Mencurigai Proses Pemilihan BPD di Desa

Sebagai warga desa, kadang ingin sekali rasanya kita ikut berkontribusi “mbangun desa“. Banyak cara dan jalur untuk ikut berpartisipasi ini: ada jalur pengabdian, jalur berperan juga ada yang lewat jalur saran dan kritikan.

Pemiilihan BPD merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi yang begitu merakyat. Pemilihan tingkat dusun (di bawah desa) ini merupakan ajang kompetisi politik yang bernilai, andai dapat digunakan dengan baik sebagai pembelajaran politik masyarakat.

Dalam pemilihan BPD, hal yang harus diutamakan ialah perihal kapabilitas dari calon-calon BPD. Suatu desa mestinya tidak hanya dipimpin oleh seorang tokoh yang cuma bermodalkan figur namun cacat secara intelektual, moral dan sosial.

Pemimpin yang dibutuhkan masyarakat sekarang adalah sosok yang memiliki akseptabilitas juga ditunjang oleh moral yang baik. Punya kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas administratif dan perpolitikan sekaligus memiliki wawasan dan pandangan luas terhadap perbaikan masyarakat. Selain itu, wajib punya kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakat.

Tidak banyak yang tahu apa sebetulnya peranan BPD di desa. Seringkali timbul kekurang-pahaman warga desa jika ditanya tentang fungsi BPD di desa. Fenomena ini barangkali karena secara umum, warga desa kurang banyak dididik literasi desa (melek desa): seperti apa dan harus bagaimana organisasi pemerintahan desa. Dengan mengetahui hiruk-pikuk desa, minimal kita bisa berjuang bersama sama membangun desa. Setidaknya dengan cara memberi masukan, lebih-lebih bisa dengan terjun berperan.

Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disingkat BPD adalah adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Dengan adanya BPD, kinerja kepala desa dan pemerintahannya sebagai eksekutif, diawasi secara ketat olehnya. BPD juga melakukan upaya dalam menyetujui rancangan peraturan desa. Karena itu, tidak heran sebuah desa yang anggota BPD-nya berjalan, desa tersebut dikatakan maju dalam mengelola geopolitik desa: kepala desa dan BPD sama sama menjalankan peranannya sebagai eksekutif dan legislatif.

Namun saking pentingnya peran BPD ini, banyak rezim kepala desa bahu-membahu mengatur pemerintahan desa sedemikian rupa, mengupayakan dan mengatur agar anggota BPD tidak jatuh ke tangan “musuh”-nya, sehingga segala rencana Kepala Desa hampir dipastikan lancar, tidak ada kendala dan pastinya tidak ada pengawasan secara ketat oleh BPD.

Untuk kepentingan kekuasaan desa inilah, seringkali BPD justru dijadikan sebagai lembaga yang sedikit tidak mempunyai peran dan wewenang (mandul). Model seperti ini bisa disebut upaya pelemahan BPD untuk memuluskan “rencana-rencana” kepala desa.

Bagaimana cara mengatur agar semua anggota BPD terpilih adalah orang-orang kepercayaannya?

1. Mengatur daerah pemilihan (dapil)

Setiap daerah mempunyai peraturan tentang BPD. Seperti di Kabupaten Trenggalek, perda no 07 tahun 2018 tentang BPD, disebutkan dalam pasal 8 bahwa:

“Berdasarkan alokasi jumlah anggota BPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Panitia menetapkan kuota anggota BPD terdiri atas:

  1. 1 (satu) kuota anggota BPD untuk keterwakilan perempuan; dan
  2. kuota anggota BPD untuk keterwakilan wilayah yaitu selisih dari alokasi jumlah anggota BPD dikurangi 1 (satu) yang jumlahnya dibagi secara proporsional sesuai jumlah wilayah”.

Seringkali pasal ini dijadikan intrik-intrik mengatur sebaran Dapil untuk memetakan dusun dan RT sesuai dengan keinginan kepala desa. Bisa jadi ini cara untuk mencoba menjegal calon yang “bukan orangnya”.

2. Mengatur pemilih/hak pilih (DPT)

Dalam pasal 14, dijelaskan tentang siapa saja yang berhak menjadi seorang pemilih.

(3) Pemilihan anggota BPD berdasarkan keterwakilan wilayah dilakukan oleh unsur wakil masyarakat yang mempunyai hak pilih antara lain:

  1. kepala dusun, ketua rukun warga dan ketua rukun tetangga di masing-masing wilayah; dan
  2. keterwakilan pengurus lembaga kemasyarakatan desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat di wilayah.

(4) Selain pemilihan anggota berdasarkan keterwakilan wilayah, BPD dilakukan oleh unsur wakil masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hak pilih dapat berasal dari keterwakilan setiap rumah tangga di wilayah, yaitu kepala keluarga atau anggota keluarga yang sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah.

Dalam pasal ini cukup menarik untuk didiskusikan, karena rata-rata bisa diakali orang yang akan menjadi pemilih, disesuaikan dengan orang kepercayaan sang “kepala desa”. Pasal ini hukumnya wajib untuk diterapkan, yaitu mendatangkan seluruh warganya hingga tingkat perwakilan KK yang sudah berumur 17 tahun.

3. Mengatur pendaftar

Setiap suksesi pemilihan BPD, pasti ada yang disebut dengan tahapan-tahapan. Pihak desa ada yang secara demokratis membuka peluang seluasnya untuk warganya agar bisa mengikuti pemilihan. Namun, ada juga yang mencoba untuk menutup-nutupi acara demokrasi ini dengan berbagai upaya. Bisa saja dengan cara menghalang-halangi pendaftar agar mengurungkan niat mendaftar dengan cara “membohongi” seolah alokasi pendaftar sudah terpenuhi.

Ada lagi seperti panitia membuat pengumuman yang mepet dengan jangka waktu pengumpulan persyaratan sehingga tidak memungkinkan untuk mengejar pendaftaran.

4. Peserta/calon BPD tidak dilibatkan dalam tahapan

Istilahnya, calon ini adalah pelanggan, maka sudah seharusnya mendapatkan hak-haknya mengetahui dan dilibatkan dalam tahapan yang ada. Seperti halnya dalam penentuan dapil, penentuan calon pemilih, penentuan mekanisme pemilihan dll. Dengan adanya pelibatan calon BPD, maka pemilihan BPD akan semakin baik dan demokratis, sebab yang akan melaksanakan tugas-tugas BPD selanjutnya adalah dia yang saat ini masih calon. Sehingga, usul dalam pelibatan calon, wajib untuk dilakukan panitia.

5. Money politik dalam pemilihan BPD

Politik uang hukumnya haram. Pemberi dan yang diberi sama-sama dikenai pelanggaran. Celah ini sering digunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk meraup suara pemilih: menggaransi suara dengan uang. Perlu diketahui bersama bahwa uang suap sangat tidak berharga bagi siapa pun, karena memang suap, niatnya sudah tidak benar. Suap ini dimungkinkan dilakukan oleh calon, oleh kepala desa, atau bahkan oleh panitia sendiri.

6. Manuver kepala desa

Untuk memuluskan jalan, seringkali kepala desa membuat jalan terabas, manuver politik. Agar tercipta BPD hasil jerih payahnya, yang mendukung rezim, maka semua akan diatur. Seperti halnya “main” tunjuk ketua lembaga dan anggota yang strategis dalam pemilihan BPD.

Sebagai contoh, beberapa minggu sebelum pengumuman pemilihan BPD, kepala desa menunjuk langsung RT-RT yang dimaksudnya bukan orangnya kepala desa, sehingga main politik tingkat kacangan-pun terjadi. Padahal, suksesi pemilihan RT harus dilakukan secara demokratis.

Atau menunjuk secara sepihak Ketua Karangtaruna yang bukan kepercayaan-nya. Ini merupakan kecurangan demokrasi, khususnya membungkam demokrasi dalam pemilihan Karangtaruna di desa.

7. Menjerat yang vokal di desa

Dalam konteks pemerintahan desa, seolah-olah kita memang masih berada pada situasi Orde Baru, yang nuansa dan iklimnya syarat dengan kekuasaan. Bilamana ada aktivis yang bersuara lantang, menegur pemerintahan yang sedang aktif, maka akan mendapatkan intervensi dan diskriminasi dari “orang dalam”.

Tak ubahnya dalam pemerintahan desa, seorang aktivis berniat ingin mengembangkan desa dengan berbagai ilmu yang ia miliki, namun itu dinilai sebuah prasangka buruk terhadap desa. Dia dianggap memperlambat kinerja pemerintahan, menghalang-halangi pekerjaan pembangunan, dan pada akhirnya, yang bersuara keras di desa akan dikebiri oleh berbagai cara, salah satunya dengan menjerat dan menggagalkan dia sebagai calon BPD.

Mudah sekali kekuasaan desa untuk melakukan itu semua. Dengan sedikit kisi-kisi yang akan dipilih adalah yang “tidak mau bersuara”. Oh, alangkah lucunya desaku.

8. Mengaburkan sosialisasi dan informasi.

Sosialisasi merupakan bentuk keterbukaan informasi. Seluruh elemen masyarakat membutuhkannya. Seringkali dalam berbagai momen demokrasi di desa, pemerintahan desa kurang peduli terhadap hal tersebut, atau malah disengaja untuk menutup rapat-rapat informasinya.

Dalam pemilihan BPD itu mempunyai tahapan-tahapan, di antaranya adalah sosialisasi. Salah satu strategi untuk mengaburkan informasi pemilihan BPD adalah tidak adanya catatan untuk mengadakan sosialisasi tentang pemilihan BPD. Panitia sulit diajak komunikasi dan pihak desa terasa acuh bila ditanya. Fix, ini strategi jitu untuk menggagalkan calon-calon produktif untuk maju melenggang.

Salah satu yang terparah terkait sosialisasi ini adalah, tidak adanya sosialisasi dan penampilan di area publik terkait siap saja calon yang akan dipilih. Tidak ada foto banner dan cukup tertutup, visi-misi calon juga tidak ditampilkan dengan jelas. Hal ini memungkinkan membuat bingung calon pemilih, akan memilih siapa dan bagaimana konsepnya saat menjadi BPD.

Sebagai warga desa, yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, mari mulai dari diri sendiri untuk melek desa. Terhadap pemilihan BPD yang akan dilaksanakan Februari, mari bersama-sama untuk mengawal proses demokrasi, mencoba untuk kritis dan bukan hanya curiga terhadap pemilihan BPD. Curiga di sini merupakan bentuk pengawasan dari warga masyarakat karena merasa cinta terhadap desanya. Tapi tidak mencurigai proses pemilihan BPD juga adalah bentuk kepercayaan warga terhadap orang di sekeliling pemerintahan desa bahwa sportivitas dan menjaga nilai demokrasi akan dijunjung tinggi-tinggi. Jadi, jangan khianati kepercayaan warga.

Artikel Baru

Artikel Terkait