Sebagai orang yang hidup di jaman media sosial online, saya suka mengonsumsi budaya ber-medsos dengan cara yang, kadang santai kadang serius. Media sosial, sebagaimana arena kultural lain, merupakan ajang untuk mengonsumsi sekaligus memproduksi makna atas realitas sosial yang berseliweran. Beberapa hari lalu, melintas di timeline Facebook, sebuah status dengan judul “7 Meme lucu istri Bupati dan Wakil Bupati Trenggalek, jadi mau pindah!” Dengan tujuh foto istri Bupati dan istri Wakil Bupati Trenggalek, Arumi Bachsin dan Novita Hardiny, dalam berbagai pose dengan tulisan di masing-masing foto.
Ketujuh meme yang diupload di web brilio.net ditaut oleh halaman facebook Kota Trenggalek Jawa Timur tersebut menampilkan Arumi, istri Bupati Trenggalek, dan Novita, istri Wakil Bupati Trenggalek, berpose dengan konteks yang berbeda-beda disertai tulisan di setiap foto dengan wacana kecantikan kedua istri bupati dan wabup itu. Arumi Bachsin, dikenal masyarakat karena sering muncul di layar televisi, baik sebagai artis sinetron maupun dalam berbagai acara hiburan televisi.
Hampir semua aktris perempuan itu cantik, atau paling tidak akan menampilkan diri sebagai perempuan cantik (dengan standar cantik ala “blasteran”: hidung mancung, kulit putih, mata bulat). Kecantikan yang dilegitimasi dengan seringnya muncul di layar kaca menjadi modal utama bagi seorang aktris untuk tetap eksis di dunia industri hiburan. Sementara Novita, istri wabup, juga tampil tak kalah cantik dengan berkerudung dalam foto-foto meme tersebut.
Tulisan-tulisan pada meme menunjukkan wacana kecantikan istri bupati dan istri wakil bupati. Kalimat seperti “Warga di luar Trenggalek dibuat iri oleh keberadaan mereka,” seolah ingin mengatakan bahwa warga di luar Trenggalek, seperti kabupaten-kabupaten tetangganya, menjadi iri karena kecantikan ibu bupati dan ibu wakil bupati Trenggalek. Tentu kalimat seperti ini tak lebih sebagai guyonan belaka. Tentu juga karena tidak ada jajak pendapat terkait “kalimat pada meme” di kabupaten tetangganya.
Kalimat lainnya di meme, seperti “Kalau mereka cantiknya gini, pegawai pemerintahannya pada gagal fokus nggak ya kerjanya?” Sekali lagi, secara denotatif, kalimat-kalimat pada meme di atas mungkin dimaksudkan sebagai olok-olok atau bercanda. Namun apa makna konotatif atau mitos yang terbangun dari kalimat dan gambar pada meme?
Meme yang disebarkan melalui media sosial bisa mengonstruk identitas personal seseorang secara online. Facebook merupakan salah satu sosial media yang paling populer dan semakin banyak penggunanya mengintegrasikan media sosial ini dalam aktivitas sehari-hari. Dalam media sosial seperti Facebook, gambar atau foto meme akan bertahan lama di lini media sosial jika meme tersebut relevan, penting dan kontennya berpengaruh. Di Facebook, sebuah meme yang diunggah di timeline pengguna, akan tetap di sana memahat sejarah, kecuali oleh penggunanya dihapus.
Sebagaimana tanda, meme bisa diinterpretasikan sebagai penanda (signifier) dan dihubungkan dengan petanda (signified), yakni konsepnya. Oleh karenanya, sebuah meme selalu terkait dengan tanda yang lain: bisa mengonstruk makna denotatif, konotatif, mitos, serta mengandung ideologi tertentu.
Bagaimana sebuah meme dilihat dalam sebuah situs sosial media, sangat tergantung pada lingkungan konteks meme tersebut. Dengan kata lain, identitas personal online bisa diciptakan melalui makna konotasi yang melekat pada sebuah meme. Sebuah meme bisa menambahkan identitas personal yang sudah ada sebelumnya, atau jika sebuah meme kontradiksi dengan meme sebelumnya, bisa diasumsikan ada kompleksitas baru pada identitas personal secara online. Ada aspek yang tidak terungkap pada identitas seseorang.
Menaruh tautan musik dari Youtube misalnya, bisa menunjukkan bahwa orang tersebut penyuka musik tertentu, jadi terlihat keren dengan jenis musik kesukaannya. Sebaliknya, meme dengan tulisan “Proud to be a lesbian” misalnya, bisa memberikan ilustrasi bahwa pemostingnya adalah lesbian dan tidak ingin menyembunyikan identitas.
Bagaimana dengan meme istri bupati dan istri wakil bupati di atas? Bahwa meme di atas sudah jelas mewacanakan istri pejabat yang cantik. Mereka dikagumi oleh banyak orang di kabupatennya, karena “cantiknya kebangetan.” Popularitas Arumi telah terbukti sukses sebagai vote getter pada waktu pemilihan bupati dan wakil bupati tahun lalu yang menjadikan Emil Dardak memenangkan pemilihan Bupati Trenggalek.
Sampai sekarang, rasa gumun ini masih dieksploitasi dan dikembangkan melalui meme-meme tadi. Meme itu mengatakan bahwa seolah orang tidak percaya ada wanita secantik itu. Bisa jadi, ini menunjukkan bahwa orang memang tidak terlalu percaya pada apa yang mereka lihat di layar TV. Ditambah dengan istri wakil bupati yang juga cantik, maka sempurnalah rasa “gumun” itu, sehingga menutupi mata masyarakat terhadap posisi dan fungsi mereka sebagai (istri) pejabat publik.
Eksploitasi rasa gumun melalui meme-meme ini, mengembangkan ideologi “mental inlander”, yakni suatu bentuk “inferiority complex“ sebagai orang pribumi ketika berhadapan dengan orang asing, yang dianggap lebih superior, lebih canggih, dan lebih beradab. Istilah ‘inlander” ini diucapkan orang Belanda jaman kolonial untuk menyebut orang pribumi, yang tentu saja mengandung bias imperialisme. Istilah ini menyiratkan konstruk identitas yang melabeli orang pribumi, dan segala yang berasal dari dalam negeri terjajah ini sebagai inferior, bodoh, miskin, dan terbelakang. Sementara kolonial Belanda mengonstruk identitas diri dengan identitas yang berlawanan. Mental inlander dengan demikian, merujuk pada inferioritas ketika berhadapan dengan orang lain (orang baru atau orang asing).
Inferiority complex ditunjukkan meme tersebut melalui ekspresi kekaguman berlebihan terhadap kecantikan Arumi dan Novita. Standar kecantikan ‘blasteran’ menjadi ukuran kecantikan yang maksimal, sebagaimana dipaparkan oleh iklan-iklan kosmetik di layar kaca, baliho, majalah dan koran. Iklan-iklan kosmetik ini ditelan tandas tak tersisa, sekaligus direproduksi melalui ekspresi kekaguman terhadap ‘kecantikan’ seperti dalam iklan.
Dengan demikian, konsumsi dan persepsi konsep kecantikan ideal ini bukan sekadar selera dan citarasa personal, melainkan sudah patokan legitimate yang dibangun secara sosial. Nah, di situ kadang saya merasa sedih betul, karena klasifikasi tokoh masyarakat dipatok dari ukuran tampilan fisiknya: kecantikan blasteran, bukan lagi dari prestasinya untuk memenuhi peran dan fungsinya sebagai (istri) pejabat publik.
Sebetulnya, alih-alih menyanjung Ibu Bupati dan Ibu Wakil Bupati Trenggalek, “7 meme lucu” itu, tidak lebih hanya kian menunjukkan narasi mental inlander yang gampang gumun. Saya jadi ingat wejangan berbahasa Jawa , “Aja gumunan, aja kagetan.”