Latah. Barangkali kata itu yang tepat untuk mengomentari dari apa yang terjadi ketika rencana Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) pada tahun 2014 kemarin digulirkan. Bahkan hingga tahun 2016 ini (tahun di mana MEA seharusnya sudah mulai dijalankan) mengangkat tema MEA pada pidato-pidato sambutan di beberapa acara daerah masih menjadi tema yang seksi. Kendati demikian, kelatahan akan isu MEA ini nyata-nyata masih gagap ditanggapi oleh misalnya Pegawai Negeri Sipil yang membidangi sektor ekonomi, dagang dan produksi. Kegagapan ini juga sangat terlihat di Kabupaten Trenggalek. MEA terus menjadi tema pidato, namun upaya untuk dapat bersaing dengan masyarakat Asia lainnya masih terkesan biasa-biasa saja.
MEA merupakan program bersama yang digagas oleh negara-negara di kawasan Asia untuk membebaskan para pengusaha (UMKM) berjualan di mana saja selama masih berada di kawasan Asia. Termasuk Trenggalek yang juga merupakan salah satu daerah kabupaten di Indonesia. Daerah ini bisa menjual barangnya secara bebas di Malaysia, Singapura maupun negara-negara lain se-Asia. Namun melihat kenyataan yang ada, apakah mungkin dilakukan?
Melihat rencana yang dilakukan oleh pemerintah Trenggalek saat ini, rasa-rasanya tak ada yang bisa membuat optimis, kendati dalam orasi-orasi politik bisa dikatakan sangat optimis. Bagi penulis, ini hanya bumbu penyedap supaya orasi terkesan bertenaga dan memang membela pelaku UMKM. Rasa pesimis itu muncul hingga saat ini ketika mereka yang berwenang untuk mencerdaskan UMKM masih memakai model dan pola lama, yang jika ditarik kesimpulan tingkat efisiensi dan pengaruhnya terhadap UMKM, program yang selama ini dijalankan hanya sukses dalam menghabiskan anggaran. Tidak lebih, bahkan bisa saja kurang.
Kondisi memprihatinkan ini tentu bukan tanpa alasan. Masalah pelaku usaha mikro, kecil dan menengah bukan hanya masalah satu SKPD, melainkan masalaah kabupaten secara menyeluruh. Mulai dari pelaku UMKM, pemerintah, pendamping atau konsultan bisnis dan juga masyarakat. Namun justru yang terjadi saat ini adalah sistem birokrasi sak penere dewe, lebih mengunggulkan ego sektoral daripada memikirkan bagaimana antar-SKPD bisa berkolaborasi dengan baik.
Ego sektoral antar-SKPD adalah penyakit lama yang sudah akut, namun tetap saja dipelihara. Mereka, para PNS, yang dibayar memang untuk bekerja sesuai bidangnya cenderung tidak mau memikirkan inovasi dan kreasi terbaik untuk mensejahterakan rakyat. Mereka cenderung hanya menunggu, dan menyesuaikan dengan anggaran. Gaji adalah gaji, sedang inovasi dan kreasi datangnya dari program yang ada anggarannya. Padahal gaji mengikat mereka untuk bekerja secara profesional tanpa harus menunggu anggaran lain tiba.
Ketika negara lain menyiapkan para UMKM-nya supaya siap “menginvasi” negara lain dengan berbagai produk berkualitasnya, di pojok selatan Indonesia, ada Kabupaten bernama Trenggalek yang seolah masih belum bisa move on dari ego sektoral dan impotensi akan kreasi. Hasilnya, para produsen tempe kripik saja masih berkutat pada kemasan besek dan plastik tipis; para produsen keripik pisang masih takut melabeli produknya dan lebih siap menjual secara grosir (plastik lima kiloan); para pengusaha kreatif masih bertahan dengan sistem pesanan tanpa berani memproduksi produk kerajinan secara masal. Lha begini kok mau menghadapi MEA?
Selama ini, upaya mencerdaskan UMKM masih berkutat pada pelatihan dan pendampingan. Sedangkan upaya yang lain, masih belum banyak dilakukan. Perlu diketahui bahwa, ada 3 jenis pelaku usaha berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2008: yakni usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah. Klasifikasi ini didasarkan pada “aset dan omzet” yang mereka miliki (silakan baca UU tersebut). Berdasarkan klasifikasi tersebut, Trenggalek jelas memiliki lebih banyak pengusaha mikro dan lebih sedikit dari pengusaha menengah (bahkan bisa dihitung jari). Jika ada pelaku usaha mikro yang mampu menjadi pengusaha kecil, jelas itu lebih dapat disebut sebagai kebetulan.
Selama penulis memperhatikan pelaku usaha di Trenggalek, sebenarnya ada semangat besar dari mereka untuk berkarya lebih besar lagi. Namun, berbagai kendala yang tidak bisa mereka atasi sendiri cenderung membuat mereka berhenti di tengah jalan. Ada berbagai masalah seperti masalah kemasan (UMKM Trenggalek harus pergi ke Malang, Surabaya, Yogyakarta dan kota besar lain untuk mencari kemasan), masalah perijinan (banyak yang mengaku bahwa proses perijinan di Trenggalek terkesan lambat), dan juga masalah pemasaran produk. Ironisnya, pemerintah gencar melakukan pelatihan dan pendampingan, namun di sisi lain tidak kunjung menyediakan solusi untuk kemasan dan pemasaran. Di sisi lain lagi, pemerintah daerah mendorong UMKM untuk berproduksi, namun tidak memberikan jalan supaya produk mereka bisa terjual. Padahal kenyataannya, para pelaku usaha jelas lebih dulu memulai usaha sebelum pemerintah melakukan dorongan usaha.
Ada Apa dengan Pemerintah?
Mungkin pertanyaan ini tepat ditanyakan kepada pemerintah Trenggalek, ada apa dengan mereka? Apakah sulit menyediakan pasar bagi pelaku usaha? Apakah sulit menyediakan rumah pengemasan bagi pelaku usaha, apakah sulit melakukan inovasi yang lebih bermanfaat dari sekadar pameran tanpa konsep jelas dan hanya terkesan menghabiskan anggaran. Ada apa dengan mereka?
Dunia sudah berubah dengan cepat, siapa yang tidak bisa membaca kebutuhan pasar, maka bisa tergilas dan bangkrut. Butuh para pemikir yang mempunyai potensi untuk mengembangkan para pelaku usaha, yang bahkan mampu memfasilitasi dengan baik. Jikalau memang harus pelatihan, maka mestinya sediakan para pelatih yang sesuai bidangnya. Bisa konsultan, bisa coach (pelatih), bisa mentor. Kalaupun harus pendampingan, ya carikan pendamping berkualitas, yang sesuai dengan bidangnya. Ini bukan pula apriori terhadap pelatih dan pendamping saat ini. Tapi tengoklah, apa mereka benar-benar sesuai dengan bidangnya? Kendati rekrutmennya dilalui dengan mekanisme bertele-tele dan cenderung banyak titipan.
Memang pemerintah bukan lembaga pemberi bantuan modal, bukan juga lembaga donor yang selalu memanjakan para pelaku usaha, namun mereka adalah pengatur, pengkoordinasi, pengayom dan kalau perlu memfasilitasi. Memberikan bantuan modal kepada pelaku usaha bukanlah jalan keluar. Namun menyediakan fasilitas bagi mereka dapat mendorong para pelaku usaha untuk lebih kreatif. Misalnya, pemerintah menyediakan fasilitas gedung untuk menampung hasil karya masyarakat Trenggalek. Gedung tersebut digunakan sebagai galerinya. Atau, pemerintah menyediakan fasilitas kepada para pendamping dan konsultan bisnis.
Sebenarnya, ada fasilitas dari Kementerian Koperasi dan UKM berupa gedung PLUT (Pusat Usaha Layanan Terpadu), namun Trenggalek belum siap untuk menerima itu. Di sisi lain, Kabupaten Tulungagung sudah mulai membangun gedung tersebut sebagai fasilitasi pendamping UMKM dan juga untuk UMKM itu sendiri. PLUT-KUMKM merupakan lembaga yg menyediakan jasa non-finansial yang menyeluruh dan terintegrasi bagi KUMKM untuk meningkatkan: (1) Kinerja produksi, (2) Kinerja pemasaran, (3) Akses ke pembiayaan , (4) Pengembangan SDM, (5) Kinerja kelembagaan dalam rangka meningkatkan daya saing KUMKM.
Pelaku UMKM Bukan Sapi Perah?
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya penuh untuk memajukan UMKM, salah satu terobosan paling mutakhir adalah dengan mengajak para pelaku usaha untuk pameran produk. Bukan hanya sekali, bahkan beberapa kali. UMKM yang nota bene tumbuh dari olah pikir dan upaya mereka sendiri, kemudian difasilitasi pelatihan dan pendampingan serta diajak pameran hingga ujung-ujungnya diakuisisi sebagai pelaku usaha binaannya. UMKM senang pemerintah pun senang, namun apakah ini mempunyai dampak signifikan bagi perkembangan UMKM?
Kalau ada yang bilang signifikan, mungkin mereka sedang galau? Atau mereka sedang bermimpi di siang bolong. Bisnis skala mikro yang ada di Trenggalek meskipun secara simbolik diartikan sebagai bisnis penopang perekonomian masyarakat, cukup besar memiliki kerentanan gagal. Kenapa bisa begitu? Ya karena modal, manajemen usaha, produksi, kualitas kontrol sekaligus pemasaran di-handel oleh satu orang, siapa? Pemilik usaha itu sendiri. Ini bukan bisnis besar seperti elangfood (untuk menyebut produk mamin berlambang garuda), namun ini bisnis mikro, bisnis yang dibangun lebih banyak untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup. Jika mereka harus menanggung biaya tambahan semisal pameran, lantas mereka membebankan biayanya dari modal, ya bisa hancur, Saudara. Jadi, pameran untuk UMKM skala mikro dan kecil, bisa saya sebut justru sebagai upaya bunuh diri.
Saya bisa katakan bahwa kemasan yang dipakai saat pameran dan saat menjual ke konsumen, bisa terbalik 80% kualitasnya. Pameran memang ingin menunjukkan hasil terbaik dari produksinya, bagi usaha skala mikro dan kecil, dengan begitu juga berarti harus keluar modal lagi. Ibaratnya, mereka memamerkan kemampuan pada kemasan, sedang pada usaha riil, para pelaku usaha ini kerap menelan pil pahit. Kalau sudah jemu dengan bisnis yang tak kunjung merangkak naik ini, paling-paling ya ditinggalkan. Atau kalau mau terus, mereka menemui kebangkrutan.
Saya bukan hanya ngomong njeplak, ini lebih pada pengamatan yang selama ini saya lakukan. Sederhana saja memang, jika pemerintah serius mengurusi pelaku usaha, apakah mereka mempunyai database riil UMKM yang ada di Trenggalek? Apakah database tersebut update setiap bulan, atau minimal setahun sekali? Coba tanyakan kepada pemerintah sana? Kalau tidak ada, ya segera ngelus dada. Kondisi begini kok ngomongin MEA terus. Capek, deh!