Trowol, Nama Jajanan dari Watulimo

Tempe kripik dan alen-alen, tidak bisa dipungkiri adalah jajanan khas paling kondang dari Trenggalek. Keduanya menjadi semacam icon jajanan dari salah satu kota di pesisir selatan Jawa Timur ini. Di berbagai ruko, toko, ataupun pusat jajanan khas Trenggalek, seperti di daerah Kranding, Pogalan, dapat dipastikan keduanya nangkring di etalase.

Tak hanya menjadi icon, kedua jajanan tersebut juga menjadi salah satu produk penggerak roda ekonomi masyarakat Trenggalek di kalangan usaha rumahan. Para pelaku usaha kecil dan menengah banyak menjadikan tempe kripik dan alen-alen sebagai produksi utama mereka. Menjadi jajanan khas buruan pengunjung dari luar kota, menjadi alasan terbesar mereka memproduksi tempe kripik dan alen-alen. Tentu juga karena keahlian mereka yang diwariskan secara turun-temurun dalam memproduksinya. Jika keahlian bisa mendatangkan pendapatan, kenapa tidak?

Sebenarnya, hampir di setiap daerah/kecamatan di Trenggalek memiliki jajanan/makanan yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut. Bendungan misalnya, kondang dengan sega gegok.

***

Sementara di Watulimo, selain lebih dikenal sebagai daerah penghasil buah dan daerah pariwisata di Trenggalek, daerah ini sebenarnya juga memiliki jajanan yang tidak mudah untuk ditemukan di daerah lain. Jika tempe kripik berbahan dasar kedelai, jajanan dari Watulimo ini berbahan dasar sama dengan alen-alen, yaitu ketela.

Jajanan ini murni dari ketela. Tak ada bahan lain. Jajanan ini bisa dimakan langsung, bisa juga diolah menjadi jajanan lain yang sudah banyak kita kenal. Jajanan ini bernama trowol. Jika dikatakan sebagai jajanan setengah jadi, bisa saja. Jajanan ini bisa diolah lagi menjadi jajanan lain seperti gethuk dan sredek—pasangan tempe goreng. Tak bisa sembarang ketela, empuk dan tidak pahit adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar bisa diolah menjadi trowol.

Produksi sekelas usaha rumahan, proses pembuatannya dimulai sejak pagi dengan mengupas kulit, membersihkan daging ketela lapisan luar dengan cara me-ngerik-nya, dan dicuci hingga bersih. Ketela yang sudah dibersihkan selanjutnya diparut kasar kemudian dikukus dalam waktu kurang lebih 1 jam (dengan jumlah ketela antara 13-14 kg). Setelah matang, proses selanjutnya adalah dihaluskan (di-jelu), baru dicetak yang biasanya berbentuk bundar pipih.

Proses produksi jajanan tersebut kini sudah banyak menggunakan alat-alat modern semisal mesin parut. Tapi tentu saja tidak semuanya. Karena bagi mereka yang menekuni usaha produksi trowol dan juga penikmat trowol, rasa terbaik trowol adalah tetap ketika diolah dengan cara tradisional. Old but gold, right?

Dengan keberagaman jajanan yang ada di Trenggalek, sungguh ini merupakan suatu keberkahan dan keuntungan bagi Trenggalek. Tak hanya bertani, nelayan atau profesi mainstream lainnya. Menjadi pelaku usaha juga tak ada salahnya. Sarjana pencari kerja yang terus membludak tanpa adanya lapangan pekerjaan yang memadai, semakin memperbesar angka pengangguran. Mungkin akan lebih baik jika menciptakan lapangan pekerjaan, minimal untuk diri sendiri dengan menjadi pengusaha meskipun dalam skala kecil (kecuali Anda gengsi).

Kini, dengan berbagai kisah dan cerita sukses orang-orang yang menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri, sebut saja Bob Sadino, seharusnya mampu menginspirasi para lulusan sekolah maupun universitas untuk tak hanya berpikir mencari kerja, namun juga menjadi pengusaha. Pendidikan pastinya mendidik manusia-manusia Indonesia menjadi manusia yang kreatif.

Tak hanya menghasilkan pendapatan dari sisi ekonomi untuk dirinya, jika semakin berkembang dan maju, usaha yang dijalankan bisa dipastikan akan membutuhkan tambahan tenaga kerja. Disitulah terbuka lapangan pekerjaan. Di Trenggalek, UMKM berperan penting dalam gerak roda perekonomian masyarakatnya.

Keberhasilan pelaku UMKM Trenggalek tidak bisa dibilang sepele. Khususnya trowol, ada seorang pelaku usaha produksi trowol di Watulimo yang masih bertahan hingga saat ini -tentunya dengan mempertahankan cara mengolah secara tradisional—memiliki prestasi yang sangat luar biasa. Tapi tunggu dulu, jika prestasi hanya dipandang dari segi materi, sebaiknya ubah dulu cara pandang kita terhadap makna prestasi.

Memiliki dua orang putra dan seorang putri, dari usahanya memproduksi trowol sejak 12 tahun yang lalu, beliau mampu membiayai pendidikan anak-anaknya tak hanya berhenti di tingkat menengah atas, namun sampai universitas. Bagi saya itu adalah prestasi yang sangat luar biasa dari seseorang yang menggunakan keahliannya mengolah ketela menjadi trowol, dan sebagai usaha andalannya. Jadi, jangan remehkan ketela!

Nama orang tersebut adalah Sarti. Sarti adalah warga desa Watulimo yang telah menunjukkan kepada saya bahwa usaha apapun bila dijalani dengan ikhlas dan penuh syukur, dan hasilnya pasti akan bermanfaat dan luar biasa. Meskipun apa yang kita lakukan terlihat sepele dan remeh bagi orang lain.

“Amarga nang Gusti Allah aku iki wis digarisne isaku kaya ngene, tak lakoni ikhlas ati. Lha buktine, lantaran tela anakku kabeh isa dadi sarjana. Alhamdulillah…”

***

Manggis, durian dan salak yang menjadi hasil pertanian unggulan Watulimo. Guo Lowo, Pantai Damas, Pantai Prigi dan Pantai Karanggongso sebagai primadona pariwisatanya. Kini, sudah saatnya jajanan khas Watulimo berupa trowol, dan juga jajanan hasil olahannya, menjadi icon bagi Watulimo setelah buah dan pantainya, yang bukan hanya nama. Tapi juga ditunjukkan dengan prestasi.

Salam Lestari!

Artikel Baru

Artikel Terkait