Trenggalek itu kota kecil. Kalau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) diasumsikan menggambarkan kemajuan (ekonomi) suatu daerah, maka dengan nilai PDRB di tahun 2017 sebesar Rp.16,1 trilyun itu, kira-kira Trenggalek setara dengan sebagian besar wilayah Madura, Pacitan dan beberapa daerah di Tapal Kuda: perekonomian Trenggalek hanya memberi kontribusi 0,79% dalam perekonomian Jawa Timur. Dalam peta sebaran pertumbuhan ekonomi-kesejahteraan masyarakatnya (yang digambarkan dengan PDRB per kapita), Trenggalek masuk Kwadran III: artinya ini daerah pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapitanya lebih rendah dari rata-rata Jawa Timur.
Dalam skala mikro, perkembangan perekonomian Trenggalek pun dapat dikatakan stagnan. Struktur ekonomi Trenggalek tidak mengalami pergeseran menuju sektor sekunder dan tersier, bagi gambaran kemajuan suatu daerah. Sektor primer masih memberi kontribusi yang dominan, khususnya pertanian, meski pertumbuhannya juga lambat, bahkan terus mengalami penurunan. Sektor industri pengolahan yang diharapkan menjadi motor penggerak pembangunan juga dapat dikatakan stagnan, hanya memberi share sekitar 14,00%, relatif tetap, minimal sejak tahun 2010. Demikian pula sektor-sektor yang lain.
Kalau perekonomian Trenggalek dapat dikatakan stagnan dalam kurun waktu yang relatif lama, lalu timbul pertanyaan: Bagaimana hasil pembangunan kita? Adakah dampak dari investasi anggaran publik kita selama ini, lewat belanja APBD yang setiap tahun tidak kurang digelontorkan dalam Belanja Modal sebesar rata-rata Rp.376,8 milyar tiap tahun atau Rp.1,78 trilyun seluruh Belanja Pembangunan kita?
Atau karena APBD kita yang kurang “nendang” (meminjam istilah Menteri Keuangan RI, Bu Sri Mulyani Indrawati), karena pilihan skala prioritas dan program pembangunan yang kurang tepat, atau sudah tepat tapi gagal di implementasinya?
Tentu untuk menjawabnya tidak mudah. Karena itu, dalam ruang yang terbatas ini, kami hanya menyoroti salah satu aspek kecil, yang menurut hemat kami dapat memberikan gambaran secara menyeluruh: apakah jalannya pembangunan kita sudah on the right track. Apakah fungsi APBD dalam distribusi dan alokasi sumber daya pembangunan kita, terutama anggaran, sudah berjalan dengan baik.
Saya ingin mengulas “perilaku” APBD kita dalam hubungannya dengan perekonomian daerah, yang sejatinya merupakan esensi dari pembangunan daerah itu sendiri.
Kita tentu maklum bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah pertumbuhan ekonomi dan pergeseran struktur perekonomian daerah dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Dalam ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi tersebut ditentukan oleh tingkat konsumsi dan investasi, baik investasi swasta maupun pemerintah, khususnya lewat Belanja Modal, yang diharapkan dapat meningkatkan infrastuktur ekonomi. Dan karena itu mendongkrak produksi serta menghasilkan aset-aset produktif.
Bila APBD memberi peran 20% – 30% dalam perekonomian daerah (bandingkan dengan Surabaya yang share-nya sekitar 5% saja), tentu pengelolaan APBD menjadi sangat penting dan menentukan dalam menggerakkan perekonomian daerah.
Struktur APBD
Dalam kaitan dengan pokok bahasan, mari kita lihat struktur Belanja Pembangunan kita dalam 5 (lima) tahun terakhir. Dalam kurun tersebut, rata-rata Belanja Pembangunan kita sebesar Rp.1,78 trilyun dengan distribusi 78,09% Belanja Operasional, dan hanya 21,11% saja Belanja Modal. Perlu diketahui, Belanja Operasional adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari dalam penyelenggaraan pemerintahan yang memberi manfaat jangka pendek, dan Belanja Modal adalah pengeluaran yang digunakan untuk menghasilkan aset tetap atau investasi yang manfaatnya dapat dirasakan dalam periode tertentu.
Belanja Modal ini merupakan jenis belanja yang menghasilkan aset daerah dan manfaatnya langsung dapat dirasakan masyarakat.
Dari proporsi di atas, artinya overhead cost kita senilai Rp.1,39 trilyun sementara Belanja Modal hanya Rp.0,377 trilyun. Meski masuk kategori menengah dalam studi FITRA pada 70 kabupaten/kota yang dapat dipandang merepresentasikan pengelolaan anggaran daerah pada tahun 2016, proporsi ini jelas perlu ditingkatkan mengingat hal tersebut mencerminkan kualitas belanja daerah kita. Karena merupakan jenis belanja yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Di beberapa daerah, proporsi belanja ini mencapai 40%, sementara Permendagri menekankan proporsi itu minimal 30%.
Lalu, benarkah Belanja Modal itu digunakan untuk menambah aset tetap produktif dan merupakan investasi infrastruktur ekonomi yang meningkatkan produksi? Dalam sistem akuntasi pemerintah daerah, aset tetap itu dikelompokkan ke dalam: tanah; peralatan dan mesin; gedung dan bangunan; jalan, irigasi dan jaringannya; aset tetap lain; dan aset lainnya.
Dalam 5 (lima) tahun terakhir, Belanja Modal sebesar Rp.377 milyar itu digunakan untuk pengadaan sebesar 2,09%; pengadaan peralatan dan mesin sebesar 15,93%; pembangunan gedung dan bangunan sebesar 20,40%; pembangunan jalan, irigasi dan jaringannya sebesar 56,38% dan aset lainnya sebesar 5,20%.
Tidak semua aset tersebut adalah aset produktif, karena sebagian besar pengadaan peralatan dan mesin serta gedung dan bangunan tersebut berupa peralatan kerja dan perkantoran yang tidak berdampak langsung dalam perekonomian masyarakat. Bahkan, banyak aset di kelompok ini yang tidak optimal penggunaannya/pemanfaatannya alias mangkrak. Ini tentu berbeda dengan pembangunan jalan, irigasi dan jaringannya yang dapat menggerakkan roda perekonomian dan meningkatkan produksi barang/jasa.
Dalam manajemen aset yang baik, tentu aset-aset tidak produktif dan aset mangkrak ini menjadi masalah tersendiri yang harus segera diselesaikan. Atau bahkan, di tengah keterbatasan anggaran dan masih buruknya kondisi infrastruktur jalan dan irigasi kita, akan sangat bermanfaat bila proposri pengadaan aset jalan, irigasi dan jaringannya ini ditingkatkan proporsinya. Bisa kita bayangkan bagaimana anggaran sebesar Rp.205,25 milyar setahun dapat meningkatkan kualitas jalan dan irigasi kabupaten yang demikian luas, sementara aset lain yang dibangun tidak optimal penggunaannya.
Membenahi Aset Mangkrak
Adalah ironis di saat kita berada dalam keterbatas anggaran, ternyata banyak kita temukan aset daerah yang mangkrak. Banyak aset bangunan dan gedung yang tidak digunakan atau dimanfaatkan. Sebut saja misalnya berbagai bangunan dan peralatan mesin di sentra pemindangan Bengkorok di Watulimo, Rusunawa di Watulimo, bangunan Sub Terminal Durenan dan masih banyak lagi. Selain itu, terdapat juga berbagai kendaraan dan peralatan kantor yang sudah tidak digunakan atau dimanfaatkan lagi, tetapi belum diproses lebih lanjut untuk dijual, dihibahkan atau dimusnahkan.
Pemerintah daerah juga memiliki aset tanah yang sampai saat ini belum digunakan. Selain itu terdapat juga aset yang tidak berfungsi secara optimal karena status kepemilikannya tidak jelas. Sebagian berada di kawasan Perhutani yang perjanjian kerja samanya belum ada atau belum disusun. Karena status yang tidak jelas ini, maka upaya pemeliharaannya juga tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Contoh yang paling nyata adalah Wisata Mangrove, di Cengkrong.
Berbagai fenomena di atas tentu sangatlah memprihatinkan. Karena itu upaya untuk mengelola aset tersebut dengan baik perlu segera dilakukan. Kalau tidak tentu persepsi bahwa “kita hanya pandai membangun, tetapi tidak pandai memanfaatkan dan memelihara” adalah benar adanya.
Lebih dari sekadar urusan akuntansi –karena kita khawatir ada yang sinis atas topik ini karena opini atas laporan keuangan kita dalam 2 tahun terakhir adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)- kami memandang bahwa urusan aset tidak cukup berhenti “di atas kertas”, karena sejatinya aset diadakan untuk meningkatkan layanan publik dan investasi pemerintah dalam menggerakkan perekonomian daerah. Artinya, aset harus memberi manfaat kepada masyarakat semaksimal mungkin.
Lalu bagaimana dengan banyaknya aset mangkrak yang sebagian saya contohkan di atas. Tentu persoalannya harus dirunut sejak tahap perencanaan. Pertama, sebagian besar aset yang mangkrak tersebut bermasalah sejak di perencanaan. Perencanaan yang berorientasi pada out put saja umumnya hanya menghasilkan barang tanpa tahu bagaimana menggunakan, memanfaatkan dan mengelola barang tersebut dalam mewujudkan program pembangunan.
Seharusnyalah konsep perencanaan berorientasi pada program dan out come, dan pengadaan aset hanya menjadi bagian dari implementasi program dan upaya mewujudkan target-target makro pembangunan. Konsep perencanaannya harus matang, jauh melampaui tahun anggaran. Mindset “senang belanja” dan “yang penting anggaran terserap” harus dibuang jauh.
Kedua, untuk aset bangunan dan gedung, maka status tanah harus jelas dulu. Idealnya tanah tempat bangunan berdiri harus tanah pemerintah daerah. Bila berada di atas pihak lain, maka kerja sama investasi harus ada, termasuk kerja sama pengelolaan dan pemeliharaan aset tersebut. Pembangunan konstruksi “harus sabar dulu” sampai status tanah dan bentuk kerja sama investasinya jelas. Harusnya investment sharing harus menghasilkan revenue sharing. Kasus ini umunya terjadi pada pengembangan obyek wisata di tanah milik PT Perhutani. Pemerintah Daerah hanya mendapat pajak atas pengelolaan wisata mangrove Cengkrong dan bukan retribusi meski Pemerintah Daerah yang membangun. Ini ironis.
Ketiga, mendorong dinas pengguna barang untuk segera menggunakan atau memanfaatkan aset tersebut secara optimal. Lebih-lebih bila asset tersebut dirancang untuk menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Contoh yang nyata adalah kios di area lapangan tenis pemerintah daerah. Sedah hampir 5 tahun kios tersebut belum disewakan kepada masyarakat dan dibiarkan kosong melompong. Berapa PAD yang hilang?
Keempat, adanya efisiensi penggunaan aset di mana dinas harus menggunakan aset secara optimal. Aset-aset yang tidak digunakan dalam pelaksanaan tugas fungsi harus diserahkan ke Pengelola Barang untuk pemanfaatan lebih lanjut. Hal ini juga untuk menghindari praktik-praktik pemanfaatan aset di bawah tangan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kelima, redistribusi aset. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kecenderungan berperilaku “emperor building” sering terjadi dalam suatu dinas. Tidak adanya kebijaksanaan dalam distribusi aset antar-dinas secara proporsional berdasar beban kerja, menyebabkan fenomena adanya dinas yang mewah, sementara dinas yang lain minimalis.
Keenam, standarisasi ruangan dan fasilitasnya. Saat ini tidak ada standarisasi tersebut. Banyak kita jumpai ruangan dan fasilitas pejabat struktural sama atau bahkan kalah dengan ruangan dan fasilitas staf pada suatu dinas yang lain. Ini umumnya terjadi karena lemahnya verifikasi perencanaan aset kita.
Ketujuh, adanya kebijakan anggaran untuk mendorong peningkatan proporsi Belanja Modal untuk pengadaan aset jalan, irigasi dan jaringannya dan di sisi lain pengurangan alokasi Belanja Modal untuk bangunan dan gedung serta mesin dan peralatan.
Kedelapan, percepatan proses pemanfaatan aset. Banyak sekali aset kita, terutama kendaraan bermotor yang menjadi onggokan besi tua. Barang-barang ini bisa dijual untuk mendapatkan PAD atau dihibahkan untuk lembaga-lembaga nirlaba yang membantu program pemerintah.
Beberapa daerah bahkan saat ini tidak memiliki kendaraan untuk mobilisasi dan mempercayakannya pada lembaga leasing. Demikian, mudah-mudahan sumbang saran ini bermanfaat.