Apakah kalian pernah membaca kisah dalam buku 1001 Malam? Tokoh utama dalam buku tersebut adalah Abu Nawas dan Raja Harun Al-Rasyid. Mereka berbeda kasta. Abu Nawas rakyat biasa, sedangkan Harun Al-Rasyid adalah raja. Namun, hubungan keduanya menjadi daya tarik sendiri dalam cerita-cerita tersebut.
Salah satu cerita yang saya anggap epik lagi seru untuk kemudian diangan-angankan adalah tatkala Raja Harun Alrasyid dijual oleh Abu Nawas kepada orang badui. Atas kelihaian Abu Nawas, kemudian membuat Sang Raja rela menyamar menjadi orang biasa lalu dijual kepada orang badui yang menganggap bahwa si raja adalah budak dari Abu Nawas.
Setelah proses transaksi, sang raja harus bersedia diikat dan dibawa oleh orang badui yang sama sekali tidak tahu bahwa yang diikat dan diseret tersebut adalah sang raja. Abu Nawas tentu saja mendapatkan uang sebagai pihak penjual.
Sepenggal kisah tersebut membawa imajinasi saya pada kisah-kisah lain, misalnya kisah khalifah Umar bin Khatab ketika mendapati salah satu rakyatnya memasak batu dan air hanya untuk membohongi anak-anaknya agar tenang karena seharian belum makan. Sang ibu berharap anak-anaknya bisa tenang dan tertidur sampai esok harinya. Sambil memasak batu itu, Sang Ibu ngedumel, mengeluhkan pemimpin negerinya yang seperti tidak (mau) tahu keadaan rakyatnya yang sedang menderita. Tanpa disadari oleh segenap penghuni rumah, diam-diam Umar bin Khatap mendengarkan keluhan itu dari balik dinding.
Keluhan Sang Ibu itu tersebut menggerakkan hati sang Khalifah untuk datang ke gudang penyimpanan makanan dan memanggul dengan pundaknya sendiri serta mengantarkan ke rumah ibu dan anak-anaknya yang sedang kelaparan. Sang ibu tidak tahu kalau yang mengantar bahan makanan tersebut adalah pemimpinnya sendiri.
Cerita-cerita namur lampah(penyamaran) semacam ini juga kerap didapati dalam kehidupan raja-raja terdahulu. Mereka sengaja menyamar menjadi rakyat biasa dan berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengetahui secara langsung situasi dan kondisi wilayahnya tanpa diketahui oleh masyarakat. Dengan namur lampah (berkelana dengan penyamaran), kedatangan seorang pemimpin di tengah-tengah rakyatnya tidak terdeteksi, dan warga/masyarakat tidak akan sempat menyembunyikan hal-hal yang tidak baik. Dengan kata lain, pemimpin akan tahu keadaan sebenar-benarnya, tanpa settingan seperti kalau kedatangannya diberitahukan terlebih dahulu.
Memang masuk akal jika namur lampah dijadikan sebagai ritual untuk mengetahui keadaan masyarakat sebenarnya. Berbeda dengan kedatangan yang dilakukan sesuai protokol, yang justru berpotensi untuk disembunyikannya hal-hal yang kurang/tidak baik. Sudah lazim, kedatangan pemimpin di suatu tempat selalu dibarengi dengan keadaan yang dibuat-buat, diada-adakan, dari tidak ada menjadi ada semenjak pemberitahuan itu dibuat. Bahkan, sikap manis-manis dari masyarakat kerap juga di-setting untuk memunculkan keadaan dramatik tertentu, misalnya, seakan pemimpinnya dicintai oleh rakyatnya.
Ya benar, selama ini kita memang selalu disuguhi atraksi-atraksi penyambutan kedatangan bupati atau pejabat teras di suatu tempat, semua keadaan telah diatur dan ditentukan mana yang pantas dan tidak pantas untuk ditampilkan. Protokoler semacam ini ada pakemnya, jika di luar pakem itu akan menjadi masalah, bahkan gunjingan.
Bukannya hal semacam ini tidak benar atau tidak boleh, sebenarnya sah sah saja, la wong memang sudah semacam itu keadaannya. Namun, jika saja seorang pemimpin mau melakukan ritual namur lampah seperti pernah dilakukan Umar bin Khatab juga tidak salah, itung-itung buat penyadaran, bagaimana ia diperlakukan ketika menjadi orang biasa dengan saat menjadi seorang pejabat. Oh ya, namur lampah harus dilakukan secara alami, bukan kemudian diiringi oleh para wartawan dan fotografer yang kemudian disuruh untuk mengabadikan momen di saat pemimpin tersebut njebur di selokan, kalau itu disebut blusukan, bukan namur lampah.
Bupati Trenggalek yang dikenang suka melakukan ritual namur lampah adalah Pak Soetran, ini banyak diketahui dari penuturan warga masyarakat yang hidup di zamannya. Meski tidak seekstrim yang dilakukan oleh Raja Harus Al-Rasyid, beliau dikenang sebagai bupati yang dekat dan kerap turun di masyarakat.
Misalnya Pak Soetran ketika hendak ikut gotong royong membangun jalur Munjungan, ia kerap turun sendiri tanpa didampingi oleh ajudan atau para kepala dinas, melainkan turun sebagai msayarakat dengan perlengkapan diri seperti masyarakat pada umumnya kala itu. Kadangkala ia juga membawa bontrot sarapan sendiri dan dimakan bersama-sama dengan masyarakat.
Haji Suwito, warga Surodakan, pernah menuturkan kisah kenangan baik tentang pak Soetran. Pada saat itu bapaknya Haji Suwito, Wariman, mengabdikan dirinya sebagai PNS kuli ratan, orang yang bertugas memantau dan menjaga seputaran kondisi jalan raya waktu itu (kini kuli ratan sudah dihapuskan). Karena kerap mengikuti bapaknya bertugas, dalam satu kesempatan ia pernah bertemu Pak Soetran. Sang bupati sedang mengikuti gotong-royong pembangunan jalan dan kebetulan membawa bekal makanan, seperti biasa ia membagi makanannya dengan warga masyarakat.
Di saat sedang makan bersama, ia mendapati satu warga yang tidak memakan makanan yang sudah ia dapatkan. Kemudian Pak Soetran menghampiri warga tersebut dan menanyakan kenapa bagiannya tidak dimakan, lantas sang warga menjawab bahwa makannya hendak dibawa pulang untuk diberikan kepada keluarganya. Seketika itu Pak Soetran berkata, “Iku bagianmu panganen, mengko bagianku gawanen mulih.” Dialog ini terekam dalam memori Haji Suwito dan dianggap sebagai kenangan baik atas kisah-kisah hidup di Zaman Pak Soetran.
Nah, saya jadi membayangkan hal menggelikan tentang ritual namur lampah ini, misalnya, seorang bupati trenggalek diludahi oleh warga penjaga tambak-tambak ilegal di seputaran pesisir selatan Trenggalek karena mengingatkan mereka bahwa usaha-usaha tersebut tidak legal dan cenderung membuat pencemaran lingkungan. Sedangkan ia tidak dikenali sebagai bupati melainkan masyarakat biasa seperti para aktivis lingkungan yang kerap dengan keras menyuarakan isu-isu semacam ini. Dengan demikian, ritual namur lampah sang bupati berhasil dan terkenang sebagai bupati yang punya kepekaan lingkungan. Lalu bayangkan, sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang, Anda akan membaca kisahnya, yang saya tulis dan dimuat nggalek.co. Itu pun kalau nggalek,co masih ada (boleh dibaca: belum laku).