Guna menyambut bulan bahasa yang biasa diperingati tiap bulan Oktober, Trenggalek punya gawe bergengsi. QLC (salah satu kelompok yang bergerak di bidang literasi) menggelar lomba baca puisi Piala Bupati Trenggalek 2019. Acara ini digelar untuk umum, artinya siapa saja boleh mengikuti. Termasuk mereka yang seumur-umur belum pernah baca puisi di hadapan umum.
Sesuai dengan yang tertulis pada poster yang dibuat panitia lomba ini, peserta akan memperebutkan Piala Bupati Trenggalek. Wong namanya saja Lomba Baca Puisi Piala Bupati, salah satu hadiah keren yang menjadi iming-iming adalah Piala Bupati itu.
Bagi para vokalis puisi yang belum banyak mengantongi jam terbang, mendapatkan Piala Bupati adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Itu bisa menambah bobot portofolio. Bisa menambah panjang uraian mengenai biodata, jika kelak diperlukan untuk penerbitan buku sendiri atau antologi bersama. Atau untuk keperluan lain.
Tentu saja, ini kabar gembira bahwa bupati kita yang juga penulis buku Soekarno Menerjemahkan Al-Quran itu memberikan dukungan terhadap kegiatan lomba baca puisi ini. Bukankah ini seiring dengan Gerakan Literasi Nasional? Bukankah selama ini banyak teriakan menyayangkan bahwa pembangunan kita terlalu fokus pada fisik; pada infrastruktur; pada badan. Sementara, puisi sebagai salah satu karya seni (bahasa) berurusan dengan kehalusan jiwa. Dengan etos. Dengan semangat. Apalagi yang dipilih untuk dibacakan adalah puisi karya-karya: Chairil, Rendra, Sutardji dan Thukul.
Yang namanya Piala Bupati, pemberinya tentu Bupati. Bobot atau nilainya tentu juga harus bobot pemberian Bupati. Jangan sampai sudah kadhung disebut Piala Bupati kemudian ternyata wujud barangnya hanya sekaliber Piala Ketua RT. Nah, selain piala atau tropi, lazimnya para juara dalam sebuah perlombaan juga mendapatkan sertifikat dan sejumlah uang.
Coba, jika boleh berandai-andai: Kalau Si Juara Pertama dalam Lomba Baca Puisi ”Tingkat Kabupaten” ini nanti ternyata hanya mendapatkan uang senilai Rp 100 ribu, itu kan bisa memancing orang untuk mengolok-olok, ”Tenane iki lomba tingkat kabupaten atau tingkat RT!”
Yang lebih masyok lagi dari acara ini adalah adanya karya puisi yang telah dipilihkan oleh panitia untuk dibaca oleh peserta. Dalam brosur yang dibagikan di media sosial (Facebook), karya puisi yang boleh dibacakan adalah karya W.S Rendra, Wiji Thukul, Sutardji Calzoum Bachri dan Chairil Anwar. Keempat orang ini adalah para maestro penyair Indonesia. Tetapi, jika para peserta akan dibebaskan memilih puisi mereka yang mana, sepertinya kegiatan ini akan bertambah seru.
Saya jadi membayangkan akan ada peserta yang membacakan puisi Rendra yang berjudul Sajak Sebatang Lisong dan dibacakan di hadapan bupati dan para pejabat lainnya, pasti akan syahdu rasanya sejak pada bait pertama “dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka.” Nyaris mirip dengan kehidupan kita sehari-hari. Ini akan menarik. Pejabat mana dapat menikmati kalimat itu diteriakkan, tanpa rasa semriwing di telinga?
Lomba Baca Puisi Piala Bupati Trenggalek ini juga dapat dijadikan alat untuk mengetahui antusiasme para peserta. Bahwa hadiah atau piala yang dijanjikan sangat menggiurkan, itu sudah pasti: Piala Bupati. Tampaknya, Panitia khawatir peserta akan membludag. Maka, para calon peserta dihadang dengan uang pendaftaran. Tidak banyak, sih. Cuma Rp 20 ribu. Itu hanya seharga satu bungkus rokok. Ada apa dengan uang pendaftaran? Apa nggak boleh? Tentu boleh-boleh saja. Panitia lomba jalan sehat pun menarik uang tiket kepada para peserta. Kompetisi bola voli di desa-desa juga digelar dengan mewajibkan para pesertanya membayar sejumlah uang pendaftaran.
Persoalannya, ini bukan kompetisi bola voli antarkampung. Bukan lomba jalan sehat. Lomba ini jelas-jelas sejalan dengan Gerakan Literasi Nasional, berurusan dengan pembangunan jiwa anak-anak bangsa. Namanya pun dikaitkan dengan bupati. Piala Bupati. Digelar di Gedung Bawarasa. Tempat terhormat di sebelah Pendapa Kabupaten.
Pertanyaan: untuk urusan pembangunan
jiwa anak-anak bangsa seperti ini, kabupaten sepertinya tidak mau berani
menutup seluruh biayanya. Kira-kira total jendral habis berapa, ya? Publik
susah menerka, sebab poster yang dibuat panitia kurang lengkap. Tidak
mencantumkan berapa uang hadiah yang akan diberikan kepada para juara. Tidak
disebut berapa orang dan siapa saja jurinya.
Yang pasti, dalam poster ada foto Bupati Trenggalek. Kalau panitia mau tampak lebih cerdik, seharusnya uang pendaftaran itu bisa dihapuskan. Bahkan, bisa dibalik: setiap peserta akan mendapatkan t-shirt gratis bergambar Bupati. Ini bisa dinilai sebagai iklan, lo! Dan, kita tahu, iklan itu mahaaaaaalllll….! Dengan konstruksi seperti itu, bisa jadi acara itu bisa berkecukupan dana, bahkan boleh sisa untuk menggelar lomba yang lain.
Atau, publik bisa juga jadi bertanya-tanya, Gus Bupati ini gimana. Kok tega membiarkan gerakan anak-anak muda yang peduli pada urusan pembangunan jiwa begitu? Habis berapa, sih? Untuk lomba baca puisi itu? Mbok ya dicukupi. Kan beres. Atau, jangan-jangan ada sumbatan komunikasi entah di mana. Dan ada yang tidak menyadari bahwa poster itu bisa menyebabkan decak kecewa (bukan decak kagum): ”Beh, tibake thik mlecing, men!”
Atau, dengan sudut pandang lain, panitia memang tidak mau mengajarkan sifat pamer kepada masyarakat Trenggalek. Ini merupakan tujuan mulia, di saat sekarang sedikit-sedikit serba dipamerkan melalui media sosial, panitia lebih menghendaki menyembuyikan berapa hadiah yang akan diterima oleh pemenang. Orang-orang senang pamer, seperti saya sendiri, cek saja akun FB saya, lebih banyak menunjukkan bahwa saya sudah terjangkit sifat pamer, sedikit acara banyak uplut-nya.
La kok saya jadi seperti mewakili apa yang diniatkan oleh panitia, padahal saya bukan panita?
Jadi begini, saat melihat brosur yang
disebar melalui media sosial FB tersebut, hati saya berbangga karena akan ada
pertunjukan baca puisi di depan hadapan pejabat (asumsi saya, karena setiap
kegiatan yang menyebut kata bupati selalu diikuti oleh pejabat yang menjilatinya
mengiringinya).
Namun, ketika membaca lebih detail isi brosur tersebut, lantas dahi saya mengeryit dan langsung membatin, ”Duh medite acara iki, sekelas piala bupati kok cuemen betul dadak metu uang pendaftaran Rp 20 ribu yang jika dikalikan 100 peserta, hanya ketemu angka Rp 2 juta! Itu juga kalau pesertanya nyampek 100. Itu juga belum hitungan kalau 2 juta dibagi untuk juara 1, 2 dan 3. Jal, apa iki odhak malah menjatuhkan martabat bupati?”
Lantas saya berupaya positif
thingking dan menuliskannya di dalam artikel ini, alih-alih, jika ada yang
berpikiran sama (duh medite itu tadi) akan langsung dibantah dengan
narasi ini, itung-itung membantu QLC menarasikan kegiatan tersebut, mengingat
mereka memang giat membukukan karya tanpa bisa memproduksi penulis, jadi
lebih fokus pada event-event dan temu daratnya. Semoga cukup membantu.
Jreeeeng.