasi karakter kepemimpinan publik dalam memberikan pelayanan kepada rakyat layaknya member layanan seorang raja. Masyarakat sebagai pihak penerima manfaat dari kebijakan pemerintah harus dipenuhi kebutuhannya dengan mengesampingkan afiliasi politik, latar latar belakang sosial-ekonomi, agama, pendidikan dan budayanya.

Dalam posisinya sebagai pelayan publik, pemerintah dituntut bisa bekerja, berkarya, sesuai dengan tuntutan publik. Meskipun dalam realitas empirik, tidak sedikit adanya layanan publik yang terbengkalai dan terjadi abuse of power yang dilakukan pemerintah yang sedang berkuasa dan sejumlah kebijakan diskriminatif yang tidak berpihak kepada rakyat. Dengan menggunakan parameter HDI (Human Development Index), ada tiga isu global yang mendesak untuk diterjemahkan menjadi isu lokal sebagai tolok ukur bagi tingkat kemajuan suatu daerah yaitu: pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Artinya bahwa tingkat kemajuan pendidikan suatu bangsa akan sangat dipengaruhi oleh sejauh mana pertumbuhan ekonomi dan pelayanan kesehatan suatu masyarakat. Sementara itu perkembangan ekonomi dan layanan kesehatan memiliki korelasi positif yang menentukan tingkat keberhasilan pendidikan. Demikian halnya dengan keberhasilan layanan kesehatan masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kemajuan ekonomi dan pendidikan masyarakat.

Realitanya, ketiga sektor layanan publik tersebut sering diabaikan dan tidak menjadi prioritas dalam kebijakan suatu pemerintahan. Hal ini tecermin pada indeks kepuasan masyarakat terhadap kinerja SKPD di lingkup Pemerintah Kabupaten Trenggalek yang masih sangat rendah. Hingga tahun 2015 di Kabupaten Trenggalek baru terdapat 4 SKPD (1,6%) telah memiliki sertifikat mutu pelayanan ISO 9001-2008 dari sejumlah 40 SKPD, yaitu Puskesmas Rejowinangun, Puskesmas Gandusari, RSUD Dr. Soedomo dan Kantor Perizinan dan Penanaman Modal (KPPM).

Sedang di bidang pendidikan dari sisi pengelolaan aset tanah dan bangunan untuk 426 SDN yang telah bersertifikat atas nama Pemerintah Kabupaten Trenggalek kurang dari 50 %, selebihnya belum bersertifikat masih berbentuk hibah aset milik desa. Apalagi kalau diliat dari segi kualitas layanan mutunya, saya kira masih terlalu jauh dari standard yang diharapkan. Rendahnya standard mutu pelayanan publik, memerlukan adanya good-will pemegang kebijakan dan reformasi birokrasi secara menyeluruh yang dalam bahasa Presiden Jokowi disebut dengan revolusi mental.

Ke depan dibutuhkan pengelolaan kebijakan pelayanan publik yang mampu memenuhi prioritas kebutuhan utama yang menjadi harapan masyarakat. Bupati selaku kepala pemerintahan bersama DPRD memiliki peran sebagai fasilitator dengan mendengarkan aspirasi rakyat dan merumuskannya menjadi perencanaan yang baik. Formulasi perencanaan tersebut mesti diperjuangkan menjadi kebijakan strategis dan dilaksanakan sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan. Untuk menjamin kesinambungan ritme jalannya pemerintahan diperlukan adanya pemeliharaan terhadap sebuah kebijakan dan yang tidak kalah penting selalu dilakukan evaluasi secara berkala. Pertanyaannya adalah dari mana kita memulai? Perubahan tatanan kebijakan poleksosbud di Indonesia kecil bernama Trenggalek menuju yang lebih baik tidak akan bisa terwujud tanpa melakukan pencerahan terhadap rakyat dilapisan grass root.

Bupati dan pemegang tampuk pemerintahan boleh datang dan pergi, tetapi komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat mesti diprioritaskan sebelum menggagas kebijakan-kebijakan yang lain. Dalam ilmu politik ada istilah demokrasi meritokrasi, yaitu demokrasi yang menekankan pada pencerahan para pelaku demokrasi. Sebab, jika pelaku demokrasi dikuasai orang-orang bodoh dan tidak memiliki komitmen moral yang kuat, maka yang terjadi justru menyuburkan praktik-praktik monopoli, oligolpoli, casino economy, KKN dan pengebirian hak-hak politik. Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat harus pintar dan berdaulat atas dirinya sendirinya untuk menentukan masa depan pemerintahannya.

Artikel Baru

Artikel Terkait