Kepala desa masih menjadi salah satu jabatan yang cukup diperhitungkan di kalangan masyarakat perdesaan. Selain dalam tataran administrasi, kepala desa juga memiliki kedudukan yang lebih dituakan dari jabatan lain. Kedudukan lebih ini didapatkan bukan sekadar dari memenangkan suara ketika pilkades, tetapi juga didapatkan dari tatanan sosial selama bertahun-tahun, bahkan mungkin berabad-abad. Posisi tersebut selalu identik dengan legitimasi tertinggi dalam mengambil keputusan di suatu desa.
Entah kekuatan apa yang ada di balik wibawa ini. Ketika kepala desa sudah memutuskan, maka akan menjadi sebuah keharusan bagi orang-orang di sekitarnya untuk mematuhi. Fenomena seperti ini tak jarang menimbulkan lemahnya kontrol masyarakat terhadap kebijakan yang diambil oleh desa atau kepala desa. Bukan persoalan masyarakat yang selalu setuju dengan keputusan tersebut, melainkan karena “jabatan yang dianggap sakral” ini yang membuat masyarakat bungkam.
Jika sudah demikian, tak jarang masyarakat akan merasa tersisih dan tidak ikut menikmati pembangunan yang dilakukan pemerintah desa.
Dalam sejarah masyarakat desa, kalau kita mau lebih menyelisik, akan kita dapatkan berbagai cerita tentang pengucilan kelompok masyarakat tertentu oleh kepala desa dikarenakan tidak mendukung kebijakannya; atau tidak memilihnya saat pilkades. Bentuk pengucilan ini ada banyak macam, mulai dari tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial, tidak diajak musyawarah hingga tidak dilibatkan dalam pembangunan sarana-prasarana infastruktur.
Februai 2019 nanti adalah bulan yang sangat bersejarah, khususnya bagi desa-desa yang melakukan pemilihan kepala desa secara serentak. Di bulan tersebut akan diadakan proses demokrasi secara serentak di berbagai desa di penjuru tanah air. Proses ini sudah direncanakan dari jauh-jauh hari.
Memang dalam perkembangannya, beberapa saat yang lalu muncul surat edaran yang menyatakan bahwa proses pilihan kepala desa dilakukan setelah pemilu. Namun kebijakan tersebut dikembalikan lagi pada pemerintah daerah: apakah akan tetap melakukan proses sesuai jadwal ataukah akan melakukan pengunduran jadwal.
Lantas, apakah ada pengaruh antara pemilihan kepala desa dengan pemilihan umum? Jawabannya pastinya ada. Sebagai bahan uji, bisa diamati saat ini di kalangan masyarakat desa, topik-topik pembicaraan di berbagai tempat kebanyakan mengulas pilkades daripada pemilu. Soal apa yang akan terjadi setelah pemilihan kepala desa, kita juga belum tahu.
Sebagai bahan gambaran yang sudah terjadi, setelah pemilihan kepala desa, suasana masih akan sangat panas, baik dari kubu pemenang ataupun di kubu yang kalah. Untuk beberapa kejadian khusus, permusuhan antar-kubu ini akan tetap berlangsung sampai 2 tahun, bahkan hingga pada proses pemilihan selanjutnya. Kenapa saya katakan kejadian khusus. Karena hal tersebut hanya terjadi pada wilayah yang masih tradisional dan menjunjung tinggi nilai kekerabatan antar-warga. Nah, bagaimana dengan kondisi desa-desa di Trenggalek?
Setelah mendengar berbagai tata cara pemilihan kepala desa yang tertuang dalam Perbub No 53 Tahun 2016, ada sedikit kekhawatiran dalam benak saya. Sedikit pertanyaan yang ingin saya lontarkan terkait peraturan tersebut adalah, “dengan diterapkannya aturan tersebut, akankah kerukunan masyarakat desa bisa terjamin?”
Kenapa pertanyaan ini saya lontarkan. Berkaca dari setiap pemilihan kepala desa yang sudah-sudah, perpecahan itu terjadi bukan hanya antar-calon kepala desa, melainkan juga antar-pendukung. Poin yang paling membuat saya khawatir adalah bagian penyelenggaraan pemilihan yang terbagi menjadi beberapa TPS: dalam penghitungannya nanti akan jelas nampak, misalnya banyak atau sedikitnya pendukung calon kepala desa tertentu.
Seperti yang tercantum dalam Perbub No 53 Tahun 2016 Pasal 49, panitia pilkades diberi kebebasan untuk menentukan jumlah TPS sesuai dengan persetujuan calon kepala desa. Dalam kasus satu desa satu TPS, tentu tidak terlalu bermasalah. Namun pada kasus lebih dari satu TPS, akan tetap terlihat perolehan tiap-tiap TPS. Karena menurut prosedur perhitungan memang dilakukan pada salah satu TPS, namun hasil akhirnya adalah akumulasi perhitungan masing-masing TPS.
Sebenarnya pada tahapan itu masih belum menimbulkan masalah berarti. Tapi yang perlu diperhatikan adalah pasca terpilihnya kepala desa. Jika dibanding dengan pemilu (pemilihan presiden dan wakil presiden) memang tidak akan begitu banyak menimbulkan masalah, karena yang terpilih bukan orang yang secara kesehariaan akan bertemu langsung. Namun pada kasus kepala desa, selama mereka menjabat akan terus bersinggungan dengan masyarakat pemilihnya.
Ketika ploting pemilih terlihat, maka pembicaraan “orangnya lurah dan bukan orangnya lurah” bisa menjadi bahan candaan, bahkan pertikaian di masyarakat. Ini akan jelas berbeda ketika surat suara hasil pencoblosan dihitung dalam satu kotak. Suara akan membaur dan tidak akan ada pengkotakan mana TPS pemilih kepala desa terpilih; dan mana TPS yang tidak memilih kepala desa terpilih.
Saya percaya terhadap kepala desa terpilih nantinya bisa berlaku bijaksana dan adil terhadap semua proses pembangunan desa setelah terpilih, sehingga tidak akan membedakan wilayah mana yang pro dan wilayah mana yang kontra dengannya. Namun seyogyanya segala proses yang memungkinkan terjadinya efek negatif di masyarakat harus diminimalisir sejak awal, sejak proses penyusunan peraturan.
Kunci dari permasalahan yang akan muncul tersebut sebenarnya terletak pada panitia pemilihan kepala desa dan para calon kepala desa. Sebab menurut Perbub No 53 Tahun 2016 Pasal 49 Ayat (2), penambahan TPS bisa ditetapkan oleh panitia pemungutan suara berdasarkan persetujuan calon kepala desa. Sebagai orang desa, besar harapan saya agar segala proses demokratisasi di desa bisa berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
Saya sangat bersyukur jika seluruh desa yang melakukan pemilihan kepala desa bisa mengusahakan pemilihan dalam satu TPS. Namun untuk yang memilih lebih dari satu TPS, tolong dipastikan kesiapan calon dan masyarakat pasca pemilihan terhadap efek negatif yang akan terjadi.
Salam pilkades damai.