Refleksi Pilkades di Trenggalek yang Baru Usai

Pilkades serentak pada 9 Februari 2019 telah usai di Bumi Minaksopal. Selamat bagi yang terpilih dan mohon bersabar untuk yang belum terpilih.

Lho… kenapa kok kudu sabar? Ya maklum, pastinya secara materi banyak yang terkuras habis, bahkan masih menyisakan uang, eh utang. Bagi yang menang di Pilkades juga selamat, minimal tidak kesulitan untuk mengembalikan uang kalau punya tanggungan.

Proses Pilkades serentak di Bumi Minaksopal tahun ini membuka mata kita, terkait beberapa hal yang selama ini menjadi banyak perbincangan di kalangan khalayak umum. Ada beberapa faktor yang menurut saya perlu dicatat, kenapa mereka terpilih menjadi kepala desa.

Pertama, karena tidak adanya calon lain yang mau bertarung dengan incumbent. Ketiadaan calon lain yang mau maju bersaing di Pilkades ini juga karena banyak faktor, yang paling mayor adalah karena suara masyarakat hampir seluruhnya mendukung incumbent, sebab track record-nya dinilai sangat baik.

Ada cerita seorang kepala desa di Kecamatan Durenan yang sebenarnya sudah tidak mau mendaftarkan diri menjadi kepala desa, tetapi masyarakat desanya sangat mengharapkan ia tetap mau dicalonkan menjadi kepala desa lagi. Bahkan 1 hari sebelum penutupan Pendaftaran Calon Kepala Desa, masyarakatnya-lah bersama tokoh-tokoh di desa setempat, yang bergotong royong menguruskan persyaratannya. Fenomena seperti ini langka terjadi di era seperti sekarang. Tetapi kenyataannya memang benar-benar ada di Trenggalek.

Kedua kenapa seorang calon kepala desa bisa menang, dikarenakan kekuatan materi (baca: kekayaan; resources) sehingga secara hitungan jika calon lain tidak bisa mengimbangi, akan sia-sia belaka. Dari fakta tersebut, mereka (yang mau mencalonkan diri) memilih cari aman dengan, pada akhirnya tidak mencalonkan diri. Ketiga, karena memang calon kepala desa mempunyai tim yang solid mulai dari dukungan keluarga besar hingga materi.

Beberapa hari yang lalu ketika saya melakukan penggalian data terkait kehutanan di wilayah Kecamatan Watulimo, saya bertemu dengan mastah-mastah pemberdaya desa seperti Muhammad Gunawan dari Perkumpulan Inisiatif, Ajar Sidiq, Roin J. Vahrudin , Trigus D. Susilo dan beberapa teman-teman NIPONK yang kebetulan sedang melakukan upaya peningkatan kapasitas pemuda di Desa Gemaharjo.

Sebelum bertemu mereka, saya melakukan perjalanan dari Desa Dukuh dan Karanggandu untuk melakukan survey data buah durian yang sudah siap panen. Seperti yang saya tulis di dinding FB, bahwasannya di bulan Februari 2019, dari sekian juta pohon di Desa Dukuh dan Karanggandu yang berbuah hanya 3 biji yang bisa dinikmati pesanggem, sisanya dipanen oleh pemilik modal. Kecil sekali ternyata, karena durian yang bisa saya bawa pulang dan nikmati cuma 3 biji (hahaha…….Lek wong biasa wae wis modyar!!!).

Ketika diskusi dengan mereka, saya menyampaikan beberapa fenomena tentang Pilkades serentak yang baru saja usai seperti yang sudah saya sampaikan di atas. Bang Gunawan mananggapi, diawali dengan celetukan, eh petuah: bahwa negara ini miskin kepemimpinan, karena setiap perhelatan pemilihan pemimpin di setiap level masyarakat tidak diberi kesadaran secara “waras” untuk menentukan pemimpin ideal. Masyarakat sekarang seringkali terjebak dalam pertimbangan-pertimbangan ekonomi, kepentingan relasi, golongan, tanpa melihat track record seorang calon pemimpin selama ini dalam kehidupan sehari-harinya.

Dalam filosofi Jawa yang juga pernah disampaikan oleh Budayawan Kondang, Cak Nun, bahwa orang Jawa selalu “niteni” calon pemimpin itu dengan syarat yang ketat: mulai dari kepandaiannya, “kesaktian”-nya, budi luhurnya hingga keturunan siapa. Sebagai contoh, ketika orang Jawa bermigrasi ke Suriname, mereka sudah menyiapkan orang-orang yang akan menjadi guru di bidangnya masing-masing. Ada yang pandai bertani, berhitung, berdagang, berternak dan siapa yang memimpin selamatan sudah diatur. Tidak ada yang “nonyol-nonyol” ingin dianggap lebih pandai. Artinya apa, bahwa secara naluriah masyarakat jaman dahulu itu bisa “ngrumangsani” siapa yang layak menjadi seorang pemimpin di kelompoknya.

Namun kenyataan yang saat ini kita rasakan, pertarungan siapa yang layak menjadi kepala desa seringkali mirip pertarungan di sosmed antara gerombolan cebong dan kampret. Saling menghujat, menjelekkan tanpa melihat subtansi yang sebenarnya sedang banyak dipersoalkan. Seringkali calon kepala desa mengesampingkan Visi Misi, kebanyakan mereka berpikir bagaimana menang dengan berbagai cara. Mereka lebih mencari trik-trik curang ketimbang menggunakan branding-branding program yang jelas dan terukur. Semua itu tidak bisa disalahkan dari sisi si calon, kesadaran masyarakat tentang kriteria kepemimpinan sudah telanjur hancur dengan fenomena-fenomena money politik yang selama ini sudah sangat mengerikan. Ungkapan “jer basuki mawa bea” sudah dibelokkan menjadi persepsi yang kurang bagus.

Pernyataan Bang Gunawan kita akui, sebagai sebuah jawaban dari keresahan-keresahan yang sebenarnyan sudah mengusik nalar waras kita. Pola pendekatan penyadaran yang sudah dilakukan oleh teman-teman melalui berbagai kegiatan seperti Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA) desa, hari ini hanyalah sebagian kecil langkah nyata untuk membentengi generasi desa agar tidak terjebak dalam politik pragmatis di desa. Model-model pemerintahan desa dengan kepala desa yang low Profile juga perlu follow up ke kalangan yang lebih luas seperti contoh seorang kepala desa di Kecamatan Durenan yang begitu dekat dengan masyarakat dan dicintai oleh rakyatnya.

Dari sini hubungan emosional kepala desa dengan masyarakat membuat pola pembangunan sangat manusiawi dan berkeadilan disesuaikan dengan kebutuhan yang riil. Proses-proses partisipasi masyarakat terbangun tidak melalui kegiatan-kegiatan formal seperti Musdes dan Musrembangdes, tapi lebih pada penyampaian langsung dan itu mampu diterjemahkan oleh kepala desa.

Seringkali kepala desa yang merasa telah menang berubah menjadi “Pejabat Elit” yang punya sekat seperti atasan dan bawahan. Masyarakat sebagai pemilih bukan menjadi prioritas utama dalam penentuan kebijakan. Kebijakan di desa lebih dominan apa yang menjadi keinginan si kepala desa dibanding bagaimana menyelesaikan persoalan masyarakat. Pola kepemimpinan seperti ini tak jarang menuai kontroversi dan antipati di kalangan masyarakat. Sehingga memunculkan generasi apatisme untuk membantu pengembangan pembangunan di desa. Kalimat yang paling sering muncul dalam mengekspresikan keapatisannya adalah: “sapa wae sing dadi, awak e ya panggah wae.

Kita memang haus akan kepemimpinan yang mengayomi dan melayani apa yang menjadi pokok persoalan di masyarakat bawah. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mendapatkan kepemimpinan ideal, tetapi bukan tidak mustahil era itu akan muncul. Menggali dan melakukan banyak penyadaran terhadap generasi saat ini memang harus terus dilakukan. Memunculkan forum-forum diskusi dengan berbagai isu yang ada saat ini, akan mampu membuka mata hati untuk bersama-sama membangun desa dengan segala potensi yang ada.

Kemunculan Dana Desa bisa menjadi berkah, bagi desa yang bisa memanfaatkan dengan baik. Namun  juga akan menjadi jebakan Batman, bagi desa yang hanya menggunakannya berdasakan kepentingan pragmatis untuk menumpuk harta benda. Kata Menteri Keuangan Indonesia, Ibu Sri Mulayani, “Dana Desa kami titipkan ke kepala desa untuk kesejahteraan masyarakat desa.” Jadi pesan itu sangat jelas, sejelas UU Desa No. 6 Tahun 2014.

Artikel Baru

Artikel Terkait