Apa yang membedakan bulan Ramadhan dengan bulan-bulan (Islam) lainnya, sekurangnya, Ramadhan punya satu malam, yang dikatakan dalam sebuah surat (Q.S Al-Qadr) dari segi kuantitas, lebih baik dari seribu bulan. Ia, bulan yang mewajibkan bagi seluruh pemeluknya untuk berpuasa utuh selama sebulan, kecuali terdapat halangan-halangan tertentu yang memunculkan keringanan. Ia bulan, yang pada malam harinya diritualkan secara khusus, sehabis shalat Isya, dengan tarawih. Tentu selain ritual berbuka dan bangun untuk makan sahur sebelum waktu imsyak. Itu barangkali sedikit yang membedakan bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lain dalam setahun.
Lalu, apa yang salah, bila sudah tahu bahwa bulan ini adalah bulan puasa lha kok pengeluaran kita bukannya berkurang melainkan malah bertambah? Padahal, jatah makan kita mestinya berkurang. Apakah karena kebiasaan mengambrolkan nafsu begitu saja di meja hidangan, ketika tiba adzan Maghrib, sementara seharian penuh kita telah menahan nafsu makan dan minum. Atau, karena kebiasaan yang mungkin tak kita sadari, seperti keharusan ”mengistimewakan” bulan dengan berbagai kemeriahan sampai persoalan-persoalan ihwal bersantap di meja makan tadi, meski bukan sunah, alih-alih rukun utama ibadah?
Bisakah di bulan puasa kita mencoba untuk makan seperti di hari-hari lain pada bulan-bulan sebelum masuk Ramadhan, ketika datang waktu berbuka itu? Bisakah kita menganggap bahwa sebetulnya tak ada yang istimewa dengan Ramadhan, dalam hal terkait persiapan makan atau gaya berbelanja kebutuhan, tetapi keistimewaan bulan ini hanya terletak pada: bagaimana kita beribadah seperti ketika puasa, belajar untuk ”menahan diri” dari makan, minum serta godaan menyalurkan syahwat seksual. Selebihnya, mengenai hal-hal teknis non ibadah, bisa disamakan dengan bulan-bulan lain. Sebab, jikalau kita mengistimewakan bulan ini dengan berbagai sajian makanan—baik saat berbuka maupun ketika datang waktu sahur—dengan amat berbeda dari kebiasaan bulan-bulan lain, jangan-jangan, kita justru melakukan ritual penjajahan makanan. Dalam arti, kita sedang tunduk pada godaan hedonisme, bukan malah menaati kewajiban ritual agama, yaitu tentu saja berpuasa yang sesuai kodrat dan martabat orang berpuasa.
Bahwa memang konstruksi kebiasaan pada bulan Ramadhan yang ajeg tersebut, di tataran permukaan menjadikan kita kerap terkuras secara ekonomi, tapi jarang sungguh-sungguh merasakan hikmah dan kesan spritual yang mendalam dari perjalanan waktu di sepenuh bulan yang teberkahi ini. Apalagi, kalau pemahaman agama masyarakat sering didangkalkan oleh kebiasaan formal yang telah menyehari itu. ”Tubuh material” kita—dengan bergulirnya bulan puasa—sebetulnya punya ikhtiar menyedikitkan yang material, demi suatu kejernihan dan keterbukaan mental. Padahal dengan cara melimpah-ruahinya dengan makanan pada saat berbuka, tanpa terasa, kita malah menimbunkan unsur material itu lebih dalam lagi.
Hal-hal yang material itu dimasukkan lewat gaya hidup hedonis dan tindakan boros, yang sebetulnya selain sudah berdampak buruk, juga menggerus aspek spritual masing-masing kita oleh terlalu banyak konsumsi benda-benda material di dalam tubuh. Ritual atau merayakan bulan Ramadhan dengan gaya dan kebiasaan begitu, tanpa dilimpahi penghayatan, bisa membuat pesan Ramadhan yang mestinya kita tangkap dan amalkan dalam berbagai keindahan perayaan spritual di antaranya melalui tradisi: ngaji, tirakat, sholat, dzikir, beramal shalih, membuatnya tampak kosong melompong tak ubah seperti tubuh ogoh-ogoh tanpa pendorong.
Kita tahu, puasa adalah ibadah yang merupakan bagian dari rukun atau pondasi agama. Meskipun termasuk ritual, ia tak belaka dikerjakan seenak udel kita sendiri-sendiri, oleh karena telah digariskan aturannya: terdapat anjuran dan tuntunannya yang tertera dalam kitab suci. Sedikitnya, ihwal tata-cara dan pelaksanaannya telah diayatkan dalam Al-Quran dan Hadist, juga sudah ditentukan waktu pengamalannya di sana. Suatu hal yang segendang-sepenarian dengan kaidah ”ushul fiqh”: ”Al aslu fil ibadati at tahrimu wal bathlu, illa ma jaa bihi ad-dalili ala awamirihi” ’bahwa pada prinsipnya, ibadah itu terlarang, kecuali yang nyata-nyata telah ditetapkan dalam agama (kitab suci).’
Muncul pertanyaan, bisakah agama tanpa ritus? Cak Nur pernah menulis bahwa bahkan pandangan hidup yang samasekali tidak berpretensi religius dan malah terprogram menghapuskan agama semisal komunisme tak bisa lepas dari sistem ritualnya sendiri (1992: hal. 59). Ritus-ritus itu seperti menunjukkan rasa hormat kepada lambang partai, penghormatan yang dogmatis terhadap doktrin-doktrin tertentu dan lain sebagainya. Saya kira hal-hal begini, entah pada organisasi politik, aliran, kumpulan kepercayaan tertentu, ataupun dalam konteks lebih besar yakni pada komunitas agama, akan senantiasa dan selalu ada.
Ingat juga, bahwa ketika membicarakan puasa sebagai ibadah, tentu tak cukup sebatas dipandang dengan perspektif filsafat (yang kadang diselingi motif terselubung), karena iman tak melulu berdimensi rasionalitas, tetapi penuh-kebak dengan dimensi-dimensi suprarasional atau imaterial. Yang tak akan mungkin dengan mudah dianalisa, atau bahkan diukur-jangkau oleh pandangan filsafat atau logika sehari-hari. Lebih–lebih oleh orang yang tak percaya dimensi imaterial, suprarasional, spritual, transendental dalam hidup itu ada. Jadi, ibadah itu juga soal pengalaman ruhaniah, kedalaman penghayatan, dan penerimaan bathin yang tulus dan ikhlas. Ini semua adalah bagian–bagian dari pengalama esoteris (batiniah) dalam menjalankan (ritus) agama, yang tak akan bisa dirasakan oleh mereka yang hanya belaka percaya pada fakta badaniah dan material (kaum naturalis).
Dan yakinlah, bahwa ibadah ritual pun—dengan munculnya penghayatan terus-menerus—niscaya kelak bisa dengan baik berhenti jadi semata ritus. Dengan jalan pedangnya itu: laku esoteris, sebetulnya ibadah telah melampaui batas ritualitas dan rutinitasnya, mengarah ke jalan yang lebih tinggi dan luhur tanpa kenal upah untung-rugi lagi; atau iming-iming surga dan neraka. Di situlah capaian ketika tahap ibadah telah berubah menjadi pengalaman, bukan lagi dikungkung dogma dan doktrin tak bernyawa.
So, saya menjadi sedih ketika pada suatu ketika mendengar bahwa orang tak lagi berpuasa dengan alasan puasa telah membuatnya makin boros atau malah menyebabkan dia sakit-sakitan. Apalagi kalau kebaperan ini dibuat untuk sarana menggoda iman orang untuk mokah atau untuk seolah-olah menuntun orang berpikir logis bahwa puasa adalah ritual tak berguna. Padahal, selain mengajak kita belajar dan berlatih toleransi, laku berpuasa juga bisa digunakan untuk mengukur kepribadian masing-masing orang, yang anehnya malah tak banyak kita jalani sebagai yang nota bene-nya mengaku beragama Islam. Malah ketika puasa, pengajaran tema ”kepribadian” dan ”toleransi” itu sering dipraktikkan secara baik oleh orang dari agama lain kepada kita, daripada kita terhadap agama kita sendiri.
Oh ya, sekelas ronda pun—yang digunakan untuk mengajak orang bangun sahur—kalau tak diterapkan dengan aturan-aturan yang baik atau andai melampaui batas (:nggrebeki) juga bisa menyebabkan kita kena dosa. Saya ingat sebuah ungkapan dalam kitab Ta’limul Mutaallim bahwa, ”Banyak amal perbuatan yang bungkusnya adalah amal akhirat, akhirnya sekadar menjadi amal dunia tersebab keburukan niat; dan sebaliknya, amal yang bungkusnya dunia bisa menjadi amal akhirat juga karena niat baik pelakunya.” Pertanyaannya, sudahkan mutu ibadah Ramadhan kita hari ini dan beberapa hari ke depan bisa meningkat ke sana? Wallahu’alam. Selamat ber(buka)puasa.