Banyak negara maju di dunia, menggunakan teknologi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Secara bertahap, perkembangan teknologi secara langsung didorong oleh semakin tingginya jumlah penduduk. Jared Diamond dan Yuval Noah Harari, sepakat bahwa heterogenitas dan kompleksitas masyarakat mendorong revolusi teknologi untuk menjawab permasalahan dan kebutuhan masyarakat.
Ekonomi, di masa sekarang, tidak hanya mengandalkan sumberdaya modal dan tenaga kerja, tetapi juga mulai memfokuskan diri pada intelegensia, ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan dan modal sosial adalah aset yang paling berharga (Lee, 2014). Lebih lanjut seorang futurologist, Alfin Toffler, dalam bukunya The Thirth Wave (1980), dengan optimis menyatakan adanya gelombang ketiga ekonomi yang berbasis otak (minds). Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh Baier (2016), membuktikan hipotesis Lee dan ramalan Toffler bahwa modal dan tenaga kerja hanya berkontribusi 12% terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara itu sisanya (88%) ditentukan oleh kemajuan teknologi.
Perkembangan teknologi merupakan hasil dari riset sebuah bangsa. Di Indonesia, kebijakan pemerintah kurang mendukung budaya riset yang hanya mengalokasikan anggarannya sebesar 0,25% dari GDP (ideal 2%). Bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia sebesar 1,8 persen, Vietnam sebesar 1,1 persen, dan Singapura mencapai 2,8 persen (beritagar.id).
Sebenarnya, kecilnya alokasi riset tidak menyurutkan semangat generasi muda dan akademisi untuk berinovasi dan kita banyak melihat penemuan-penemuan baru di bidang teknologi. Tapi permasalahannya adalah sebagian besar inovasi dan penemuan tersebut tidak diapresiasi lagi tidak digunakan. Begitu juga dengan pasar yang lebih mengandalkan barang-barang impor daripada potensi lokal atau mereka mengambangkan inovasi teknologi secara mandiri. Tidak ada interaksi mutualisme antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan, akademisi sebagai penghasil teknologi dan inovasi serta pasar sebagai pengguna teknologi. Perlu sebuah solusi komprehensif. Salah satu solusi tersebut adalah technopark.
Raksasa-raksasa ekonomi dunia telah memiliki banyak technopark. Pada mulanya technopark muncul di Amerika Serikat pada tahun 1950 dengan menumbuhkan Silicon Valley yang terkenal itu. Technopark juga tumbuh di Eropa pada tahun 1960-an kemudian merambah ke Asia melalui Rusia, India, China, Korea Selatan, Jepang, Singapura dan Malaysia.
Di Indonesia sendiri telah berdiri beberapa technopark yang dianggap berhasil seperti Solo Technopark, Bandung Technopark, Sragen Technopark, Jababeka Technopark dan Agro Technopark. Target dari pemerintah sendiri adalah menumbuhkembangkan 100 technopark sampai dengan tahun 2019 yang sayangnya sampai saat ini capaiannya sangat jauh dari target. Terdapat 5 kementerian/lembaga yang bertanggung jawab terhadap pencapaian target tersebut di antaranya Kementan, Kementerian Perikanan, LIPI, BPPT dan BATAN.
Technopark merupakan sebuah kawasan terpadu yang dikelola secara profesional di mana inovasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia produksi dan komunitas lokal (kewirausahaan) dan perbankan berinteraksi untuk menumbuhkan ekonomi lokal. Beberapa prasyarat yang harus ada di technopark di antaranya: 1) Harus berbentuk kawasan di lokasi yang strategis; 2) Pengelola yang profesional; 3) Terdapat sumber pengetahuan, ide dan pengetahuan dari Perguruan Tinggi; 4) Terdapat perusahaan start-up berbasis teknologi dan inovasi; 5) Terdapat inkubator bisnis untuk mengelola produk inovatif untuk siap terkomersialisasi ke industri; dan 6) Mampu menarik industri ke kawasan.
Bagaimana Penerapannya di Trenggalek?
Trenggalek sendiri sedang giat-giatnya membangkitkan aktivitas ekonomi warganya. Berbagai macam program dicanangkan dan digelontorkan pendanaannya melalui penciptaan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, yang sayangnya masih belum berbasis pada kawasan. Jangkauan pelayanannya masih sangat sempit. Sebut saja berbagai program pembangunan “Rumah Komoditas” seperti rumah susu, rumah coklat dan rumah durian dengan stake-holder yang terbatas. Harus diakui, berbagai “rumah” tersebut merupakan embrio dari technopark atau dalam terminologi Indonesia lebih familiar dengan sebutan teknopolitan.
Berbagai konsep “rumah” tersebut mau tidak mau harus menjalankan fungsi utama technopark yaitu sebagai unit inkubator bisnis. Inkubasi secara sederhana bisa dimaknai sebagai upaya memproses individu manjadi inovator/wiraswasta yang produknya siap dikomersialisasi. Jadi salah satu output dari unit inkubator tersebut adalah berapa jumlah wirausaha berbasis inovasi yang ditumbuhkan. Jadi, rumah tersebut bukan semata tempat display produk.
Idealnya, cara kerja unit inkubasi bisnis adalah mengikuti sebuah alur produksi input-process-output. Katakanlah ada masyarakat yang memiliki sebuah ide bisnis. Melalui unit inkubasi bisnis (technopark), ide tersebut akan “digodog” kelayakannya melalui kerja sama dengan perguruan tinggi lewat risetnya, kemudian dihubungkan dengan industri yang telah mapan sebagai mitra bisnis. Masyarakat dengan ide bisnis tersebut akan dibina step by step sampai produknya siap dikomersialisasi ke industri. Technopark juga bertugas untuk memfasilitasi kebutuhan modal dari lembaga keuangan. Cara kerja tersebut mensyaratkan adanya kolaborasi antara akademisi, dunia industri, komunitas dan pemerintah daerah (ABCG).
Sektor bisnis di Trenggalek bisa dikatakan masih dalam kondisi yang timpang tanpa adanya stake holder linkage (ABCG). Bisa dikatakan UKM di Trenggalek masih kekurangan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perguruan tinggi sebagai penghasil IPTEK dan ruh technopark tidak ada di Trenggalek, paling tidak ada universitas di Malang, Surabaya, Solo, Yogyakarta tetapi sangat tidak mungkin mengirimkan ilmuwannya (tenaga profesional) tinggal lama di Trenggalek. Kondisi inilah kemudian memaksa pelaku kreatif atau UKM untuk secara otodidak mengembangkan produknya.
Sebuah technopark juga memerlukan keberadaan perusahaan besar sebagai anchor tenant industry yang akan bekerja sama dengan perusahaan start-up dalam bentuk join research, pengembangan produk dari industri yang bersangkutan, transfer knowledge, dan cross learning process selama berinteraksi di kawasan technopark. (Bappenas, 2015). Perusahaan besar juga dapat membantu pembiayaan untuk komersialisasi produk-produk start-up baik dalam bentuk kerja sama bisnis ataupun yang sifatnya “angel investment”. Karena dibutuhkan biaya tinggi untuk komersialisasi produk inovatif mulai dari proses penelitian dan pengembangan hingga pembuatan prototype dan market study.
Keberadaan anchor industry akan mendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan start-up dan memotivasi perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk terus berinovasi. Perusahaan start-up yang telah “lulus” dari proses inkubasi (spin-off) atau telah berhasil mengomersialisasikan produknya dapat bergabung ke dalam kawasan industri di dalam technopark ataupun berdiri secara mandiri di luar technopark.
Perusahaan anchor tenant sangatlah penting keberadaannya untuk menumbuhkan perusahaan start-up di Kabupaten Trenggalek. Pertanyaannya adalah, perusahaan apa dan di mana yang akan menjadi anchor tersebut? Berhasil tidaknya sebuah technopark salah satunya adalah mampu menarik industri ke dalam kawasan. Jadi, sangat perlu dipikirkan kembali jika ingin membangun technopark, paling tidak sudah jelas siapa perusahaan yang sebenarnya, tidak harus besar (paling tidak menengah), yang akan membantu para calon start-up.
Pembangunan technopark juga harus berbasis potensi lokal. Sebut saja Solo Tehnopark yang berbasis pada manufaktur; Bandung Technopark yang berbasis pada teknologi informasi dan telekomunikasi; atau Sragen Technopark yang berbasis industri agro. Trenggalek sebagai kawasan yang perekonomiannya menggantungkan pada sektor pertanian (30% kontribusi PDRB, walau kontribusi dan tenaga kerjanya terus-menerus menurun), maka unit inkubator bisnisnya menumbuhkan wirausaha yang bergerak di sektor pengolahan komoditas pertanian. Pertanyaannya adalah, komoditas apa saja yang akan diinkubasi? Lebih baik mengembangkan sedikit komoditas yang fokus daripada semua komoditas yang akhirnya tidak menghasilkan apa-apa. Tentunya hal tersebut harus memperhatikan market atau demand karena keberlanjutan sektor pertanian sangat bergantung pada permintaan pasar.
Terakhir, Seberapa Penting?
Dalam upaya mencapai daya saing daerah, maka pembangunan sebuah technopark sangatlah penting. Technopark akan menjalankan 3 fungsi utama yaitu: 1) Unit inkubator bisnis yang akan menghasilkan wirausaha baru (start-up) berbasis inovasi; 2) Unit pengembangan teknologi yang menghasilkan sejumlah teknologi baru yang didiseminasikan; serta 3) Unit pelayanan teknis yang menghasilkan pelayanan usaha kecil. Dalam jangka panjang keberadaan technopark akan memberikan outcomes: 1) Meningkatnya sumbangan perekonomian lokal; 2) Terbangunnya sistem pertanian terpadu di kabupaten; 3) Terbangunnya klaster industri berbasis inovasi; dan 4) Terbangunnya ekosistem perekonomian berbasis pertanian.
Keberadaan berbagai “Rumah” produk unggulan di Kabupaten Trenggalek, meski pada kenyataannya memang belum signifikan mengangkat daya saing daerah, perlu diapresiasi. Berbagai upaya inovatif memang harus terus dijalankan. Terkait dengan technopark, inisiasi dan usaha pemerintah Kabupaten Trenggalek mulai memenuhi titik terang.
Berbagai stake holder seperti perguruan tinggi, swasta dan lembaga Litbang sudah mulai bermitra dengan Kabupaten Trenggalek. Kementerian Pertanian melalui Balai PengkajianTeknologi Pertanian (BPTP) mulai mencanangkan pembangunan Agro Technopark (Taman Teknologi Pertanian) yang fokus pada pengembangan komoditas kopi dan sapi perah. Sedangkan Universitas Brawijaya siap mengembangkan komoditas atsiri dalam wadah Science Techno Park (STP). Namun, jika melihat berbagai indikator keberhasilan sebuah technopark, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Kabupaten Trenggalek. Semoga bisa!
Trenggalek, 25-2-2019