Anak-anak, Ponsel Pintar dan Kita

Anakmu bukanlah milikmu,
Mereka adalah putra putri Sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

(Anakmu Bukanlah Milikmu, Khalil Gibran)

Setelah selesai membaca puisi “Anakmu Bukanlah Milikmu” karya Khalil Gibran di atas, saya akan melanjutkan tulisan panjang yang barangkali tidak menarik ini, dengan mengucapkan “Selamat Hari Anak Nasional”  yang jatuh pada tanggal 23 Juli, kemarin. Sebuah ucapan selamat pada kidung perayaan dunia anak yang dengan sadar, telat saya sampaikan. Tindakan yang disengaja adalah sebuah kesadaran yang dilandasi harapan untuk menggerakkan upaya. Semoga perhatian akan Dunia Anak di negeri ini bukan sebatas momentum tanggal, melainkan kesadaran yang menjadi tabiat keseharian. Anak-anak yang hari ini masih dalam buaian, butuh perlindungan atau yang sudah pandai bermain game di layar pintar.

Saya tidak hendak bernostalgia ke masa lampau, masa di mana saya dan teman-teman seangkatan bersuka cita menikmati hari-hari dengan permainan generasi kami. Sebuah kondisi nyata bahwa saya belum menikah, membuat saya tidak berani menyalahkan peran orangtua dalam mendidik putra-putrinya. Saya telah mampu bergerak bebas sebagai perempuan dewasa, meski tidak pula membuat saya lebih jauh berani memberi sebuah ruang kebebasan, ekspresi dan aktualisasi diri bagi diri saya sendiri tanpa pengawasan.

Saya menulis ini, tak lebih upaya saya merawat kewarasan di tengah dunia anak yang dihegemoni tontonan. Dunia anak-anak di hadapan sebuah media besar bernama kecanggihan teknologi.

***

Pada tingkatan tertentu, sebuah peradaban akan menghadapkan manusia pada benturan-benturan permasalahan sosial. Di tengah geliat globalisasi, kita seolah tengah bergerak dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, dengan konvensi-konvensi yang mendasari terjadinya perubahan itu. Bergeraknya pola masyarakat—dalam kaca mata globalisasi—tentu membawa perubahan yang kompleks. Baik akan mengarah ke perubahan konstruktif maupun dekonstruktif. Hingga kesepakatan komunal kita menyetujui bahwa yang tradisional bermakna lampau, sementara yang modern bermakna kekinian. Suatu dianggap mengalami kejanggalan hanya karena tidak sesuai standar kekinian. Suatu pola kebiasaan masyarakat yang ingin disebut “ada” dengan terus berupaya menunjukkan keberadaan yang diperoleh melalui banyak cara, mulai dari perkembangan jaman dengan berlomba meniru gaya yang menandakan standar kehidupan.

Tapi dari mana datangnya gaya dan standar itu? Standar dibentuk dari kebiasaan yang dicitrakan media dalam  ruang waktu tertentu. Oleh sebab itu, perubahan selalu melahirkan pahlawan-pahlawan baru. Sebuah kelahiran dengan nilai kepahlawanan tertentu. Kita kerap mengenal banyak hal, tak lebih dari upaya meniru akan sesuatu. Pergerakan dari “tidak ada” menghadirkan “ada” adalah sebuah konsekuensi logis agar nampak tercerahkan dan tidak dicap ketinggalan.

Lalu, tanya adikmu yang sekarang masih sekolah setingkat SD atau SMP, siapa tokoh idola mereka? Mungkin sebagian dari mereka ada yang menjawab sosok idola itu dari guru, anggota keluarga atau tokoh tertentu. Tapi tidak sedikit yang menjatuhkan pilihan pada artis muda yang sering wira-wiri di layar televisi. Atau mungkin, idola mereka jatuh pada beberapa nama baru, seleb-seleb sosmed yang sering muncul di layar pintar mereka karena mempunyai nilai khas penggiring kemunculannya.

Lalu, apa kemudian televisi atau ponsel pintar itu tidak boleh dilihat anak-anak atau remaja belum cukup umur? Tergantung. Kita tidak bisa menyatakan tidak boleh, tidak bisa pula langsung membolehkan. Yang harus kita pahami adalah proporsi dari efek sebuah sajian yang akan dilihat dari media tersebut. Tentu dalam hal ini ada dua proporsi efek, di mana proporsi tersebut melahirkan dua kutub positif dan negatif. Dalam televisi, proporsi tersebut tergantung konten yang coba disajikan oleh setiap Stasiun TV. Ada Stasiun TV yang mampu menyajikan konten bersifat edukatif, ada pula yang hanya bersifat hiburan. Dalam konten edukasi, tentu anak boleh melihat sajian, dimaksudkan bahwa  sajian tersebut dapat menstimulus anak pada bertambahnya wawasan, penanaman karakter bangsa, penunjang pengetahuan umum, serta sajian dapat meningkatkan fungsi kognisi, psikomotori dan afeksi anak.

Namun untuk tayangan yang sifatnya hiburan, kita sebagai orangtua, harus jeli. Ada beberapa konten yang disajikan namun tidak ramah anak. Entah itu sinetron, reality show, variety show maupun berita. Yang ditayangkan dengan mengambil sisi berlebihan, disajikan di primetime dengan durasi yang begitu panjang. Kita tidak bisa melihat akibatnya secara langsung dari sebuah tayangan. Efek jangka pendek dari sebuah sajian adalah melahirkan komentar, dan kadang hal tersebut menghadirkan hiperealitas bagi yang melihatnya.

Selain itu, efek negatif yang lahir jangka panjang adalah lahirnya pola hidup yang dilatarbelakangi tayangan yang kerap disajikan tersebut. Tidak jarang, tayangan menampilkan sisi kemewahaan, cara instan mengelabuhi keadaan, cara cepat menuju sukses, kekerasaan, gaya pergaulan remaja, kenakalan remaja, konflik rumah tangga yang disertai intrik kejahatan, mengumbar aib saudara, bahkan relasi percintaan tidak sehat dengan diperankan model anak usia sekolah yang tidak jarang mengambil lokasi gambar di sekolahan.

Bagi yang tidak memiliki kemampuan menganalisis sajian sampai kemampuan menyaring tayangan, terlalu sering melihat tanyangan semacam ini, akan melahirkan jenis masyarakat baru. Masyarakat demikian ini memiliki pola pikir yang menganggap semua tayangan adalah realitas keseharian, semua menjadi kebiasaan yang wajar ditiru.  Tindakan dalam tayangan, menjadi referensi bagi terciptanya masyarakat baru. Kita tidak bisa berkata tidak bahwa pada kadar tertentu tontonan akan menjadi tuntunan, serupa sajian yang dapat ditiru sebagai referensi dan hegemoni sosial atas tindakan. Bahkan untuk urusan membunuh saja, orang mengetahui pola dan cara membunuh kemudian meniru hal tersebut karena televisi menyajikannya, sinetron menayangkannya, berita melaporkan kronologisnya.

Faktor faktor inilah yang dikemudian hari dapat memicu lahirnya penyimpangan sosial, seperti penyalahgunaan narkoba, kekerasan, bullying pada anak-anak usia sekolah karena dianggap tidak sesuai standar pertemanan, gaya percintaan remaja yang tidak sehat, referensi dalam berbuat kecurangan maupun kejahatan, kecurigaan masyarakat  yang terus menerus lahir kepada pemimpin  Negara tanpa data penunjang, tak lebih dari maraknya tayangan tanpa pertanggungjawaban. Televisi dan media kita memberi ruang untuk itu, anak-anak kita leluasa memperoleh tayangan  itu.

Ada mentalitas yang sedang dibangun setiap sajian, sehingga pengawasan pada pola sajian yang anak-anak lihat itu penting. Hal tersebut melunturkan asumsi bahwa penanaman kebaikan oleh orangtua yang dicontohkan dalam keseharian dapat membentuk kepribadian anak, tidak. Anak-anak hidup di ruang yang luas, mereka dapat meniru siapa saja yang mereka lihat. Sehingga selain memberi contoh yang baik, orang tua juga harus memberi ruang pengawasan, perhatian, kasih sayang, ruang berbagi bagi permasalahan-permasalahan anak, serta tindakan preventif bagi kebiasaaan anak-anak dalam hal ini tentunya pembatasan dalam akses sajian tidak mendidik.

Bukan semata-mata peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Aktivis Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Pemerintah dengan peraturannya, guru dengan ruang belajar dan dedikasi ilmunya, punya peran. Orang tua atau wali bagi anak memiliki peran mengawasi, memberikan pengarahan, dan tentu saja penjelasan logis konsekuensi atas tindakan. Peran tersebut dapat dipegang siapa saja, baik orangtua kandung atau anggota keluarga lain yang bersentuhan langsung dengan aktivitas bermain anak.

***

Penanaman karakter dan norma sosial memerlukan peran serta kita semua, terlebih keluarga sebagai madrasah pendidikan pertama bagi anak-anak. Sehingga, kita tidak akan mendengar lagi anak -anak yang gagal tak lebih dari penyalahgunaan fasilitas mewah, kesalahan lahir dari waktu berlebih yang digunakan tanpa rasa bertanggung jawab, penyalahgunaan obat-obat terlarang karena merasa mampu membeli. Karena tidak sedikit dari mereka yang dikemudian hari melakukan penyimpangan adalah mereka yang menyalahgunakan fasilitas pemberian.

Ponsel pintar dengan internet menyala pada tangan-tangan penasaran anak-anak kita, sajian televisi tidak ramah anak menampilkan idola mereka. Dan media massa, termasuk televisi menjadi salah satu alat pembentuk konstruksi sosial. Pengaruh kuasa pemodal menjadi penentu terciptanya tayangan. Tayangan memburu penikmat, penikmat menghasilkan ratting, dari ratting menggelar space iklan. Maka tidak ada yang lebih bertanggung jawab bagi masa depan kita dan anak-anak kita kecuali pengetahuan dan kesadaran kita.

Dan sebagaimana masyarakat tahu. Selain saya adalah perempuan tua yang belum berani menikah apalagi mempunyai anak, sekalipun begitu, tolong dengarkan saya. Tak lain karena saya menaruh perhatian pada dunia anak, di mana anak adalah tinta peradaban yang menunggu waktu sebagai garda depan menuju perubahan. Dan terakhir, kita tidak perlu berlomba pada standar glamour, kemudian memfasilitasi anak berlebihan, jika nyatanya mampu menggiring anak pada potensi kejahatan. Tidak pula mem-bully tetangga yang tidak segera mengakhiri masa lajang, hanya karena sinetron menggambarkan kemakmuran hidup dicapai setelah mencapai pernikahan.  Yang terakhir ini curhat, terima kasih.

Artikel Baru

Artikel Terkait