Pernah makan ikan laut? Katakan saja sering. Kalau sampai mengaku lebih sering makan daging daripada ikan laut, sedang sampean masih hidup di wilayah Trenggalek, maka sampean dalam masalah. Mengapa bisa begitu? Ya karena pasokan ikan laut di Trenggalek lebih besar daripada pasokan daging. Ikan laut lebih mudah ditemui daripada daging.
Secara geografis, selain daerah pegunungan, Kabupaten Trenggalek berada di pinggir laut. Ada tiga kecamatan yang berdekatan dengan pantai, yaitu Kecamatan Watulimo, Kecamatan Munjungan dan Kecamatan Panggul. Ketiga kecamatan tersebut berada di dekat pantai laut selatan.
Tiga kecamatan yang saya sebut tentu memiliki tata-cara mencari ikan seperti umumnya tradisi masyarakat yang tinggal di pesisir. Tradisi mencari ikan itu salah satunya bernama ngadim. Ngadim merupakan sebutan untuk aktivitas nelayan ketika menangkap ikan dengan menggunakan perahu dan jaring. Jadi, ikan laut yang sering kita makan itu, di antaranya berasal dari ngadim.
Sebetulnya proses penangkapan ikan tidak semudah seperti yang ditampilkan dalam siaran di televisi: “mancing mania” atau dari discovery channel. Nelayan kita mempunyai cara sendiri dalam menangkap ikan. Untuk mengetahui bagaimana cara mereka menangkap ikan, saya akan sedikit bercerita. Kebetulan saya pernah ikut ngadim beberapa kali. Jadi apa yang saya tulis ini berdasarkan pengalaman ketika ngadim, bukan cuma berdasar asumsi.
Daerah yang berada di wilayah pantai, seperti biasa selalu memiliki aktivitas penangkapan ikan laut. Ketika kita berada di salah satu pantai, kita akan mudah menemui perahu penangkap ikan maupun perahu pancing. Dari tiga kecamatan pesisir di Trenggalek, Kecamatan Watulimo memiliki aktivitas ngadim terbesar dibanding dua kecamatan lain. Karena didukung oleh pelabuhan ikan yang berada di Watulimo, tepatnya di Desa Tasikmadu.
Ngadim merupakan jenis aktivitas musiman, para nelayan tidak pergi ke laut untuk mencari ikan sepanjang waktu. Polarisasi perpindahan ikan (migrasi) dari satu tempat ke tempat lain menimbulkan kelangkaan ikan di seputar Teluk Prigi. Biasanya kelangkaan ikan ketika tiba “padang bulan” sebagai salah satu tandanya. Setidaknya begitulah anggapan masyarakat selama ini. Padahal menurut keterangan para nelayan, sebenarnya ikan tetap ada di musim padang bulan tersebut. Tetapi jika bulan menampakkan diri, pantulan cahaya akan menyebar ke seluruh penjuru laut. Sang mantho (pendeteksi posisi ikan) yang bertugas mengarahkan juru mudi ke arah posisi ikan, akan kesulitan mendeteksi ikan.
Jenis ikan yang ditangkap para nelayan pada malam hari rata-rata adalah ikan rengis, ikan teri, ikan semar, dan ikan-ikan lain yang cenderung selalu menggerombol. Saat malam hari gerombolan ikan tersebut akan mudah dikenali mantho, karena gerombolan ikan tampak menghasilkan efek kilatan putih (kelap-kelap) di dalam air laut. Nah, jika padang bulan, antara kilatan ikan laut dan cahaya pantulan bulan akan sangat sulit untuk dibedakan. Karena itu aktivitas para nelayan menangkap ikan dibatasi dengan munculnya cahaya bulan.
Para pelaut sangat jeli mengenali penanggalan bulan. Oleh karenanya mereka bisa memprediksi kapan datangnya bulan. Misalnya para nelayan berangkat jam 5 sore, mereka sudah memprediksi bahwa bulan akan muncul jam 10 malam, sehingga ketika bulan menampakkan diri jam 10 malam, sang juru mudi akan mengarahkan perahunya ke pantai alias pulang. Dapat tangkapan ikan atau tidak dapat.
Sepanjang pengalaman ngadim bersama Perahu Piala selama 7 hari, saya berhasil mencatat selama 3 hari menghasilkan ikan dan 4 hari tidak memperoleh ikan sama sekali. Bekerja di laut memang seperti mencari peruntungan. Nelayan tradisional tidak mengetahui posisi ikan sejak di darat, biasanya juru mudi yang bertugas menjalankan kapal menggunakan feeling untuk memperkiraan di mana posisi ikan. Terkadang mereka juga menggunakan jasa orang pintar (semacam paranormal).
Biasanya satu kapal jenis payang (porsein) diisi oleh 25 sampai dengan 30 orang. Terdiri dari 1 juru mudi, 1 mantho, 10 awak (:baca tenaga—yaitu orang yang sudah menjadi awak kapal tetap) dan sisanya adalah orang-orang yang secara sukarela ikut melaut. Bukan cuma itu, ada perahu jenis jonson (perahu untuk membawa hasil tangkapan ikan) yang selalu menguntit ke mana pun perahu payang pergi. Di jonson setidaknya terdapat 4 orang awak kapal.
Perahu dijalankan sesuai kehendak juru mudi. Selama mantho tidak melihat ikan, selama itu pula perahu terus bergerak menyusuri ganasnya lautan. Laut tidak selamanya tenang seperti yang biasa terlihat dari tepi pantai. Di tengah laut, angin sangat menentukan arus laut. Saat lautan tenang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi saat laut sedang bergolak, bagi yang tidak pernah ngadim, siap-siap saja untuk terkocok perutnya alias muntah-muntah.
Air laut yang bergolak bisa mengguncang perahu sekehendaknya, bahkan perahu bisa benar-benar berdiri ketika melewati gelombang tinggi. Kamu bisa membayangkan seperti posisi tangan menempeleng nyamuk. Ya seperti itu, perahu yang semula bergoyang, tiba-tiba berdiri hampir jejak, dan selanjutnya dihempaskan sekuat-kuatnya ke permukaan air. Orang macam saya ini, yang bukan nelayan murni, akan langsung teringat Tuhan, betapa kita ini bukan siapa-siapa.
Jadi sangat wajar jiika para nelayan cenderung punya tipikal galak. Bagi saya kekasaran dan kerasnya bentakan mereka saat di tengah laut merupakan manifestasi untuk memotivasi diri. Bayangkan, banyak sekali ketakutan-ketakutan yang ditemui di tengah laut. Dengan berkata-kata kasar sebenarnya bisa dipahami sebagai upaya untuk menguatkan. “Howee coook… matamu, ojo meneng wae, tariken jaringe….” Kalimat seperti itu terdengar sangat biasa.
Jika nasib sedang beruntung, semalam bisa menemukan 3 sampai 4 gerombol ikan, artinya selama itu pula tawur dilakukan. Tawur adalah aktivitas menyebarkan jaring pada posisi strategis di mana ikan berada, dan menariknya kembali secara bersama-sama. Kalau nasib baik, dua kali tawur bisa memenuhi perahu jonson. Bahkan jika sedang musim ikan, perahu jonson maupun payang bisa penuh dengan ikan. Artinya para nelayan bisa mendapatkan imbalan atas usaha keras secara gotong royong ini. Saat seperti itu, saya bisa melihat wajah kebahagiaan para nelayan. Ikan hasil tangkapan diletakkan di perahu jonson, kemudian dimasukkan ke dalam krenjang dari bambu. Awak kapal yang berada di jonson lah yang mengerjakan itu.
Tawur tidak selalu menghasilkan ikan, terkadang ikan dapat tertangkap atau terkadang ikan bisa lolos dari jaring. Bisa juga ikan berhasil lolos karena bantuan lumba-lumba. Saya baru mengetahui ada banyak ikan lumba-lumba di teluk prigi pada saat ikut ngadim. Menurut kebanyakan nelayan, salah satu musuh nelayan paling penyeramkan di laut adalah lumba-lumba. Ikan cerdas yang banyak dikenali orang melalui sirkus ini bisa merobek jaring dengan satu hentakan. Dari atas perahu, saya bisa melihat ada selusin lomba-lomba berenang mengitari jaring, terkadang mereka berenang sangat dekat dengan perahu. Menurut nelayan, lumba-lumba mencuri ikan yang telah terjebak di dalam jaring. Tapi menurut asumsi saya, sebenarnya kitalah yang sedang mencuri ikan-ikan tersebut dari lumba-lumba. Setidaknya asumsi saya ini muncul ketika sering melihat chanel TV: National geographic.
Ikan telah didapat, nelayan kembali ke pantai untuk menjual ikan. Rasa was-was dan takut di tengah laut terbayarkan oleh penghasilan ikan, meski terkadang tidak dibayar apa-apa. Para nelayan yang ikut ngadim salah satu perahu di Pantai Prigi tidak memiliki surat kontrak dan kepastian pendapatan. Sistem gotong royong dan saling pengertian merupakan sifat yang telah diturunkan antargenerasi. Dapat ikan dibagi, tidak dapat ya tidak apa-apa. Mereka sepenuhnya sudah sangat memahami alur ngadim.
Pembagian hasil tangkapan ikan juga tidak dibagi rata, juru mudi tentu mendapat bagian paling banyak, dia adalah orang yang tidak pernah tidur sepanjang ngadim. Kemudian diambil bagian untuk perahu (biaya operasional bahan bakar dan lain-lain). Untuk para tenaga dan nelayan lain mendapatkan bagian sama, misalnya saya mendapatkan satu plastik besar, yang lain pun juga mendapat ukuran yang sama. Sebenarnya itu tergantung manajemen dari pemilik perahu masing-masing.
Dari keikutsertaan saya mengikuti ngadim dan dari hasil ngobrol, saya menemukan ketidakadilan sistem dalam memperlakukan nelayan dan hasil tangkapannya. Bukan rahasia umum, bila nelayan tidak bisa menentukan harga ikan sendiri. Mereka sepenuhnya manut dengan harga yang disebutkan para pembeli. Meski di pelabuhan prigi terdapat TPI (Tempat Pelelangan Ikan), setahu saya tidak ada yang namanya lelang ikan.
Entah bagaimana proses penentuan harga ikan, nelayan hanya tahu bahwa hari tertentu harga ikan ini adalah segini. Melihat jerih payah mereka di tengah lautan, rasanya memang tidak terima jika hasil yang mereka peroleh tidak bisa mereka tentukan sendiri harganya. Setidaknya pihak TPI men-display harga ikan di layar monitor besar seperti yang dilakukan TPI di kawasan Blitar. Jadi nelayan tahu berapa harga ikan pada saat itu.
Rumus penentuan harga ikan saya perkirakan seperti ini, jika jumlah pasokan ikan banyak, maka harga cenderung menurun. Dan jika pasokan ikan sedikit, harga ikan bisa naik. Tidak peduli saat itu musim ombak. Harga yang berlaku ya seperti itu.
Masalah yang lain juga saya temui, ketika saya ngubengi pasar-pasar di daerah Trenggalek bagian kota, ternyata ikan kali lebih banyak mendominasi pasar daripada ikan laut. Lalu ke mana perginya ikan laut ber-krenjang-krenjang yang dihasilkan dari pantai prigi? Rata-rata ikan masuk ke pemindangan. Dan yang lain dibawa ke daerah Malang dan Surabaya. Jika diakui bahwa pelabuhan ikan di Prigi merupakan pelabuhan nomor dua terbesar di Jawa Timur, lalu kenapa persebaran ikan laut di Trenggalek tidak merata? Bahkan harga di pasar kota bisa tiga kali lipat lebih mahal dari harga di pelabuhan. Padahal, setahu saya, harga yang ditetapkan oleh pembeli kepada neelayan relatif lebih murah.
Nelayan harus diperhatikan, itulah harapan saya. Mudah-mudahan saja Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) sudah berupaya maksimal untuk lebih menghargai hasil tangkapan ikan oleh nelayan. Sehingga nelayan bisa lebih menikmati hasil kerja keras di tengah laut melawan ombak dan dinginnya angin malam. Memperhatikan nelayan dan menghargai mereka lebih dari saat ini, juga merupakan upaya untuk memajukan Trenggalek. Jadi, bukan cuma aturan untuk melarang nelayan dalam aktivitas ini dan membolehkan aktivitas itu saja. Lebih dari larangan dan aturan ketat tertentu, nelayan tetap butuh penghargaan dan kesejahteraan.