Afi-Mita, Eksploitasi Media dan Generasi Latah

Kita sudah barang gamblang satu topik hangat yang memenuhi linimasa kita dalam sepekan terakhir? Ya. Adalah pengguna jejaring sosial se-Nusantara yang dibikin gandrung oleh pesona pena gadis hitam manis asal Banyuwangi. Asa Firda Inayah namanya, dia pemilik akun Afi Nihaya Faradisa. Gadis yang diberi gelar tidak resmi oleh fans militan-nya sebagai Indonesian Malala. Well, berlebihan atau tidak itu bukan urusan saya dan bukan saya yang bilang. Saya tidak ikut bertanggung jawab atas kontroversi yang dilahirkan oleh orang-orang emosional dan kesusu itu.

Afi—yang bukan Akademi Fantasi Indosiar—konon tidak menggunakan nama yang sesungguhnya karena Ia tidak perlu dikenal orang. Biarlah wejangan bijak (bajakan)-nya saja yang menggema di semesta raya, sementara ia cukuplah berikhtiar dari balik layar. Namun, ketika pamornya meninggi dan namanya mulai disebut-sebut di portal berita online, rupanya konsistensi remaja ini akan ke-anonymous-an-nya goyah juga.

Sehingga dapat dipahami bahwa di satu sisi, ia ingin menabur kebaikan, tetapi di sisi lain ia ingin menuai ketenaran. Entah meski ia pasti memungkiri dan mengelaknya dengan berbagai cara. Naif sekali jika ia sama sekali tidak hanyut terbuai oleh sanjung-puji ketika pengertian anonymous yang isn’t meant to be revealed ever itu toh tidak berlaku lagi.

Lalu, bak digampar preman berotot kekar. PRAK!!  DUARR!! Tiba-tiba terdengar kasak-kusuk yang membisikkan kenyataan teramat pedih dan menghancurkan hati. Konon Afi diisukan telah menjiplak tulisan orang lain dan ia dengan percaya diri membubuhkan tanda copy right dalam tulisan tersebut seolah-olah itu merupakan tulisan orisinilnya. Publik pun gempar.

Ada yang tidak mengambil sikap dan pura-pura tidak mengetahui kabar itu, ada yang mem-bully Afi berjamaah di grup-grup, komunitas dan status facebook masing-masing. Semuanya menumpahkan kekecewaan dan sumpah serapah terhadap Afi seakan mereka lupa bahwa merekalah yang sesungguhnya kurang referensi dan tidak rajin membaca. Tipe orang yang mudah jatuh cinta sekonyong-konyong koder tanpa melalui penjajakan karakter dan latar belakang si crush-nya.

Euforia kekaguman masyarakat awam yang serta-merta dan bisa jadi baru mengenal istilah plagiarisme ini mungkin masih bisa dimaklumi kemudian diedukasi lebih lanjut. Namun bagaimana dengan ‘kecolongan’ oleh para wartawan dan orang-orang besar yang telanjur mengorbitkan nama Afi siang dan malam sebagai headline dan trending topic itu?

Bagaimana dengan reaksi wartawan yang grusa-grusu, terbatas investigasi dan terkesan kekurangan bahan berita? Mau digadaikan ke mana reputasinya? Mereka bisa saja membela diri dengan berkata bahwa yang penting apa yang disampaikan Afi itu suatu ajakan untuk berbuat baik. Dan persetan dengan rumor plagiarisme, toh itu cuma status facebook. Baiklah. Tetapi terlepas dari isi dan bobot dari tulisan tersebut, apakah plagiarisme itu hal yang benar dan nekat dibenarkan? Nekat dibenarkan bak menelan ludah sendiri demi menyelamatkan suatu kerapuhan reputasi?

Jadi, sebagian dari kita adalah orang-orang yang masih betah saja terjerembab di tengah euforia generasi latah. Yakni alih-alih bertumbuh menjadi barisan terdepan dalam mengupayakan kemajuan bangsa melalui tindakan konkrit yang ditempuh secara terhormat, juga menyuarakan kebenaran tanpa gentar. Generasi kita ini justru tinggal dalam kelabilan dan enggan untuk menjadi dewasa sejak dalam pikiran.

Kemudahan-kemudahan yang semestinya kita dapat manfaatkan secara bijaksana untuk menggali sumber pengetahuan yang seluas-luasnya ternyata tidak cukup menghindarkan kita dari ironi yang menyedihkan; menjamurnya generasi sentimentil, alay dan minim pertimbangan; warga dunia maya juweh yang malas melakukan kroscek terhadap hot issue yang menggelinding di linimasa. Sebaliknya mereka giat membudayakan “Mari viralkan, Gan!!” tanpa memperhitungkan dampaknya akan seperti apa terhadap reputasinya kelak. Generasi labil yang menanggapi sensasi murahan secara berlebihan; generasi tukang nyinyir yang pasrah dibuat nyonyor (bonyok) oleh pertikaian yang bermula dari cengkeraman berita hoax!

Oh iya. Lewat pembelaan Afi yang mengharukan itu, kita mendapati betapa dangkalnya makna dari inspirasi: copas tanpa batas, plagiasi tanpa permisi. Syukurnya, Mita Handayani tidak ambil pusing atas plagiarisme yang diduga dilakukan oleh Afi. Sikapnya sangat dewasa dan cool, seperti yang diungkapkan lewat klarifikasinya. Sama seperti Yesus yang tidak merajam perempuan yang kedapatan berzina, Ia memilih menghakimi dengan cara yang meneduhkan (Yohanes 8:7, 11 (TB).  Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Mita menunjukkan sikap yang dewasa dan tidak mem-bully Afi. Mita berusaha mereda gelombang bully-an yang menempatkan Afi sebagai obyek pelampiasan bulan-bulanan mantan penggemar yang telanjur jatuh cinta dan berekspetasi tinggi namun mendadak terkapar tak berdaya, kecewa, tertipu dan malu karena telah sedemikian gandrungnya pada hijaber ini. Kembali ke Mita. Mengapa Mita memaafkan Afi dan tidak jealous akan popularitas instan yang diperoleh Afi? Jawabannya adalah karena Mita konsekuen terhadap apa yang telah ditulisnya.

Bahwasanya air tuba sebaiknya dibalas dengan air susu. Mita harus memberi semangat dan legawa melepaskan pengampunan terhadap orang yang menjiplak karyanya  meskipun tidak sefatal seperti halnya dalam skala jurnal akademisi, atau sikapnya harus bertolak belakang dengan apa yang dituangkan lewat tulisan. Yang mana itu tak ubahnya terlalu jauh merisaukan demam musiman itu dan sengaja mengorbankan persona Mita dan menjegalnya untuk terus berkarya. Untuk menjadi seniman kata-kata di dunia maya yang tidak haus pengakuan, yang tidak terobsesi pada sanjungan, yang cool, terhormat dan ber-etika.

Artikel Baru

Artikel Terkait