Pada suatu malam saya janjian dengan Misbahus Surur—cah Munjungan yang sekarang (n)dosen di UIN Malang—untuk ngopi bareng di Warung Huko.
”Oke, Mas!” itu jawaban yang hampir selalu saya terima darinya untuk urusan bertemu, ngopi bareng, glenikan, dan pada puncak kelelahan dan kantuk, bersama-sama menyepakati untuk numpang lelap di suatu tempat. Begitulah ketika kami sama-sama berada di Trenggalek. ”Tetapi,” demikian buntut jawaban yang semula seperti biasa itu menunjuk ke arah yang tidak biasa, ”saya ada janjian juga untuk berdiskusi dengan kawan-kawan, blogger Trenggalek, di PAMA.”
”Baiklah, nanti saya tunggu di Huko bersama beberapa teman,” jawab saya.
Lalu, bersama Pulung Nawawijaya dan Kendra Purnama, saya nyangkruk, ngopi dan ngudut bersama di Warung Huko, sementara Surur sudah asyik berdiskusi bersama sesama blogger. Lalu, kami berkomunikasi melalui aplikasi Whatsapp.
”Saya sudah di Huko. Ada Pulung juga di sini.”
”Ini diskusinya makin gayeng, sampeyan ke sini saja.”
”Kendra datang juga ini.”
”Ajaklah ke sini.”
”Saya tunggu saja, di sini.”
Lalu Surur mengirimkan foto suasana diskusinya, sambil menyebut siapa saja yang datang… pokoknya semacam hasutan lembut agar saya dan dua teman yang di Huko yang merapat ke PAMA. Dan itu berhasil, walau Kendra memilih tetap di Huko karena menunggu teman lain lagi yang sudah berjanji mau nimbrung tapi belum juga nongol.
Loh! Sungguh pertemuan yang sangat langka, ternyata! Ada Trigus, si penggagas pertemuan, ada Pak Cahyo yang dahulu kala saya kenal melalui mocaf (tepung singkong yang dimodifikasi sedemikian rupa agar layak untuk dibikin mie, kue, dan berbagai macam panganan olahan lainnya), ada Mas Edy, dan beberapa teman lain yang saat itu saya belum begitu kenal.
Tiba-tiba saya ditodong untuk berbicara soal pengalaman nge-blog. Setelah dalam sebuah pengantarnya (waktu itu siapa, ya?) dikatakan bahwa diskusi itu baru sebatas menjalin silaturahmi dan berbagi pengalaman antarsesama blogger yang ada di Trenggalek. ”Jadi, diskusi ini juga kalau mau disebut arah, belum jelas benar juga mau ke mana,”—itu salah satu kalimat yang masih saya ingat, sebab kalimat itu spontan merangsang kelenjar yang menumbuhkan insting provokator saya. Sebelum si pemberi pengantar untuk todongan ke arah saya (agar curhat seputar pengalaman nge-blog) selesai berbicara, di dalam batin saya sudah tumbuh kalimat: ”Jangan katakan lagi belum jelas arahnya ke mana. Itu harus segera kita perjelas!”
Lalu saya bercerita, Pulung juga bercerita, diskusi semakin gayeng dan semakin jelas arahnya: sepakat bikin media daring bersama. Malam itu, hingga dini hari, tak kunjung dapat nama domain yang belum di-dhaku pihak lain. Keesokan harinya, agak siang, ditemukanlah nggalek.co dan saya mendorongnya untuk segera dibeli daripada kedhisikan wong liya. ”Nanti, kalau kita tidak bulat dalam kesepakatan untuk menggunakan domain yang harus kita beli hari ini, ben takgenteni mengko,” begitu saya katakan.
Syukurlah, kawan-kawan lain akhirnya bersepakat, dan salah satu pesan saya sebagai yang secara umur paling tuwek di forum itu, ”Salah satu peran yang harus diambil oleh nggalek.co adalah: ikut ngumpulke balung pisah.” Maka, siapa pun yang berasal, berdatang, punya ikatan batin atau fisik atau keduanya dengan Trenggalek, (semoga) inilah nanti tempat mampir yang menyenangkan.